Deka membuka mata perlahan dan menemukan dirinya terbaring di sebuah ruangan yang pencahayaannya remang-remang. Ia harus mengerjap beberapa kali untuk membiasakan matanya dalam keadaan kekurangan sinar. Kepalanya terasa berat dan pening. Rasa ngilu menggerogoti tangan dan kakinya. Saat pikirannya semakin jernih ia menemukan bahwa rasa ngilu itu diakibatkan oleh ikatan di kedua pergelangan kaki dan tangan.Deka berusaha memindai seluruh ruang. Ia agak lega menemukan Urai terbaring tak jauh darinya. Posisi kakinya lebih dekat dengan kepala Deka sehingga wajah gadis itu tak terlihat. Namun, kaki dan tangannya terkulai tak bergerak.
"Rai, Urai!" panggil Deka panik sambil berusaha duduk. Ia agak kesulitan sedikit bangkit karena kedua lengannya diikat di belakang punggung. Tali pengikatnya pun bukan tali plastik, melainkan batang tanaman merambat yang dikuliti dan dibelah sehingga sangat kasar. Ia merasakan tusukan serat tanaman itu menembus kulitnya.
Pandangan Deka bergulir cepat ke sekitar untuk menilai kondisi mereka. Sepertinya, mereka dikurung di sebuah bangunan sederhana dari kayu yang lebih tepat disebut gubuk. Bangunan berlantai panggung itu sempit, hanya sekitar 3x3 m. Lantainya terbuat dari balok kayu hutan kasar yang sebagian telah lapuk. Dindingnya juga berupa batang kayu kecil-kecil yang dijajar seperti kandang binatang. Ada tumpukan keranjang rotan dan tas-tas lanjung di satu sisi. Di sisi lain terdapat gundukan buah kelapa dan ubi. Sepertinya, tempat itu adalah gudang penyimpanan bahan makanan.
Tempat itu gelap karena tidak memiliki jendela. Hanya ada pintu kecil di salah satu sisi. Penerangan ruangan berasal dari berkas-berkas cahaya matahari yang menyusup dari celah-celah dinding. Itu pun tidak seberapa karena area itu terlindung oleh kanopi hutan tropis yang lebat. Di sudut gelap dekat tumpukan ubi jalar, Deka melihat seseorang yang juga terikat. Ia seorang pemuda yang usianya sekitar dua puluhan. Pipi dan mata kanannya bengkak. Di bagian dada, lengan, dan kaki terlihat bilur-bilur merah kehitaman seperti bekas cambukan. Melihat kondisi tawanan yang terluka itu, Deka semakin yakin situasi mereka sangat genting.
"Rai!" panggil Deka lagi, kali ini lebih keras. Ia sudah berhasil duduk dan sekarang beringsut mendekati Urai. Kondisi gadis itu kurang lebih sama, kaki dan tangannya terikat. Begitu telah berada di sisi gadis itu, ia mengguncang kaki Urai dengan sikunya. "Rai, bangun!"
Urai menggeliat dan membuka mata perlahan, lalu berusaha bangun dan menyandarkan diri ke dinding. Tali yang kasar itu telah membuat tangan dan kakinya berdarah sehingga ia tidak berani bergerak banyak.
"Kodeka, apa kita akan mati di sini?" rintih gadis itu. Wajahnya kacau. Rambutnya terurai acak-acakan dan pipinya basah oleh air mata. Ia juga melihat kondisi tahanan yang satu lagi dan seketika menjadi ngeri.
"Rai, sudah hampir mati pun kamu masih memanggil aku dengan sebutan konyol itu." Deka balas mengeluh. Maksudnya supaya Urai tidak terlalu panik. Namun, kesinisan itu malah memicu letupan emosi Urai.
"Kodeka! Siapa juga yang memedulikan panggilan sopan kalau mau mati!" raung Urai.
"Sssh, diam! Jangan bicara sembarangan, nanti benar-benar terjadi!" tegur Deka. Biarpun wajahnya merengut, ia masih mempunyai belas kasihan pada gadis korban penculikan ini. Ia mulai celingukan, meneliti tubuh Urai.
"Kamu ngapain?" tanya Urai.
"Ada yang sakit, Rai?"
"Ada! Tanganku sakit banget! Aku juga kebelet pipis. Gimana, dong?" rajuk Urai.
"Iya, cup, cup! Kalau kamu menangis, aku semakin setres, tahu!"
"Aku kebelet pipis, Kodeka! Kamu dengar enggak, sih?"
"Iya, aku dengar. Pipis aja di sini."
Urai menegakkan tubuh dan menatap Deka dengan tajam. Lelaki itu setengah kasihan setengah geli. Di balik penampilan kusut masai itu, ia malah menemukan bahan ejekan baru. Sepertinya, ada yang salah pada otak Deka saat melintasi ruang waktu tadi.
"Jangan melihat aku seperti itu, Rai! Bikin merinding tahu!"
"Maksudmu pipis di sini tuh gimana?" tuntut Urai.
Deka menggerakkan dagu, memberi isyarat. "Di situ, tuuuuh! Di tempat duduk kamu."
Mata Urai yang bulat semakin melebar saja. "Maksudmu aku harus ngompol di sini?"
"Enggak masalah, kan? Toh air pipisnya langsung jatuh ke kolong sana," balas Deka santai.
Urai tidak menjawab, tapi meneliti lantai di sekitar tempat duduknya. Rupanya gubuk ini dibangun di atas tiang-tiang yang cukup tinggi karena dari celah lantai terlihat beberapa babi dan ayam berseliweran di bawah. Wajahnya langsung berkerut. Andai tempat itu terang, pasti akan tampak nyata pipi yang memerah, persis seperti bayi yang akan buang air besar.
"Eeeeh! Kalau pipis saja boleh, Rai. Tapi jangan beol, nanti baunya ke mana-mana!"
Tangis Urai pecah. "Kodeka! Kamu kebangetan! Apa aku sehina itu hingga kamu berhak berkata-kata kasar seperti ini?" ratapnya dengan bahu berguncang keras.
===Bersambung===
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOI 1894 - The Disastrous Ritual
FantasiaUrai tak jera mencari perhatian pemuda pujaan hatinya. Sementara Deka selalu sinis dan sarkastis pada Urai yang menurutnya tukang pembuat onar. Sampai akhirnya sebuah anomali alam membuat kedua insan itu terlempar ke dalam portal gaib. Mendadak, mer...