26a. Korban Lagi

261 73 14
                                    


Demi menyelamatkan nyawa mereka dari serangan mematikan pasukan Marsose, keempat lelaki mendayung sekuat tenaga. Sampan kecil itu melaju cepat membelah arus sungai. Pasukan Belanda akhirnya menghentikan tembakan, namun belum berhenti mengejar para buronan. Dengan gesit, pasukan biru-biru itu meloncat ke kapal mereka dan berusaha menyusul Deka dan Simpei.

Para Marsose itu sebagian terbunuh dan terluka akibat baku tembak dan terjangan pohon, namun masih tersisa delapan orang yang sehat dan penuh tenaga untuk mendayung. Kapal yang besarnya hampir tiga kali sampan Simpei itu melaju dengan cepat. Jarak yang memisahkan keduanya segera terkikis.

Dor! Dor! Dor! Marsose-Marsose melepaskan tembakan.

"Berlinduuung!" seru Simpei.

Keempat orang itu merebahkan diri di lantai. Deka melempar beras ke air sungai. Entah apa fungsinya, yang jelas timah-timah panas para Marsose hanya mengenai udara dan dinding bedeng sampan.

"Kurang ajar, mereka menembaki kita! Pandih, kamu lihat, mereka punya meriam atau tidak?" perintah Simpei.

"Siap!" sahut Pandih. Dengan gesit, pemuda itu merunduk untuk mengintip dari balik dinding bedeng. "Ada! Mereka punya kanon kecil."

"Celaka! Dayung lebih cepat!" seru Simpei.

Sementara itu, Pandih melihat para Marsose tengah bersiap menembakkan kanon. "Awas, mereka akan menembakkan kanon!"

"Belok ke anak sungai di depan, cepat!" seru Simpei lagi.

Sampan dikayuh secepat mungkin menuju sebuah anak sungai yang merupakan muara dari labirin rawa-rawa. Bertepatan dengan itu, meriam Marsose ditembakkan. Suaranya membuat gelegar keras yang menggetarkan udara. Peluru bulat meluncur deras ke arah sampan Simpei.

"Beloooook!" seru Simpei. Ia menahan dayung di satu sisi, sedangkan Jala dan Pandih mengerahkan segenap tenaga untuk mendorong sampan di sisi lain. Sampan pun membelok cepat memasuki anak sungai. Saking lajunya, badan sampan sampai miring. Jala dan Pandih berpindah ke sisi Simpei untuk menyeimbangkan badan sampan. Usaha mati-matian itu sukses menghindarkan buritan dari terjangan peluru meriam.

Peluru meriam meledak di dalam air. Lumpur, batu sungai, dan air berhamburan ke udara. Sebagian menimpa penumpang sampan. Mereka basah kuyub, namun selamat.

Ledakan itu juga menimbulkan gelombang kuat yang langsung mengguncang sampan. Haluannya berubah arah, melaju kencang menuju tepi sungai.

"Awas menabrak akar pohoooon!" seru Simpei lagi. Ketiga lelaki itu serta merta menancapkan dayung ke dasar sungai, lalu menahannya sekuat tenaga.

Dengan teriakan keras, mereka berhasil menahan laju sampan dan membelokkan arah. Haluan mereka pun terhindar dari tabrakan. Sejenak, mereka lolos dari kematian. Akan tetapi, situasi genting belum berakhir. Kapal Marsose ikut membelok ke anak sungai. Di haluannya, terlihat beberapa orang berdiri memegang karabin, bersiap menembak.

"Mereka masih mengejar kita!" lapor Pandih. "Kita balas menembakkah?"

"Jangan! Amunisi kita sedikit. Kayuh saja ke celah itu!"

Simpei mengarahkan sampan memasuki sebuah kelokan kecil yang gelap karena dipenuhi tetumbuhan. Sesuai harapan, ranting pohon, sulur-sulur rotan dan tanaman merambat di area rawa pasang surut itu memberikan persembunyian yang sempurna. Kapal Marsose yang lebih besar kesulitan menyusup di jalur-jalur sempit dan relatif dangkal. Belum lama meninggalkan sungai induk, kapal mereka kandas di lumpur dan tersangkut sulur-sulur rotan.

Simpei terbahak. "Rasakan kalian! Sampai besok pagi pun belum tentu kalian lolos dari situ!"

Beberapa saat kemudian, sampan mereka melaju tenang dalam labirin rawa gambut. Setelah yakin lolos dari pengejarnya, mereka terduduk di lantai dengan napas memburu. Lemas sudah seluruh tubuh kehabisan tenaga.

Deka tidak ikut duduk. Ia menderap ke dalam bedeng untuk melihat kondisi Urai. Ia menemukan gadis itu meringkuk di antara tempayan beras dan peti kayu.

"Rai, kamu nggak pa-pa?" Segera ditariknya Urai dari persembunyian, lalu diperiksa. Ia lega tidak menemukan luka serius selain lecet-lecet karena melarikan diri dari terjangan pohon.

Wajah khawatir itu semakin terlihat tampan di mata Urai. Apalagi tadi Deka tanpa ragu memberikan tubuhnya sebagai tameng saat ia diserang Marsose. Lelaki yang biasanya bawel melebihi perempuan, mendadak berubah menjadi pahlawan gagah berani. Urai tersanjung.

"Selama ada kamu, aku selalu baik-baik aja, Kodeka," bisik Urai. Senyumnya terkembang manis, mengimbangi hatinya yang membengkak, kepenuhan rasa bahagia karena perhatian kecil itu.

Seharusnya, Deka mengomel seperti biasa. Entah mengapa, kali ini mulutnya malah bungkam. Mata bening dan bibir kemerahan Urai menimbulkan ledakan aneh di dasar kalbu. Ia sampai berhenti bernapas beberapa detik.

Melihat Deka tertegun, Urai kehilangan akal. Mendadak, ia dibuat sangat gemas oleh pipi mulus sang junjungan. Apalagi badan mereka berdekatan. Getaran itu membuncah begitu saja.Bibir Urai mendekat dengan cepat, lalu mendarat di pipi junjungannya. Sebuah kecupan yang singkat dan hangat. Hasilnya sangat telak. Jantung pun Deka berdenyut keras tanpa akhlak.

☆☆☆

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang