16

742 44 2
                                    


Hohoho, I'm back with new chapter!!!
Hope you guys like it
Don't forget to give a lot of votes and comments!

----------------------------------------------------------

Third Person's P.O.V

"Lo kelas apa?" Tanya Kafka kepada Anna.

Yang ditanya malah hanya melongo menatap Kafka.

"Hey, bengong aja ditanyain," kata Kafka lagi.

Anna langsung tersadar dari lamunannya dan menjawab pertanyaan Kafka tadi, "Eh, iya, gue kelas E nih, lo sendiri?"

"Gue A," jawab Kafka.

Tiba-tiba bel berbunyi menandakan bahwa jam masuk telah tiba. Semua murid langsung pergi ke kelas barunya masing-masing.

Di kelas, Matthew sudah bermain dengan anak laki-laki lainnya. Anna pergi ke tempat duduk di pojok kanan dekat dinding, supaya ia bisa menyenderkan badannya di dinding.

Saat Anna telah duduk manis di tempat duduknya, ada seorang perempuan mendekatinya.

Namanya Widya, salah satu teman Anna yang cukup dekat dengannya, "Eh, Anna, kita sekelas!" katanya.

Jadilah, Anna duduk bersama Widya, dengan Matthew duduk di belakang mereka dan Kendra dan Jessa di depannya. Kendra dan Jessa memang sangat dekat, belum lagi, mereka berdua sama-sama termasuk jejeran dari salah satu murid yang terkenal di angkatan Anna. Tapi, jangan salah, Anna lumayan dekat loh dengan mereka berdua.

Tiga hari pertama dalam ajaran baru memang tidak ada mata pelajaran sama sekali. Palingan juga hanya dijelaskan beberapa pelajaran yang tidak begitu penting. Sebenarnya lumayan penting sih, terutama untuk membangun karakter pada remaja, contohnya pelajaran BK atau biasa disebut Bimbingan Konseling.

Pak Yogo, wali kelas baru Anna keluar dari kelas karena bel tanda istirahat telah berbunyi. Jessa dan Kendra sudah pergi ke kantin dari beberapa saat yang lalu.

Sedangkan Widya, ah sudahlah, lupakan saja. Widya hanya membaca salah satu buku seperti ensiklopedia mungkin, sambil memakan bekal yang dibawakan oleh ibunya. Ya, Widya memang lebih pantas disebut anak kutu buku. Penampilannya saja sudah meneriakan kata itu. Tidak begitu cantik, pakai kacamata, namun ya lumayan manislah. Tapi yang paling khas ya kuper-nya itu. Dia bahkan nggak punya BBM atau LINE. Boro-boro untuk punya sosial media, handphone saja tidak.

Sebenarnya bagi Anna, hal itu tidak menjadi perkara yang penting. Walaupun Anna memang tidak memandang materi dalam berteman, tetapi tetap saja. Kalau punya teman dekat yang tidak memiliki handphone bagaimana cara menghubunginya. Jelas repot sekali. Masa tiap mau menanyakan atau meminjam suatu buku harus pergi ke rumahnya? Belom lagi, rumah Anna jauhnya minta ampun ke rumahnya Widya. Kan. Repot kan.

Akhirnya Anna berjalan ke depan kelas. Mungkin hanya melihat-lihat pemandangan dari balkon saja. Ya, depan kelas Anna memang terdapat balkon yang menghadap ke arah lapangan sekolahnya. Bukan, bukan lapangan basket atau futsal. Tetapi semacam lapangan serbaguna yang indah. Terdapat banyak pepohonan dan sangat hijau. Fresh gitu ngelihatnya.

Disaat Anna sedang asyik bergalau ria di balkon, terasa sebuah tangan menyentuh pundaknya. Anna sontak langsung menoleh ke arah tangan terserbut. Namun, pas Anna mengetahui siapa orang tersebut, tergambar jelas ekspresi yang tidak begitu nyaman di matanya.

Gaby.

Satu nama itulah yang muncul di benak Anna. Walaupun masih terasa kecewa jika melihat orang ini, tetapi ia berusaha menutupinya. Orang itu kini sudah berdiri di hadapannya sambil menenteng sebuah buku musik, semacam buku untuk les piano mungkin.

The Ugly TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang