15. Perihal Kepercayaan

2.3K 142 10
                                    

"Nay, kenapa tadi kamu bilang gitu ke dek Fatimah?" tanya Akhtar sepulang mereka dari supermarket.

Nayla yang mendengarnya pun seketika menoleh. Menatap sang suami dengan kesal. "Apa salahnya sih mas? Nayla kan cuma ngomong apa adanya. Kenapa dari tadi mas belain mbak Fatimah terus?!"

Akhtar menghela nafasnya kasar. Istri keduanya ini memang agak kekanak-kanakan. Tak seperti Fatimah yang bersikap dewasa. Jadi, sebisa mungkin Akhtar harus bisa sabar dan mengerti untuk menghadapi Nayla.

"Bukan belain Nay. Tapi memang sikap kamu tadi udah keterlaluan. Omongan kamu juga bisa melukai hati dek Fatimah. Apalagi tadi dia juga udah jelasin kan kalau semua itu cuma salah paham?"

Nayla menatap sang suami dalam. Wanita itu sungguh tak bisa mengerti pemikiran Akhtar yang terlalu positif. Entah itu karena terlalu percaya pada Fatimah atau bahkan terlalu mencintai wanita itu.

"Mas masih percaya sama mbak Fatimah setelah ngeliat semuanya? Jangan sampai cinta itu membutakan segala sikap mbak Fatimah mas. Jelas-jelas sikap pria tadi udah nunjukin kalau mereka ada hubungan. Dan mas percaya gitu aja kalau mbak Fatimah bilang nggak kenal sama pria itu?"

Akhtar terdiam. Tak dipungkiri jika dia memang ragu. Ragu akan penjelasan Fatimah. Dan ragu akan sikap Fatimah.

Karena selama ini, istri tercintanya itu selalu menjaga batasannya. Tak pernah sekalipun dia melihat Fatimah berinteraksi dengan pria yang bukan mahram seperti tadi.

Apalagi, dia dapat melihat dengan jelas kalau pria tadi menyukai Fatimah. Dan cinta tak akan timbul kalau memang mereka saling tak kenal.

Akhtar mencoba untuk percaya pada istri pertamanya. Tapi seberapa keras pun dia berfikir positif. Rasa ragu itu tak pernah terelakkan. Menyadarkan Akhtar kalau dirinya memang tak benar-benar mempercayai Fatimah.

Akhtar takut. Takut kalau semua pikiran buruknya ternyata menjadi nyata. Mengingat rumah tangganya sekarang yang bisa dibilang tak baik-baik saja.

Allah. Apa yang harus dia lakukan?

Pria itu mengusap wajahnya kasar. Berbagai masalah akhir-akhir ini selalu menerpanya. Entah ini karma ataukah ujian. Akhtar tak mengerti. Karena jujur, dirinya sangat lelah sekarang.

"Mas pasti juga ragu kan sama penjelasannya mbak Fatimah?"

Akhtar sekali lagi hanya bisa terdiam.

***

Di lain tempat, terlihat seorang wanita dengan abaya serta khimar hitamnya itu sedang membagikan buku serta alat tulis pada anak-anak panti asuhan.

Dia, Fatimah. Seorang wanita yang dikenal baik hati oleh anak-anak panti asuhan tersebut. Karena memang wanita itu selalu rutin ke sana untuk berbagi. Sekaligus bermain bersama mereka untuk sekedar menghibur diri.

Tiba-tiba, seorang anak laki-laki berumur 6 tahun tampak berlari ke arahnya. "Umi," serunya.

Fatimah yang mendengar itu pun menoleh. Tersenyum dengan tangannya yang mengelus lembut surai anak itu.

"Kenapa Fael?" tanyanya seraya berjongkok menyamakan tingginya dengan anak tersebut.

Anak-anak panti asuhan di sana memang kerap memanggilnya dengan sebutan "umi". Dan Fatimah sendiri tak mempermasalahkannya. Dia malah merasa sangat senang karena sudah di anggap sosok ibu oleh mereka.

Anak bernama lengkap Rafael Argananta itu tersenyum. Menampilkan barisan giginya yang tak sepenuhnya tumbuh. Dan tanpa aba-aba, Fael langsung memeluk tubuh Fatimah dengan erat. Seolah tak mau melepaskan wanita itu.

"Umi kenapa gak dateng-dateng? Fael kangen sama umi," ujarnya.

Fatimah yang mendengar itu pun tersenyum lembut. Fael memang anak yang paling manja dengannya di sini. "Maafin umi ya? Umi juga kangen banget sama Fael," balasnya seraya membalas pelukan Fael.

Ibu panti yang melihat kedekatan mereka berdua hanya tersenyum maklum. Tak terkejut lagi karena kedekatan Fatimah dan Fael yang tampak seperti seorang anak dan ibu kandung. Bahkan, Fael sendiri lebih manja pada Fatimah daripada dengan ibu panti.

"Fael tiap hari nanyain kamu. Bahkan sampai ngrengek minta dianterin ke rumah kamu," jelas ibu panti dengan gelengan kepala heran.

"Maaf ya bu. Fatimah akhir-akhir ini memang lagi sibuk. Jadi, baru bisa ke sini sekarang. In syaa Allah kedepannya Fatimah akan rutin ke sini lagi."

"Iya gapapa, nak."

Fatimah lalu melepaskan pelukan mereka. Wanita itu menggendong Fael. Sedangkan anak manja tersebut malah mendusel-duselkan kepalanya pada leher Fatimah yang tertutup khimar.

"Fatimah izin bawa Fael ke taman belakang ya Bu," izinnya dan di angguki oleh ibu panti.

Sesampainya di taman belakang, Fatimah mendudukkan dirinya dengan Fael yang berada dipangkuan. Wanita itu menciumi pipi gembul Fael dengan gemas.

"Hafalannya Fael sekarang udah sampai mana? Hm?"

Fael menundukkan kepalanya. Anak itu diam. Tak menanggapi pertanyaan Fatimah yang membuat wanita itu heran dibuatnya.

"Fael?" panggilnya lembut.

Sedangkan yang dipanggil malah memeluk perut Fatimah erat. Menyembunyikan wajahnya di sana. "Maafin Fael, umi. Fael masih belum bisa hafal surat An-Naazi'aat," gumamnya. Dia sangat sedih karena telah mengecewakan uminya itu.

Fatimah tersenyum. Sejak pertama kali ke sini, wanita itu memang langsung dibuat gemas oleh tingkah Fael. Lama-kelamaan pun hubungan mereka semakin dekat. Dan Fatimah juga lah yang mengajari Fael mengaji serta setor hafalan tiap dia ke sana.

"Gapapa Fael. Umi gak marah kok. Itu semua wajar. Yang penting kan Fael sudah berusaha. Nanti umi yang akan nemenin Fael buat hafalan, oke?"

Bukannya senang, Fatimah malah mendengar suara isakan Fael. Sontak saja membuat wanita itu panik.

Fatimah mencoba melepaskan pelukan Fael. Tetapi pelukan anak itu malah makin mengerat. Tak ingin untuk melepaskannya.

"Anak umi yang pintar ini kenapa nangis? Fael gak mau hafalannya di temenin sama umi?" tanyanya seraya mengusap lembut kepala Fael.

Anak itu melepaskan pelukannya. Menatap Fatimah dengan mata berkaca-kaca dan hidung yang memerah. Jejak air mata pun membasahi kedua pipi gembulnya. Membuat Fatimah tak tega dibuatnya.

Fael menggelengkan kepalanya. "Fael mau umi."

Fatimah mengusap air mata Fael dengan ibu jarinya. "Terus kenapa Fael nangis gini?"

"I-itu karena Fael udah buat umi sedih. Fael gak bi-bisa selesaiin hafalan Fael," jawabnya sesegukan.

"Dengerin umi. Umi gak sedih Fael. Umi juga gak marah sama Fael. Umi ngerti kok. Dulu, umi malah lebih parah dari Fael. Umi sering telat setoran hafalan ke abi umi. Tapi, abi umi sama sekali gak marah sama umi."

Fatimah tersenyum ketika mengingatnya. "Fael, kadang dalam hidup itu gak semua terjadi seperti yang Fael harapkan. Kadang juga semua yang di usahakan akan terasa sia-sia. Tapi dari semuanya, Fael nanti akan diajarkan apa itu sabar. Fael jadi bisa belajar lebih banyak dalam proses itu. Percaya deh, kalau Allah bilang 'jadilah, maka terjadilah'. Karena ketetapan Allah adalah yang terbaik bagi kita," jelasnya yang entah ditujukan pada Fael atau malah dirinya sendiri.

***

____________

Next?
Vote dan comment sebanyak-banyaknya ya!
Jangan lupa untuk ajak teman-teman kalian juga!
Jazakumullahu khairan ❤️

Salam sayang
Fia :)

Langit QalbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang