11a. Napas Sungai

305 73 8
                                    


Riwut Harusan masih berdiri tegak di antara kerumunan penghuni betang. Sosoknya terlihat berwibawa dan cerdas. Namanya diambil dari fenomena alam yang ditemukan di Kalimantan, yaitu napas sungai. Riwut harusan atau riung adalah bunyi mirip alat musik dari dalam sungai. Nyanyian alam itu terbentuk saat arus air tawar dari sungai bertemu dengan air asin dari laut. Gesekan dan perpecahan kedua aliran itu menimbulkan bunyi seperti suara harpa.

Gesekan yang menghasilkan nyanyian. Barangkali itulah doa kedua orang tua Riwut saat memberikan nama itu, yaitu agar anaknya kelak dapat memanfaatkan gesekan kehidupan menjadi pencapaian yang indah, nyanyian kehidupan.

Riwut belum berhenti mengamati Urai yang melangkah takut-takut di belakang Deka. Momen yang hanya beberapa detik itu mendadak memanjang, seperti dibekukan oleh zaman. Wajah bulat telur dengan bibir menguncup kemerahan itu tahu-tahu telah merembes ke relung kalbu dan memenuhi ruang di sana.

Urai pun merasakan hal yang sama. Setiap gerak tubuhnya dirasakan dengan detail, seperti rekaman video berkualitas tinggi yang diputar dalam mode gerak lambat. Anehnya, setelah berpapasan di lanting dan kemudian sempat berbicara di teras dapur tadi, ia merasa pemuda itu bukan orang asing.

Sore tadi sepulang dari sungai, ia disuruh membantu para wanita di teras dapur. Mereka telah membersihkan ikan tangkapan dan kini merendamnya dalam bubuk garam. Esok, ikan-ikan itu akan dijemur sampai kering agar awet disimpan.

Tahu-tahu, Riwut mendatangi kerumunan ibu-ibu dan anak-anak itu sambil membawa kaleng berisi kue kering dari sagu. Oleh-oleh dari kota itu segera disambut anak-anak dan para wanita.

Urai hanya mengamati dari sudut teras dan tidak berharap mendapat jatah. Ternyata Riwut datang menghampiri, lalu perlahan berjongkok di depannya. Dengan posisi lengan kiri bertumpu kaki kiri, otot-otot Riwut terlihat bergulung sehat. Pemuda itu mengulurkan sepotong kue sagu. Wajahnya terlihat santai sehingga Urai tidak ragu menerima pemberiannya.

Urai mengamati sejenak kue yang berwarna keputihan dan berbentuk bundar. Ada cetakan motif huruf Cina di salah satu sisinya. Saat digigit, ternyata tekstur dan rasanya tak jauh berbeda dari kue sagu zaman sekarang.

"Terima kasih," ucap Urai. Ia tidak berani berlama-lama menatap Riwut dan segera menunduk. Ia tahu pemuda itu menelisiknya dari ujung kepala hingga ujung kaki sehingga sempat terbesit pikiran akan diperlakukan dengan kasar. Atau jangan-jangan akan dipaksa untuk melayaninya nanti malam.

"Siapa namamu?" tanya Riwut setelah puas mengamati gadis aneh di depannya. Suaranya terdengar ramah. Perilakunya juga tenang, tidak seperti pemuda yang mengganggu Urai di gubuk tadi siang.

Urai memberanikan diri mendongak dan menemukan sepasang manik mata berwarna cokelat tua. Ia baru sadar bahwa mata Riwut sangat indah. "Urai," jawabnya lirih setelah menelan potongan kuenya.

"Urai siapa?"

"Bungas. Urai Bungas."

"Hm, Bungas? Kamu memang bungas." Riwut tersenyum. Sederet gigi yang rapi terlihat di balik bibir yang kemerahan. (cantik)

Urai tertegun. Mendadak ketakutannya terhadap Riwut lenyap dan keberaniannya timbul. "Kamu siapa?"

"Aku Riwut. Riwut Harusan. Anak Deong, pemimpin betang ini."

Urai paham sekarang mengapa Riwut terlihat istimewa. Selain wajahnya memang tampan—sedikit saja kalah dari Deka—ia juga dihormati penghuni lain. "Riwut harusan itu napas sungai atau riung. Benar?"

"Benar! Adikku diberi nama Riung. Rupanya bapaku sangat menyukai napas sungai. Kamu pernah mendengarnya?"

Urai menggeleng. "Aku banyak di daratan."

"Mau aku ajak ke tempat yang ada riungnya?"

Mata Urai kontan melebar. "Kalian akan membebaskan kami?" pintanya penuh harap.

"Itu tergantung keputusan sidang nanti malam."

"Ah!" desah Urai. "Aku harus pulang, Riwut."

"Sayangnya, kalian tidak boleh ke mana-mana sampai terbukti bukan mata-mata."

"Kami bukan mata-mata! Kami tersesat di hutan!"

Mata Riwut memicing, namun senyumnya tidak lenyap. Ia malah seperti tengah menggoda Urai. "Siapa yang akan percaya pada keterangan itu saat kami sedang menghadapi serangan?"

"Serangan?"

Wajah Riwut berubah muram. Andai situasi tidak sedang genting, ia pasti akan mengajak gadis ini naik jukung ke hulu untuk menangkap ikan atau ke hilir untuk berbelanja di pasar. "Beberapa hari yang lalu, kami menangkap burung gagak hitam yang terbang masuk ke betang."

"Gagak itu membawa ancaman serangan?" tebak Urai.

"Tidak secara langsung. Orang-orang tua di kampung memberi tahu kami bahwa gagak itu pertanda akan terjadi pertempuran di sini."

"Tapi itu cuma pertanda. Belum tentu benar-benar terjadi," ucap Urai.

Riwut duduk bersila di depan Urai, lalu menatapnya dalam. "Ah, jangan-jangan kamu bukan orang Dayak. Mengapa tidak percaya apa kata tetua kampung?"

Urai segera menyadari telah salah bicara. "A-aku hanya ingin pertempuran itu tidak terjadi."

"Kenapa? Kamu takut mati?" goda Riwut dengan seringai lebar.

Urai sama sekali tidak merasa hal itu lucu dan malah semakin menciut nyalinya. "Aku akan mati di sini?"

Riwut terdiam tanpa melepaskan tatapannya pada wajah Urai. Jantungnya seperti dicubit. Tidak ada yang bisa menjamin mereka akan selamat bila serangan itu benar terjadi. Perang antar suku itu mengerikan dan ia sungguh tak ingin mengalaminya lagi.

"Aku berharap suatu saat nanti tanah Dayak ini aman. Orang-orang bisa hidup tenang tanpa berperang."

"Siapa musuh kalian?" tanya Urai.

"Banyak!"sahut Riwut.

—Bersambung—

Penasaran?
Masukkan library biar nggak ketinggalan update

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang