Deka merasa sangat mual. Dunia sekeliling berputar cepat. Bentuk-bentuk mengabur dan melebur menjadi kilasan-kilasan cahaya kuning, biru, dan hijau. Ia ingin bergerak, namun kaki dan tangannya tidak menemukan pijakan atau tempat berpegang. Ia baru sadar bahwa dirinya mengambang di udara. Detik berikutnya, kilasan-kilasan cahaya itu bergerak semakin cepat. Yang semula berputar, kini mengarah lurus ke satu arah. Deka merasakan tubuhnya disentak keras, lalu ditarik menuju sumber cahaya yang lebih terang. Ia tidak cuma mual, tapi juga pusing. Dadanya sesak, serasa terimpit perut gajah. Pembuluh darahnya seperti meledak. Jerit kesakitan bercampur kengerian tak ayal melengking dari mulut pemuda itu.
Saat tarikan itu berhenti, Deka hanya melihat cahaya-cahaya kecil yang beterbangan di sekeliling tubuhnya, seperti jutaan kunang-kunang. Ia masih mengambang dan lemas tak bergerak. Butir-butir cahaya itu kemudian menempel pada tubuh Deka, menyelimutinya. Rasanya seperti tersengat ribuan listrik kecil. Nyeri dan kesemutan yang hebat mendera di sekujur permukaan kulit. Pemuda itu kembali berteriak kesakitan, lalu semuanya menjadi gelap.
☆☆☆
Suara cuitan burung menyeruak masuk ke pendengaran Deka. Kilas cahaya menerpa wajah. Deka tahu itu cahaya matahari tanpa membuka mata karena wajahnya terasa hangat. Dalam pejam, ia melihat pelupuknya yang tertembus cahaya menjadi berwarna merah.
Perlahan, Deka membuka mata. Silau sinar matahari membuatnya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya dapat melihat dengan baik. Pemandangan pertama yang tertangkap mata adalah daun-daun dan ranting-ranting yang rapat, seperti membentuk naungan di atas badannya. Cahaya matahari menembus di sela-sela dedaunan. Bentuk tumbuhan perdu itu tampak tidak asing.
Deka menggerakkan kepala. Berpaling ke kiri, ia melihat akar-akar pohon dan batang perdu. Ada air di kaki tumbuhan itu. Saat menoleh ke kanan, ia mendapati permukaan air yang dipenuhi sampah dedaunan. Ternyata, ia tergolek di rawa-rawa. Separuh tubuhnya terendam air. Deka berusaha menggerakkan kaki dan tangan untuk bangkit. Ia mengerang lirih. Tulang dan sendinya berderik, kaku dan ngilu. Dengan mengerahkan seluruh tenaga, ia berhasil duduk.
Sekarang otak Deka mulai berpikir keras menerka-nerka di mana ia berada. Diedarkannya pandangan ke sekeliling. Di belakang, tumbuhan semakin rapat, dan suasana lebih gelap. Di depan, terlihat lebih terang. Tetumbuhan itu berakhir pada sebuah sungai besar. Deka yakin, sungai tersebut tak kalah besar dari Sungai Barito yang membelah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Menilik situasi rawa-rawa ini, ia yakin masih berada di dataran Kalimantan. Masalahnya adalah ia berada di Kalimantan sebelah mana?
Mata Deka tertumbuk pada beberapa ranting kecil di depannya. Ranting berwarna kemerahan itu tegak, mencuat dari air dan besarnya seukuran jari manusia.
Sebentar ....
Deka memicing untuk melihat lebih teliti. Masa sih ujung ranting punya kepala, mata, dan mulut? Seketika, Deka ternganga. Benda itu bukan ranting, melainkan ular!
"Aaaaah!"
Kontan, Deka bangkit lalu berusaha menyingkir dari situ dengan langkah terseok. Beberapa kali ia tersungkur karena kakinya tersandung akar tumbuhan. Saat telah mencapai tanah kering, ia terduduk lemas dengan dada naik-turun.
Puukk!
Tahu-tahu, dahinya tertimpa sesuatu dari atas. Benda itu jatuh dengan keras sehingga ia terjengkang ke belakang dan kembali rebah. Setelah menimpa Deka, benda berwarna putih itu tergeletak agak jauh, sedikit terendam air.
"Auuh!" Deka mengusap dahinya yang terasa panas akibat benturan tadi. Kemudian, ia merangkak untuk mengambil benda putih yang ternyata kantong beras pemberian Urai. Seketika ia teringat gadis itu.
Deka segera berdiri untuk melihat ke sekeliling. Yang terlihat di semua sudut hanyalah hutan gelap yang diramaikan oleh suara burung dan serangga serta deru arus sungai.
"Raaai!" seru Deka. "Uraaai!"
Tak ada tanda-tanda gadis itu di sekitarnya. Deka mulai panik. Bagaimana bila Urai mendarat di tengah sungai sana, lalu tidak bisa bernapas dan langsung tenggelam? Atau mendarat di pepohonan dan tertusuk batang yang tajam?
"Anak orang hilang! Mati aku!"
Deka bergegas menuju sungai. Sebagian besar tanah di tepi sungai tidak terlihat. Rupanya, sekarang sedang pasang sehingga airnya meluap, membentuk rawa-rawa. Deka harus rela air merendam tubuhnya hingga ke pinggang untuk mencapai tepian. Ia tidak berani maju lebih lanjut karena takut terperosok lubang yang dalam. Ia tidak bisa berenang.
"Raaaai!" Deka berjalan ke berbagai arah untuk mencari keberadaan gadis itu. Namun usahanya tidak membuahkan hasil. Akhirnya, ia memutuskan untuk naik ke tanah kering dan mulai mencari di dalam hutan.
---Bersambung—
Yuk, beri vote dan komen
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOI 1894 - The Disastrous Ritual
FantasiUrai tak jera mencari perhatian pemuda pujaan hatinya. Sementara Deka selalu sinis dan sarkastis pada Urai yang menurutnya tukang pembuat onar. Sampai akhirnya sebuah anomali alam membuat kedua insan itu terlempar ke dalam portal gaib. Mendadak, mer...