Perdebatan antara Simpei dan teman-temannya berakhir dengan anggukan kepala tanda kesepakatan. Keempatnya dengan lincah naik ke sampan. Mereka menyantap ubi dan wadi[1], lalu mendayung bergantian. Hanya Jala dan Deka yang bertugas tanpa jeda hingga bahu dan lengan keduanya terasa kebas.
Jalur yang dipilih Simpei adalah anak sungai kecil, alih-alih sungai induk. Daerah aliran sungai Kapuas banyak memiliki area rendah dan basah yang menjadi rawa saat air pasang. Bahkan sebagian air sumur di daerah itu berasa asin. Simpei rupanya mengenal daerah itu dengan baik karena tidak kesulitan menemukan jalan di antara jalur-jalur rumit di sepanjang rawa.
Sampan meluncur gesit di atas air yang bening, namun berwarna cokelat seperti teh. Kata orang, air itu bukan kotor, melainkan terkena zat warna tanin dari dedaunan dan akar pohon. Tidak ada yang berkeinginan membuka mulut sehingga perjalanan itu terasa senyap.
Langit telah merona lembayung saat sampan keluar dari area rawa-rawa gambut. Simpei memerintahkan mereka untuk beristirahat di tanah kering yang terlindung dari sungai induk. Di sebuah area yang dikelilingi pohon-pohon tua yang menjulang puluhan meter tingginya, mereka menumpuk ranting dan daun kering, lalu membuat api. Dengan api unggun itu, mereka menanak nasi dan memanggang wadi. Mereka juga menemukan pohon cempedak yang berbuah banyak.
Urai sudah bisa berjalan dan ikut turun menyiapkan makan malam. Ia juga membersihkan kulit cempedak, lalu membubuhinya dengan garam. Campuran itu lalu disimpan dalam tempayan tanah liat yang ia temukan di sampan. Kulit cempedak hasil peraman gurih bila digoreng. Siapa tahu mereka tidak sempat mencari ikan atau binatang buruan, maka isi tempayan itu akan menjadi cadangan pengisi perut.
"Kamu, pasang bubu di ujung anak sungai itu!" perintah Simpei pada Deka.
Deka menoleh pada Urai, meminta terjemahan.
"Kamu harus memasang bubu di ujung sana," ujar Urai kepada Deka.
"Aku tahu bubu. Tapi memasangnya?" bisik Deka.
"Kamu nggak pernah memasang bubu?" Mata Urai membulat tak percaya. "Ya, ya. Dasar orang kota!"
"Dia istrimu?" tanya Simpei kepada Deka.
Deka hanya melongo, sedangkan Urai membuka mulut hendak membantah. Namun, Jala lebih dulu menjawab.
"Iyoh. Ewen te sawa bana." (Iya. Mereka itu suami istri – Dayak Ngaju)
Mendengar itu, Deka menoleh pada Urai. Gadis itu langsung membisiki artinya. Begitu tahu, Deka memelototi Jala.
Tahu dirinya kena sasaran kekesalan Deka, Jala berbisik pada Urai, "Katakan padanya, aku berkata begitu demi keselamatanmu. Kamu tidak mau dijadikan gundik oleh orang-orang itu, bukan?"
Urai segera menyampaikan alasan Jala kepada Deka. Sudah pasti, pemuda itu semakin kesal. Matanya melibas Urai tanpa belas kasihan, seperti berkata, "Cari kesempatan dalam kesempitan!"
"Dia nggak bermaksud jahat, Kodeka," bantah Urai.
Deka terpaksa diam karena Simpei dan keempat temannya menelisik penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan mereka seperti tidak percaya ada lelaki semulus itu. Kaki dan pipi sama halusnya. Ditambah bibir yang ranum kemerahan karena tidak pernah terkena tar dan nikotin, lengkaplah kesan ayunya.
"Suamimu orang mana?" tanya Simpei kepada Urai.
"Banjar, Paman," sahut Urai sambil tersenyum terkulum. Merdu sekali kata "suamimu" itu, langsung meresap di hati dan membuatnya bengkak.
"Dia bukan orang Dayak?" tanya Simpei untuk memastikan.
"Bukan, Paman. Dia keturunan Cina."
Simpei berpaling ke Deka. Ia banyak bergaul dengan orang Banjar, pun jarak Kapuas – Banjar tidak terlalu jauh sehingga sedikit-sedikit ia mengerti bahasa mereka. "Ikam, lekasi tulak!" (Kamu, cepat berangkat! – Banjar)
Mungkin karena penampilan Deka tidak meyakinkan, ia menunjuk Jala. "Ikam! Umpat inya!" (Kamu! Ikut dia! – Banjar)
Jala segera berdiri mengikuti Deka ke sampan untuk mengambil bubu. Dengan empat alat perangkap ikan dari bambu itu, mereka menyisir anak sungai guna mencari lokasi yang tepat. Jala menemukan aliran kecil yang diperkirakan tempat lalu lintas ikan, lalu memasang bubu.
Deka memang tidak pernah mencari ikan. Ia tinggal di pasar, bukan? Ikan selalu tersedia di lapak-lapak pedagang. Tinggal beli, beres urusan. Karena itu, dipasangnya bubu asal saja di pinggiran sungai yang dangkal.
"Hei, jangan ditaruh di situ!" tegur Jala. "Kamu hanya akan mendapat katak!"
Deka tahu dirinya ditegur, tapi malas memperbaiki posisi bubu. Bukan apa-apa. Ia masih enggan masuk ke air, masih trauma dengan ular dan lintah. Bekas gigitan lintah di lehernya sampai saat ini masih merah dan gatal, terasa panas pula. Setelah meletakkan dua bubu, ia naik ke tanah kering. Jala langsung kesal. Ia terpaksa mengambil bubu Deka dan menempatkannya di aliran air yang banyak ikannya.
"Apa sih yang kamu bisa?" seru Jala. Separuh badannya masih terendam di air sungai. "Turun ke sini, bantu aku memasangnya!"
Deka hanya meringis saja, lalu melenggang kembali ke tempat Simpei dan Urai.
"Hoooi!" panggil Jala. "Sial! Tesakseput aku meda perangai nuan!" (Sesak napas aku melihat tingkah lakumu!– Dayak Iban)
_______________
[1] wadi adalah ikan yang diperam dengan garam dan beras yang disangrai.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOI 1894 - The Disastrous Ritual
FantasyUrai tak jera mencari perhatian pemuda pujaan hatinya. Sementara Deka selalu sinis dan sarkastis pada Urai yang menurutnya tukang pembuat onar. Sampai akhirnya sebuah anomali alam membuat kedua insan itu terlempar ke dalam portal gaib. Mendadak, mer...