8b. KIsah Sedih (2)

326 82 5
                                    

Jala menoleh pada Urai, seperti minta dijelaskan karena Deka berbicara dalam bahasa Indonesia yang tidak ia mengerti. Gadis itu segera menerjemahkannya ke dalam bahasa Dayak Ngaju.

"Rasanya amis. Aku mendadak membayangkan darah menggenang di ...." Jala terdiam. Ekspresinya seperti tengah berusaha mengingat sesuatu.

"Di mana? Darah siapa?" desak Urai.

Jala tiba-tiba terlihat gelisah. Tanpa menjawab pertanyaan Urai, ia berusaha bangkit, lalu berjalan sempoyongan menuju pintu. Didobraknya pintu itu dengan bahu. Beberapa kali mencoba tanpa hasil, Jala bergerak ke dinding, mendorong bilah-bilah kayu agar terbuka. Tentu saja, usahanya sia-sia karena dinding gubuk itu terbuat dari kayu hutan bulat yang cukup kuat.

"Aku harus keluar dari sini! Harus!" ucapnya dengan panik. "Riun harus ditolong segera!"

Karena frustrasi, Jala memukul-mukul pintu sambil berteriak hingga menimbulkan kegaduhan. Namun, suaranya tak berhasil memancing perhatian para penghuni bangunan utama.

"Hei, sudahlah. Simpan tenagamu. Lebih baik kita memikirkan cara untuk melarikan diri dari sini," ucap Deka. Kata-katanya segera diterjemahkan oleh Urai.

Jala terduduk di lantai, lalu menyembunyikan wajah di dinding dengan bertopang lengan. Bahu kurus yang kotor oleh debu dan darah itu berguncang. Isakan lirih lolos dari mulutnya. Bilur-bilur bekas cambukan kini terlihat nyata.

Deka menyenggol lengan Urai. "Sepertinya, semua misteri ini berhubungan dengan dia. Coba kamu tanya apa yang terjadi sampai dia ditawan di sini."

Urai mengangguk dan segera beringsut mendekati Jala. Ditepuknya bahu pemuda itu untuk menenangkannya. "Jala, apa yang telah terjadi padamu? Kita harus saling membantu agar bisa melarikan diri dari sini," bujuknya.

Jala menoleh dan segera menghapus air mata. Sejenak, ia menelisik dua orang asing di depannya. Baju mereka lengkap dan modelnya aneh. Di pulau ini, yang mengenakan baju atasan dan bawahan lengkap adalah orang Inggris di utara dan Belanda di selatan pulau, para bangsawan pribumi, serta para pendatang dari tanah Melayu, Jawa, Cina, dan Arab. Di kalangan orang Dayak sendiri hanya pemuka suku dan orang kaya yang menyimpan pakaian bagus. Rakyat jelata, apalagi budak, cukup mengenakan ewah, yaitu kain tenun kasar sebagai penutup aurat yang dililitkan di pinggang dengan kedua ujungnya menjuntai di depan dan belakang.

"Siapa sebenarnya kalian dan dari mana? Beras apa yang kalian bawa? Mengapa membuatku seperti melihat kematian Riun?" tanya Jala.

"Kami dari Banjar," jawab Urai.

Jala menuding baju Urai dan Deka yang modelnya mirip baju orang kulit putih. "Kalian orang-orang yang bekerja pada Belanda?"

"Bukan, bukan!" Urai menggerakkan tangan dengan cepat. "Bapaku orang Kapuas. Ibuku orang Meratus."

"Dia orang mana? Dia tidak seperti orang Dayak." Jala menunjuk Deka.

"Dia keturunan Tiongkok."

Jala mengernyit. "Tiongkok?"

"Mmm, maksudku orang Cina."

Kali ini Jala mengangguk. "Oh, pedagang Cina. Sewaktu di kampung dulu, bapaku pernah mengajak kami ke hilir, lalu membeli barang-barang dari orang Cina."

"Di mana keluargamu sekarang?" tanya Urai. Ia heran tidak menemukan tato bunga terung khas Dayak Iban yang berbentuk bulat di bahu pemuda itu.

"Sebagian sudah meninggal." Mata Jala meredup. "Sewaktu aku masih anak-anak, mereka menyerbu kampung kecil kami."

"Siapa mereka?"

"Orang-orang Penihing. Sudah lama mereka bermusuhan dengan orang kami."

"Penihing ...," gumam Deka sembari mengingat-ingat kapan mendengar nama itu. Mendadak ia merindukan ponsel dan Mbah Gugel tercinta.

"Orang mana itu?" tanya Urai.

"Orang Mahakam hulu."[1]

"Kenapa sukumu bermusuhan dengan mereka?"


_______________

[1] Suku Dayak Penihing atau Aoheng tinggal di hulu Sungai Mahakam, di pegunungan Schwaner-Muller, Kalimantan Timur. Pada masa itu, mereka terjepit antara ancaman suku Iban dari Serawak di utara dan Kesultanan Kutai di hilir Sungai Mahakam.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang