"Aaaaaa!" Arwah Nuraini kembali panik saat badan halusnya tertembus panah. Sudah pasti, serangan itu cuma membuat si Arwah Centil kaget dan langsung berlindung di balik tubuh Deka.Para prajurit Punan berteriak dan segera melindungi diri dengan talawang. Sebagian lagi berusaha memadamkan api dengan menginjak atau menyiramnya dengan air.
"Aaaaaa!" Deka panik. Anak panah berdesingan di atas kepalanya. Ia merapatkan tubuh ke lambung kapal sambil masih bergantung di tangga.
"Kodeka, cepatan naik!" seru Urai.
"Gimana naiknya? Aku diserbu panah!"
Salah satu panah api mengenai tali tangga dan langsung membakarnya. Dengan cepat, api menghanguskan tali itu. Deka berusaha memanjat secepat mungkin. Malang, tali itu putus sehingga tangga menjadi miring. Deka mencengkeramnya kuat-kuat agar tidak jatuh. Belum sempat mengembalikan keseimbangan, sebuah anak panah menyerempet lengan kanannya. Deka kehilangan kekuatan dan nyaris jatuh andai tidak menggapai tali yang masih utuh dengan sekuat tenaga. Alhasil, ia menggelantung di sisi kapal sambil mendekap erat-erat tali tangga.
"Kodekaaaa!" Urai berteriak panik.
"Cepat merunduk, Maduku!" seru Nuraini yang kembali berputar-putar di udara sambil menjerit-jerit. Setelah itu ia kabur ke dek depan dan bersembunyi di balik drum-drum.
Urai berusaha mengangkat tangga, namun tenaganya tidak mencukupi. Tangga tertarik ke atas sedikit, lalu jatuh kembali.
"Siapa pun, toloooong!" pekik Urai. Tidak ada orang datang memenuhi panggilannya karena semua Marsose sibuk berlindung dari serbuan panah. Awak kapal yang tidak memadamkan api, bersembunyi di tempat aman.
Urai kembali berusaha menarik Deka. Sayang, usahanya sia-sia karena tali akhirnya putus, membuat Deka langsung meluncur ke air. Tahu junjungannya tidak bisa berenang, jantung Urai kontan kram, membuatnya tidak waspada akan datangnya bahaya. Sebuah serbuan anak panah beracun mengarah padanya. Di saat genting itu, sebuah lengan kekar menarik lengannya dengan kuat sehingga ia terempas di lantai dek, terselamatkan dari terjangan senjata beracun. Ternyata, orang itu adalah Jojang.
Jojang menyeret Urai ke balik tumpukan drum di dekat kabin. "Sembunyi di sini. Jangan keluar!" perintahnya. Tanpa menunggu jawaban, kepala suku yang gagah berani itu melesat ke pinggir dek, lalu terjun ke kapalnya untuk menahan serbuan panah dengan kesaktiannya.
Kapal itu berlayar dengan tujuan damai sehingga tidak membawa banyak pasukan. Hanya ada dua puluh Marsose pribumi untuk menjaga utusan Belanda, yaitu Kapten Christofel dari Kuala Kapuas, Asisten Residen Hoky dari Banjarmasin, seorang letnan Belanda, dan beberapa petinggi Dayak. Tentu saja, mereka langsung kalang kabut.
Para Marsose segera memasang formasi bertahan. Mereka berjajar di pinggir dek guna melancarkan tembakan balasan dengan senapan ke arah para penyerang. Sebagian para penyerang Dayak terkena tembakan dan terluka. Mereka segera diseret temannya masuk ke hutan. Serangan panah itu hanya berlangsung sebentar, namun dampaknya sangat nyata di atas kapal. Dek kayu dan bangunan kabin sebagian terbakar. Awak kapal sibuk memadamkannya agar tidak menjalar ke mana-mana.
Riwut ikut bersama pasukan Punan mengejar para penyerang ke tepi sungai. Terjadi baku hantam sangat sengit. Suara-suara serangan dan kesakitan silih berganti memenuhi udara. Jumlah pasukan penyerang ternyata lebih banyak dan tangguh sehingga ia terdesak ke perahu.
Sementara itu, pasukan Damang Batu membantu tetua mereka menahan serangan para pengayau setelah upaya negosiasi gagal menemui kesepakatan. Para pengayau itu memang berniat menyerang, apa pun yang terjadi. Pertempuran pun pecah dan Damang Batu kalah jumlah. Dengan cepat, kapal mereka terdesak mundur ke arah kapal uap Belanda.
Para Marsose menghujani penyerang Dayak dengan tembakan senapan dan meriam untuk melindungi petinggi mereka. Jangan sampai para penyerang mencapai kapal. Upaya itu berhasil membuat kapal uap itu melaju menjauhi medan pertempuran dengan selamat.
Urai merayap keluar dari persembunyian. Saat dilihatnya medan pertempuran sudah jauh dan para Marsose tidak lagi menembak, ia berlari ke buritan. Matanya awas memindai permukaan air di sekitar area pertempuran, namun ia tidak menemukan Deka. Mungkinkah Deka telah tenggelam di sungai ini? Kedua tungkainya langsung lemas dan napasnya terasa tersendat.
Dengan pandangan yang kabur karena air mata, Urai masih bisa menemukan Riwut bersama prajurit Punan tengah baku hantam dengan pasukan penyerang di atas sampan. Sekali lagi, ia terpaksa menyaksikan pemuda itu mempertaruhkan nyawa. Hal itu semakin membuat dadanya sesak. Firasatnya kali ini sangat buruk sehingga ia memutar tubuh untuk mencari bantuan.
"Pak, kalian tidak membantu Damang Batu?" tanyanya pada salah satu Marsose yang terlihat berpangkat tinggi.
Orang itu menggeleng dan malah menyuruh Urai duduk kembali. Urai belum mau menyerah. Ia bangkit dan menarik baju pria itu.
"Pak, tolonglah. Jumlah mereka sedikit. Pasti akan kalah," pinta Urai.
Alih-alih mendengarkan permintaan Urai, orang itu malah mengacungkan senapan ke mukanya. Urai seketika sadar bahwa apa pun yang terjadi, Belanda hanya akan mengambil jalan paling menguntungkan bagi mereka. Biarkan saja orang-orang Dayak itu saling serang asal mereka aman.
Tulang-tulang di kedua tungkai Urai seperti luluh mencair dan ia kembali terduduk tanpa tenaga. Badannya menggigil. Seserpih rintihan lolos dari bibirnya. "Kodeka, Riwut, aku nggak kuat ... aku nggak kuat ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOI 1894 - The Disastrous Ritual
FantasíaUrai tak jera mencari perhatian pemuda pujaan hatinya. Sementara Deka selalu sinis dan sarkastis pada Urai yang menurutnya tukang pembuat onar. Sampai akhirnya sebuah anomali alam membuat kedua insan itu terlempar ke dalam portal gaib. Mendadak, mer...