"Mas semalam kenapa gak pulang ke rumah?" tanya Fatimah setelah mereka berdua selesai sarapan.
Akhtar Ghazi Arkananta. Pria itu sudah menduga jika Fatimah nanti akan bertanya perihal semalam. Tentang dirinya yang semalam tak pulang tanpa mengabari sang istri terlebih dulu.
Akhtar lalu menghela nafas. Apakah dia harus berbohong pada istrinya itu? Lagi? Sudah ke berapa kali dia sudah membohongi Fatimah?
Rasanya sungguh berat bagi Akhtar. Dia sangat merasa bersalah pada Fatimah. Tapi, dia tak punya pilihan lain. Dia masih belum siap untuk mengatakan kebenarannya.
Akhtar menatap istrinya dengan lembut. Di tatapnya wajah cantik sang istri dengan tatapan bersalah. "Mas semalam nginep di kantor dek. Banyak banget kerjaan yang harus mas selesaiin hari itu juga," jawabnya.
Dalam hati, dia memohon ampun kepada Allah karena telah berani-beraninya berbohong pada sang istri.
Fatimah menatap sendu wajah sang suami. "Sampai mas gak ada waktu untuk sekedar ngabarin adek?" tuntutnya.
Tak tahukah sang suami seberapa khawatirnya dia semalam? Apakah sang suami tak memikirkan perasaannya? Ataukah suaminya itu sudah lupa kalau dia punya istri di rumah? Istri yang selalu setia menunggunya untuk pulang.
Akhtar mengusap wajahnya kasar. Dia lalu menggenggam tangan kanan sang istri di atas meja makan. "Maaf dek. Semalam emang ponsel mas lowbat. Sedangkan mas sendiri udah pusing sama kerjaan sampai mas lupa kalau belum ngabarin adek. Maafin mas," jelasnya yang memang hanya setengah kebenaran.
Fatimah menarik tangan yang di pegang sang suami hingga membuat Akhtar terkejut di buatnya. Apakah istrinya itu marah padanya?
Di tatapnya lamat-lamat wajah sang istri yang tampak kelelahan. Pun kantung mata yang sangat nampak di kulit putihnya. Istrinya itu pasti sudah menunggunya semalaman. Akhtar semakin merasa bersalah di buatnya.
"Dek? Kamu marah sama mas?" tanyanya pelan.
Fatimah memalingkan wajahnya ke samping. Enggan untuk menatap wajah Akhtar sekarang.
Apakah benar semua yang di katakan suaminya itu? Entah kenapa dia meragukan jawaban sang suami.
Pikirannya sekarang kemana-mana. Memikirkan sikap sang suami yang entah kenapa akhir-akhir ini sering tak pulang ke rumah dengan alasan pekerjaan.
Awalnya dia percaya. Tapi setelah mengetahui pesan dari seorang perempuan bernama Nayla kemarin membuat kepercayaan itu terkikis perlahan-lahan.
Dia menjadi curiga pada suaminya sendiri. Takut kalau prasangkanya itu sampai menjadi kenyataan yang bisa memporandakkan rumah tangganya.
Fatimah menggelengkan kepalanya pelan. Di tepisnya pikiran itu jauh-jauh. Dia tak boleh berprasangka buruk pada suaminya sebelum melihat bukti yang benar-benar jelas adanya.
"Mas tau mas salah. Mas udah bikin adek khawatir. Udah bikin adek nunggu mas semalaman. Semalam memang mas bener-bener lupa buat ngabarin adek. Maaf dek. Wallahi, mas gak ridho kalau adek kayak gini. Tolong tatap wajah mas," bujuknya.
Iya. Itu memang kebenarannya. Semalam memang dia benar-benar lupa untuk menghubungi Fatimah setelah ponselnya terisi daya. Bukan karena sengaja. Tak mungkin Akhtar begitu tega dengan istri tercintanya.
Mata Fatimah berkaca-kaca. Dia sungguh ingin mempercayai perkataan sang suami. Tapi, entah kenapa malah teringat pesan kemarin yang membuatnya kembali menjadi ragu.
Allah. Ampunilah dosanya ini karena sudah berani untuk meragukan perkataan sang suami. Pun memalingkan wajah dari imamnya itu.
Fatimah menundukkan kepalanya. Di remasnya kedua jari dengan perasaan gelisah. "Gak ada yang mas sembunyiin dari adek kan?" tanyanya dengan bibir bergetar.
Akhtar tergelak di tempatnya. Dia di kejutkan dengan pertanyaan sang istri yang seolah-olah meragukan perkataannya. Apa istrinya itu tahu sesuatu?
Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Keringat dingin pun sekarang sudah membasahi pelipisnya. Sungguh, Akhtar sangat gugup.
"A-apa maksud adek? Adek gak percaya sama mas?" ucapnya terbata-bata.
Fatimah menggigit bibir bawahnya sebentar. Dia lalu mengangkat kepalanya. Menatap wajah sang suami yang sekarang kentara sekali jika pria itu tengah gugup.
Iya. Dia sangat tahu karakter sang suami. Suami yang sudah menjadi imamnya selama 4 tahun ini.
Suaminya itu pasti akan mengalihkan tatapannya ketika pria itu tengah gugup. Tak berani untuk menatap lawan bicaranya. Dan itulah yang di lakukan Akhtar saat ini.
Bukankah itu berarti sang suami menyembunyikan sesuatu darinya? Kenapa? Kenapa Akhtar berbohong?
Fatimah memejamkan matanya. Hingga setetes air mata keluar dari ujung mata kanannya. Buru-buru dia menyekanya lalu kembali menatap wajah tampan sang suami.
Fatimah tersenyum. Senyum kekecawaan tentunya. "Gak mas. Adek percaya sama mas kok. Oh iya, mas sekarang mau balik ke kantor atau gimana?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
Akhtar tersenyum tipis. Ketakutan di hatinya sekarang tergantikan dengan perasaan lega kala istrinya itu percaya dengan ucapannya.
"Mas balik lagi ke kantor jam 11 an dek. Tapi mungkin nanti mas pulang cepet karena jadwal mas hari ini gak seberapa padat, in syaa Allah," jawabnya.
Fatimah tampak menganggukkan kepalanya pelan. Di lihatnya jam dinding sekarang menunjukkan angka 8 pagi. Berarti masih ada tiga jam lagi sebelum suaminya itu berangkat ke kantor.
"Mas mau nganterin adek ke pasar gak? Belanja bulanan. In syaa Allah gak akan lama mas. Tapi kalau mas capek mending gak usah. Adek bisa berangkat sendiri. Mas istirahat aja di rumah."
Akhtar tersenyum "Boleh dek. Mas gak capek. Apa sih yang gak buat istri shalihah nya mas ini? Hm?" jawabnya seraya mencubit pelan pipi tembem sang istri. Gemas.
Fatimah cemberut. Dia menatap Akhtar dengan kesal. Bukan sekali dua kali suaminya itu mencubit pipinya.
"Mas kebiasaan deh nyubit pipi adek seenaknya. Emang pipi adek benda yang gak bisa ngerasain sakit gitu?" kesalnya.
Perkataan istrinya itu membuat Akhtar tertawa. Beginilah Fatimah. Kadang dia bisa menjadi wanita yang dewasa. Tapi kadang pula dia bisa menjadi kekanak-kanakan dan manja padanya. Itulah salah satu yang membuat dirinya jatuh cinta pada sang istri.
"Bukan benda dek. Tapi makanan. Pipi adek itu loh kayak mochi. Kadang mas aja sampai heran. Badan adek kurus gini tapi kok pipi adek tembem ya?" godanya semakin gencar membuat sang istri kesal.
Tak ingin mendengar perkataan Akhtar yang menyebalkan itu, Fatimah berdiri dari duduknya. "Udah deh mas. Jangan mulai bikin adek kesal sama mas. Adek mau siap-siap dulu."
Ting
Bunyi pesan masuk dari ponsel Akhtar membuat Fatimah terdiam di tempatnya. Entah kenapa Fatimah mempunyai firasat buruk sekarang.
Dia menatap wajah sang suami yang entah kenapa menjadi gelisah setelah membaca pesan tersebut. Membuat Fatimah penasaran pesan dari siapa itu.
"Dek, maaf. Mas gak bisa nganterin adek ke pasar. Mas dapet pesan dari kantor. Ada urusan mendesak di sana. Jadi, mas langsung berangkat ya. Assalamu'alaikum."
____________
Jangan lupa like and comment nya yaa!!!🤗
Jazakumullahu khairan❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Qalbu
Spiritual"Bersamamu, aku pernah bahagia. Tapi, bersamamu aku juga pernah terluka." -Fatimah Ghazala Humaira- "Maafkanlah atas semua luka yang telah kutorehkan padamu. Walaupun aku tau jika luka itu akan selalu membekas pada hatimu." -Akhtar Ghazi Arkananta- ...