Pagi ini, Fatimah akan pergi ke pasar untuk berbelanja bahan-bahan makanan yang sudah habis. Wanita itu ditemani oleh ustadzah Aina. Dan rencananya, mereka akan menaiki mobil pondok dengan seorang santri yang menyetir.
Tapi, itu semua hanyalah rencana. Rencana yang tak terlaksana setelah Reynard terlihat menghampiri mereka. "Kalian lebih baik naik mobil saya saja. Saya yang akan menyetir," tawarnya seraya tersenyum tipis.
Fatimah ingin melayangkan protes. Tetapi ustadzah Aina lebih dulu menyelanya. "Kalau gitu kita naik mobil mas Bintang aja. Iya kan ning?" tanyanya meminta persetujuan. Dia sangat antusias karena akan semobil dengan Reynard.
Fatimah yang melihat itupun tersenyum tipis. Dia lantas mengangguk. Menyetujui ajakan Reynard. Biarlah dia mengalah untuk kali ini.
Reynard lantas tersenyum lebar. Pria itu dengan semangat membukakan pintu belakang mobilnya. "Silahkan tuan putri," ucapnya seraya menundukkan kepala menirukan film ala kerajaan.
Fatimah tertawa geli. Ketika dia akan melangkahkan kakinya memasuki mobil. Ustadzah Aina sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil membuat Reynard berdecak kesal melihatnya.
"Terimakasih mas Bintang," ucapnya tersenyum malu-malu.
Reynard mengernyitkan dahinya tak suka. "Jangan panggil saya Bintang," peringatnya.
Dia menutup pintu mobil dengan keras yang membuat ustadzah Aina terkejut. Niatnya kan membukakan pintu mobil untuk Fatimah. Kenapa malah ustadzah Aina yang masuk? Mau menegur pun rasanya Reynard tak kuasa.
Dan ketika Reynard akan membukakan pintu mobil untuk Fatimah. Wanita itu ternyata sudah lebih dulu duduk disamping ustadzah Aina. Reynard hanya bisa menghela nafasnya kasar ketika melihatnya.
Pria itu hanya bisa pasrah. Memilih memasuki mobil Rolls-Royce nya. Membelah jalanan yang padat menuju pasar yang dimaksud.
***
Dan disinilah mereka sekarang. Disebuah pasar tradisional yang tak pernah Reynard bayangkan. Pria itu mengira jika pasar yang dimaksud seperti supermarket.
Reynard berjalan dibelakang Fatimah dan ustadzah Aina. Mengikuti kedua perempuan itu yang sekarang sedang memilih-milih sebuah sayuran berwarna hijau yang Reynard tak tahu namanya.
Beberapa kali dia terbatuk-batuk akibat bau yang lumayan menyengat dari bahan entah apa. Reynard menutup hidungnya. Tak tahan dengan baunya. Bahkan, dia nyaris saja muntah jika tak berhasil menahannya.
"Bul, kenapa kita tidak belanja di supermarket saja?" protesnya.
Fatimah tersenyum tipis. Dia sudah menduga jika Reynard akan bereaksi seperti ini. "Karena di sini itu harganya lebih murah. Kualitasnya juga nggak jauh beda sama yang dijual di supermarket," jawabnya.
Ustadzah Aina yang mendengarnya pun tertawa kecil. "Pasti mas Bintang nggak terbiasa ya sama pasar tradisional kayak gini?"
Reynard hanya diam. Rasanya dia ingin kembali memperingatkan ustadzah Aina untuk tidak memanggilnya dengan nama Bintang. Tapi kondisinya sekarang tak memungkinkan untuk itu.
"Kita belanja di supermarket aja ya? Saya yang akan bayar semuanya," bujuknya pada Fatimah. Dia sungguh tak tahan untuk berlama-lama di sini.
Fatimah menggelengkan kepalanya pelan. "Kalau kak Bintang nggak nyaman di sini. Kak Bintang tunggu aja di mobil. Kita nggak masalah kok."
Reynard berdecak. Bagaimana bisa dia meninggalkan Fatimah di pasar yang berdesak-desakan seperti ini? Sedari tadi saja dia melindungi Fatimah agar tidak ada seorang laki-laki pun yang bisa menyentuhnya.
Pria itu mengeluarkan ponsel berlogo apel digigit itu dari sakunya. "Bawakan saya masker dan topi ke sini," perintahnya dan langsung mematikan sambungan telepon.
Tak berapa lama, orang suruhan Reynard telah berdiri didepan pria itu. Dan setelah memberikan barang yang diminta, dia lantas kembali pergi dari sana.
Tanpa ba-bi-bu lagi, Reynard langsung saja memakai topi dan maskernya. Walaupun baunya masih tercium. Tapi setidaknya tak separah tadi. Dia masih bisa menahannya.
"Pak, tomat satu kilo nya berapa?" tanya Fatimah pada penjualnya.
"20 ribu neng."
"15 ribu aja ya pak?" tawarnya. Memang skill tawar-menawar adalah yang paling kita butuhkan jika kita berbelanja di pasar tradisional seperti ini.
Tidak seperti Reynard yang sekarang telah dibuat bingung akan sikap Fatimah. Bagaimana bisa wanita itu menawar? Bukannya harganya tetap?
"Boleh deh neng. 15 ribu buat neng," jawab sang penjual yang membuat Reynard menatap tak percaya. Pria itu baru sekali ini mengalaminya.
Setelah Fatimah membayar, dia memasukkan kantung kresek yang berisi tomat itu ke dalam tas yang dibawanya dari rumah. Wanita itu lalu menyerahkan tas tersebut pada Reynard yang diterima baik oleh sang empunya.
"Loh, Fatimah? Kamu di sini?"
Suara seseorang membuat mereka bertiga menolehkan kepala. Menatap seorang pria dengan wanita paruh baya yang berdiri tak jauh dari mereka.
"Mas Daffa? Ini aku lagi belanja bahan makanan buat pondok. Mas sendiri kok di Jogja?" tanya Fatimah. Heran akan keberadaan sahabat dari mantan suami di sini.
"Aku dari kemaren sih ke sini. Ada urusan bisnis. Terus sekalian deh mampir ke rumah tante. Oh ya tan, kenalin ini Fatimah."
Fatimah pun tersenyum. Dia menyalami tante Daffa yang diikuti oleh Reynard dan ustadzah Aina.
Daffa yang menyadari keberadaan Reynard pun mengernyit. "Dia siapa Fat?" tanyanya.
"Dia-"
"Saya calon suami Fatimah," jawab Reynard yang membuat mereka semua terkejut.
Fatimah lantas melotot menatap Reynard. Bagaimana bisa pria itu seenaknya mengatakan suatu kebohongan? "Apa-apaan sih kak," kesalnya.
Dia tersenyum canggung pada Daffa. Merasa tak enak pada pria itu. Apalagi baru beberapa bulan dia bercerai dengan Akhtar. "Jangan dengerin omongan dia mas. Dia namanya Reynard. Teman masa kecil aku."
Daffa tersenyum. Dia merasa jika teman masa kecil Fatimah menyukai wanita itu. "Saya Daffa," ucapnya seraya menyodorkan tangannya yang dibalas oleh Reynard.
"Calon suami Fatimah," lanjut Daffa.
Sontak saja Reynard menatap tajam ke arah Daffa. Dia meremas kuat tangan Daffa yang juga dibalas sama kuatnya oleh pria tersebut. Sedangkan Fatimah, ustadzah Aina, dan tante Daffa yang melihatnya hanya diam. Tak tahu harus bereaksi seperti apa.
Daffa lantas terkekeh pelan. "Saya hanya bercanda," ucapnya seraya melepas jabat tangan mereka.
Fatimah lantas tertawa kecil. Dia sempat mengira aneh-aneh tentang Daffa. Tapi dia sekarang bisa bernafas lega karena tadi hanya bercandaan saja.
"Eh Fat, kalau gitu aku duluan ya? In syaa Allah kapan-kapan aku akan ke ponpes buat silaturahmi sama Abi. Assalamu'alaikum," salam Daffa yang dijawab oleh mereka semua.
Setelah Daffa pergi, Reynard menatap datar ke arah pria tersebut. Dia merasakan jika Daffa juga sepertinya menyukai Fatimah. Reynard lantas tersenyum smirk. Dia pastikan jika Daffa sekalipun tak akan bisa menyainginya.
Sedangkan disisi lain, ustadzah Aina masih menatap Reynard dengan rumit. Wanita itu juga sepertinya sadar akan perasaan Reynard pada Fatimah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Qalbu
Spiritual"Bersamamu, aku pernah bahagia. Tapi, bersamamu aku juga pernah terluka." -Fatimah Ghazala Humaira- "Maafkanlah atas semua luka yang telah kutorehkan padamu. Walaupun aku tau jika luka itu akan selalu membekas pada hatimu." -Akhtar Ghazi Arkananta- ...