Suasana duka mewarnai wajah-wajah orang Punan saat jenazah Riun diturunkan ke perahu mereka, terutama Jojang. Pencarian berdarah demi cinta dan harga diri itu berakhir dengan tragis. Ia harus menerima kenyataan menjadi duda dalam usia muda.Jenazah Riun akan dibawa ke tanah kelahirannya, Tumbang Mahuroi. Sesuai saran Damang Batu, Riun akan dimakamkan di sisi ibunya. Jala tidak diizinkan ikut karena sangat tidak etis dan akan mengundang kerusuhan baru di kalangan keluarga Riun. Mantan dukun sesat itu pun harus menerima kenyataan bahwa ia bukan siapa-siapa bagi keluarga Riun.
Deka dan Urai melepas kepergian mereka di haluan kapal Damang Batu. Langit lembayung dan angin sore yang lembut seperti napas mengantar iring-iringan duka itu menjauh dengan cepat, mendahului mereka menuju hulu. Jala duduk sambil menunduk di ujung haluan untuk menyembunyikan mata yang basah. Punggungnya melengkung ke depan, seolah melindungi diri dari rasa duka yang meremukkan hati.
Deka dan Urai meninggalkan haluan setelah rombongan Jojang hilang dari pandangan. Jala dibiarkan sendiri untuk berduka. Di dalam bedeng beratap di tengah perahu, mereka menemui Damang Batu. Lelaki itu tengah duduk di lantai beralas lampit. Seperti kebiasaan para tetua Dayak, tangannya sibuk mengelap daun sirih.
"Kalian bisa makan sirih?" tanya lelaki itu. Ia kini mengoles daun sirih dengan bubuk kulit keong, lalu meletakkan potongan buah pinang di atasnya. Setelah itu, daun sirih dilipat dan dimasukkan ke mulut.
Gigi Deka ikut ngilu saat mendengar bunyi "kres-kres" ketika ramuan antiseptik tradisional itu dikunyah sang Damang. "Mm, belum pernah mencoba, Damang."
Damang Batu tersenyum lebar sambil terus mengunyah. "Dari mana kalian?"
"Dari Banjar, Damang," sahut Deka. Hatinya mulai was-was karena ditatap lekat-lekat, seperti tengah dipindai isi otak dan rongga tubuhnya.
"Kalian ada di sini, tapi sebenarnya kalian belum terlahir," gumam Damang Batu lagi. Beberapa detik kemudian, ia mengangguk-angguk kecil. Matanya berbinar, seperti menemukan keajaiban. Ia meludahkan sirih melalui jendela, lalu berkata, "Ini luar biasa! Baru kali ini saya menemukannya. Katakan, bagaimana kalian bisa sampai di sini."
Deka menuturkan kronologi kejadian dari saat berjumpa arwah Riun hingga terdampar di belantara Kalimantan. Damang Batu mencondongkan tubuh ke depan, menyimak semua keterangan itu dengan teliti. Di akhir penjelasan, ia termangu sambil mengelus dagu. Deka semakin was-was, seperti terdakwa menunggu vonis hakim.
"Bagaimana nasib kami, Damang?" tanya Deka.
Damang Batu masih berpikir keras sampai-sampai kerutan di keningnya berlipat ganda. "Hm, jadi beras itukah penuntunnya?"
"Benar, Damang."
"Sayang sekali, berasnya sudah habis." Damang Batu menegakkan tubuh dan bersedekap. "Kalian harus mencari sisa beras itu."
Mencari sisa beras?
Deka dan Urai saling tatap dengan kalut. Bayangkan saja, betapa muskil mencari butiran sekecil itu di tengah belantara maha luas ini.
"Kalau tidak ketemu, apa yang akan terjadi, Damang?" tanya Urai. Bibirnya memucat karena panik.
Damang Batu hanya menatap tamunya dengan prihatin. "Kalian sudah tahu jawabannya."
"K-kami selamanya terjebak di masa ini?" tanya Urai lagi. Kali ini matanya membulat lebar.
Damang Batu tersenyum dengan lembut. "Carilah. Kalau sudah tiba waktunya untuk pulang, kalian pasti akan menemukan jalan."
Deka dan Urai kembali saling pandang. "Rai, di mana jukung yang kita pakai kabur dari Silas? Terakhir aku lempar berasnya di jukung itu."
Urai menggeleng. "Riwut membawanya sewaktu Damang Batu memanggil kita. Aku nggak melihatnya lagi setelah itu."
Damang Batu memanggil anak buahnya untuk menanyakan keberadaan jukung Deka. Dari keterangannya diketahui bahwa jukung kecil itu ditinggalkan di sungai saat penyergapan pasukan Simpei. Mereka tidak sempat mengurusnya.
"Sayang sekali, pertempuran tadi sangat kacau. Kemungkinan, jukung kalian hanyut ke hilir," ucap Damang Batu.
"Kalau begitu, kami harus menyisir sungai ke arah hilir," sahut Deka.
Damang Batu mengangguk setuju. "Kalian boleh memakai salah satu jukung saya. Nanti, saya bekali beras, mandau, dan pemantik api."
Deka dan Urai mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati sang Damang. "Setelah mendapat beras itu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Deka.
"Kalian tidak tahu cara membuka gerbang gaib?" Wajah Damang Batu terlihat khawatir.
"Tidak, Damang," sahut Deka.
"Hooh, celaka!"
☆Bersambung☆
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOI 1894 - The Disastrous Ritual
FantasiUrai tak jera mencari perhatian pemuda pujaan hatinya. Sementara Deka selalu sinis dan sarkastis pada Urai yang menurutnya tukang pembuat onar. Sampai akhirnya sebuah anomali alam membuat kedua insan itu terlempar ke dalam portal gaib. Mendadak, mer...