30b. Berpisah (2)

231 70 2
                                    


Jala tersentak. Napasnya tersekat dan seluruh tubuhnya menggigil. Kesakitan Riun sanggup melintasi jarak dan sampai padanya. Tanpa terasa, matanya memerah. "Dia sekarat ...."

Deka juga mendapat penglihatan yang sama. "Kita sudah dekat. Ayo, kita berangkat secepatnya!"

Mereka bangkit, lalu menemui Simpei dan Pandih di dalam rumah. Kedua pejuang itu tengah ramai saling bertukar kabar dengan Salundik.

"Damang Batu minggu lalu mampir ke sini," ucap Salundik. Melihat binar matanya, tampak jelas lelaki itu memuja sang Damang.

Kening Simpei berkerut mendengar kabar itu. "Buat apa dia ke sini?"

"Damang mengumpulkan bahan makanan untuk pertemuan besar di Tumbang Anoi. Kamu sudah mendengar tentang rencana itu?"

Simpei mengangguk tanpa semangat. Melihat reaksi Salundik, ia urung meminta tolong untuk mengumpulkan pejuang.

"Aku ikut menyumbang tiga ekor babi dan dua karung beras," lanjut Salundik dengan bangga.

Simpei terlihat semakin kecewa. "Buat apa kamu ikut menyumbang? Tiga babi dan dua karung beras itu tidak sedikit."

Salundik tertawa kecil. "Apalah arti tiga ekor babi dan dua karung beras? Babiku masih bisa beranak lagi dan sawahku bisa menghasilkan padi lagi tahun depan. Kita butuh ketenangan dan keamanan agar bisa mencari makan dengan damai. Kita semua sudah lelah dengan peperangan antar suku, apalagi ngayau."

Simpei dan Pandih saling pandang. Rupanya saudara mereka sudah jatuh dalam pengaruh sang Damang. Kalau seperti ini, sebaiknya mereka cepat angkat kaki dari tempat ini sebelum rencana penyergapan utusan Belanda terendus Salundik.

"Kami tidak bisa singgah lama," ucap Simpei untuk mengalihkan pembicaraan. "Kami harus sampai di Jabiren malam ini."

"Kenapa cepat-cepat? Ada urusan apa di Jabiren?" tanya Salundik.

"Bukan di Jabiren, tapi di Tumbang Anoi. Aku mau mencarikan istri buat saudara angkatku ini." Simpei menepuk-nepuk bahu Pandih untuk mengelabui Salundik.

"Sejauh itu mencari istri?" Salundik keheranan.

"Amanat orang tua. Leluhur saya orang Ot Danum, jadi saya harus mencari jodoh dari sana," jawab Pandih, ikut fasih bersandiwara.

Salundik terlihat kecewa karena rasa rindunya belum terobati. "Paling tidak, bawalah bekal dari kami."

Simpei menoleh pada Deka dan Jala. "Kalian ikut kami ke hulu, bukan?"

Deka menggeleng. "Kami harus menemukan tunangan Jala."

"Di mana?"

"Sepertinya ke arah hilir."

Simpei mengangkat alis. "Sepertinya? Kalian belum yakin di mana tempatnya?"

Jala dan Deka menggeleng bersamaan.

Simpei menatap mereka dalam-dalam, lalu ikut menggeleng. "Kalian tahu sendiri kami mengejar waktu agar secepatnya sampai di hulu. Tidak mungkin kami mengantar kalian ke hilir, apalagi belum jelas di mana tempatnya."

"Lalu, bagaimana mereka, Kak?" tanya Pandih.

"Kita terpaksa berpisah di sini," ucap Simpei tegas.

"Kami tidak punya jukung," keluh Deka. Sebenarnya, ia berharap Simpei mau mengantar mereka ke desa terdekat.

"Jukung?" Salundik ikut nimbrung. "Saya punya jukung tua yang jarang dipakai. Kalau kalian mau, silakan ambil."

Tidak hanya memberikan jukung, Salundik juga membekali Deka dan Jala bahan makanan dan sebuah mandau. Alat itu sangat berguna untuk bertahan hidup di belantara Kalimantan. Talawang dan sumpitan mereka selamat dari perampasan para Marsose, namun anak sumpitannya disita oleh mereka. Salundik sungguh berbaik hati memberikan upas miliknya untuk bahan membuat anak sumpitan. Sungguh sebuah bantuan yang sangat berarti bagi Deka, Jala, dan Urai.

Pagi itu, usai sarapan, rombongan mereka berpisah di lanting. Simpei dan Pandih mengarungi sungai Kahayan menuju hulu, sedangkan Deka, Jala, dan Urai mendayung menuju hilir.

Perjalanan kali ini tidak memakan banyak tenaga karena mereka tidak melawan arus. Sampan kecil yang maksimal memuat empat orang itu meluncur cepat di permukaan Sungai Kahayan.  Cuaca cerah berawan mengiringi kepergian mereka. Udara terasa sejuk. Mata mereka dimanjakan oleh nuansa hijau segar dari pepohonan hutan di sepanjang tepi sungai. Sebenarnya, perjalanan kali ini bisa menjadi piknik yang menyenangkan. Hanya saja, wajah Deka dan Jala terlihat keruh.

Urai merasakan ketegangan kedua rekannya. "Kodeka, di mana Riun? Siapa penyekapnya?"

Deka menggeleng. "Aku belum tahu. Yang jelas, bukan orang Punan suruhan suaminya."

"Orang-orang Punan itu bisa menemukan Jala, tapi kenapa tidak bisa menemukan Riun?"

Pertanyaan Urai itu selama ini juga menjadi tanda tanya besar dalam benak Deka. Mungkinkah Jala masih menyembunyikan rahasia lain?

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang