Fatimah keluar dari mobil Reynard. Pria itu memang memaksa untuk mengantarnya ke rumah dibandingkan menaiki taksi. Fatimah sempat menolak. Beralasan bahwa tak baik jika hanya mereka berdua saja yang berada didalam mobil.
Tapi bukan Reynard namanya jika tak keras kepala. Rasanya semua keinginan pria itu harus terkabul. Entah bagaimanapun caranya.
Iya. Ketika Reynard mendengar alasan Fatimah, pria itu langsung menelepon seseorang. Dan tak lama kemudian muncullah seorang perempuan yang menjadi supir mereka sekarang. Sepertinya kekuasaan pria itu memang tak main-main.
"Terimakasih telah mengantarkan saya," ucapnya pada Reynard yang ikut turun dari mobil.
Pria itu tersenyum. "Sama-sama," jawabnya.
Fatimah diam. Menunggu Reynard untuk masuk ke mobil dan pergi dari sini. Tapi yang ditunggu malah masih setia berdiri didepannya dengan wajah tanpa dosa.
Fatimah menghela nafasnya pelan. "Apakah Anda tidak berniat untuk pergi?" tanyanya terkesan terang-terangan.
Reynard yang melihatnya terkekeh pelan. Dia memasukkan kedua tangannya pada saku celana. Menatap rumah didepannya dengan pandangan yang sulit diartikan.
Reynard lalu menatap Fatimah. "Kamu tidak mau mengajak saya masuk?"
Fatimah mengernyitkan dahinya. "Apa Anda ada urusan dengan saya?"
Pria itu lantas tersenyum miring. "Lebih tepatnya saya ada urusan dengan Abi," jawabnya seraya menatap ekspresi Fatimah yang terkejut. Membuatnya semakin gencar ingin menggodanya.
"Jangan menyebut Abi saya dengan sebutan 'Abi'." Dia sungguh tak suka dengan itu. Seolah Reynard telah mengenal Abi sebelumnya.
Reynard mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa tidak? Lagian beliau sebentar lagi juga akan jadi papa mertua saya. Jadi, sudah sewajarnya saya juga memanggilnya Abi."
Fatimah menatap Reynard dengan tajam. "Tolong candaannya jangan kelewatan. Dan lebih baik Anda segera pergi dari sini."
Biarlah dia terkesan tak sopan pada orang yang membantunya. Karena dia sungguh sudah tak kuat untuk menghadapi sikap Reynard yang menjengkelkan.
Reynard tertawa pelan. Bukannya terlihat garang, Fatimah malah terlihat lucu dimatanya. "Iya-iya. Saya akan pergi."
Pria itu membuka mobilnya dan duduk manis di sana. Dia membuka kaca mobil. Melihat Fatimah yang masih berdiri ditempatnya.
"Yang saya bicarakan tadi bukan candaan, Bulan. Dan in syaa Allah besok saya akan ke sini untuk silaturahmi dengan Abi. Saya pamit. Assalamu'alaikum."
Mobil Reynard melaju. Meninggalkan Fatimah yang masih terdiam ditempatnya. "Wa'alaikumussalam." Wanita itu menatap rumit mobil Reynard yang sudah hilang dari pandangannya.
Bulan? Kenapa Reynard bisa mengetahui nama itu? Karena seingatnya, Bulan adalah nama panggilan yang dibuat seseorang khusus untuknya. Seseorang yang tak mau dia ingat lagi.
Fatimah menggelengkan kepalanya pelan. Ini bukan saatnya dia memikirkan itu. Dia lantas menatap rumahnya dengan rindu.
Dan dengan bacaan basmalah. Fatimah berjalan. Melangkahkan kakinya untuk bertemu Abi nya. Sosok yang begitu dia rindukan.
Wanita itu menghela napasnya setelah berada didepan pintu. Menenangkan degup jantungnya yang berdetak kencang kala membayangkan wajah sedih Abi.
Tok tok tok
"Assalamu'alaikum," salamnya.
Berulangkali dia mengetuk pintu. Tapi tak ada tanda-tanda Abi nya akan keluar. Pun menjawab salamnya.
Fatimah diam. Apakah Abi nya berada di ndalem? Pasalnya, mereka mempunyai dua rumah. Satu didalam pondok pesantren Abi nya. Dan satu lagi disini. Diluar pondok pesantren.
Abi nya memang jarang menginap di rumah ini. Biasanya dia sering menginap di ndalem. Karena Abi nya lelah jika harus bolak-balik antara rumah ke ponpes.
Apakah dia harus kesana? Atau menunggu Abi nya disini? Jarak rumah ini ke ponpes memang tak jauh. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi rasanya dia masih tak siap jika harus ke ponpes. Tak siap untuk menjelaskannya pada semua orang.
Fatimah tersadar dari lamunannya ketika pintu didepannya terbuka. Dapat dia lihat wajah Abi nya yang sudah tak semuda ingatannya. Fatimah berkaca-kaca melihatnya.
"Abi," serunya dan langsung memeluk Abi.
Abi tersenyum lembut. Dia membalas pelukan anak kesayangannya. Mengelus lembut punggung putrinya dengan penuh kasih sayang.
"Fatim rindu sama Abi," ungkapnya.
Abi terkekeh. "Iya-iya. Abi juga rindu sama putri manja Abi ini."
Mereka berdua lantas memasuki rumah. Fatimah tersenyum melihatnya. Rumah ini memang sama sekali tak berubah. Masih sama seperti ingatannya.
"Kenapa kok kamu ke sini tanpa mengabari Abi dulu? Dan suamimu mana? Dia ndak ikut nduk?" tanya Abi setelah mereka duduk di sofa ruang tamu.
Fatimah meminum air putih didepannya sedikit. Dia lantas menunduk. Saling meremas kedua tangannya yang berada dipangkuan.
Abi yang menyadari itupun hanya tersenyum. Dia memang sudah menyadari ada yang tidak beres setelah melihat kedatangan Fatimah tiba-tiba. Apalagi melihat koper putrinya yang tidak seperti akan menginap ke sini selama beberapa hari.
"Putrinya Abi ada masalah apa hm? Sini cerita sama Abi. In syaa Allah Abi nggak akan marah sama Fatim," bujuknya. Pria paruh baya itu berpindah tempat duduk menjadi disamping Fatimah.
Sementara Fatimah sudah berkaca-kaca. Ingatan perceraiannya seolah terputar lagi di kepalanya. Wanita itu menatap Abi nya merasa bersalah.
"Fatim sama mas Akhtar udah bercerai Bi," jujurnya pelan. Dia menunduk kembali. Tak kuat melihat wajah Abi sekarang.
Sedangkan Abi yang mendengar itupun terdiam. Dia menatap putri kesayangannya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sungguh sakit ketika melihat Fatimah seperti ini. Dia merasa gagal untuk menjadi seorang ayah yang baik bagi Fatimah.
Abi lantas memeluk Fatimah. "Gapapa nduk. Mungkin memang inilah jalan terbaik yang Allah pilihkan untukmu. Ikhlaskan semuanya ya? Yakin kalau setelah ini bakalan ada hal baik yang menunggumu. La Tahzan innallaha Ma'ana."
Pecah sudah tangis Fatimah. Wanita itu memeluk Abi dengan erat. Menumpahkan tangisnya yang selama ini dia tahan.
Sedangkan Abi yang melihat putrinya seperti inipun meneteskan air matanya. "Maafin Abi ya sayang? Ini semua memang salah Abi. Seharusnya Abi nggak menjodohkan Fatim seperti ini. Alangkah baiknya jika dulu Abi membiarkanmu dengan orang yang mencintaimu," sesalnya.
Fatimah menggeleng dalam dekapan Abi. "Ini sama sekali bukan salah Abi. Semua ini sudah takdir Fatim. Dan seperti kata Abi, bahwa Fatim akan mencoba untuk ikhlas dengan takdir-Nya."
Abi memejamkan matanya. Putrinya memang luar biasa sabarnya dan wanita yang juga lembut hatinya. Sama persis seperti istri nya. Istri yang sudah meninggal 9 tahun yang lalu.
Fatimah lantas melepaskan pelukan mereka. Dia menatap Abi nya dengan sendu. "Abi nggak tanya kenapa Fatim bisa bercerai dengan mas Akhtar?"
Abi tersenyum. "Abi akan tunggu sampai Fatim siap untuk cerita semuanya."
Pria paruh baya itu memang tak ingin memaksa Fatimah untuk menceritakannya sekarang. Karena dia tahu betul jikalau putrinya itu masih memiliki luka dihatinya.
Dia akan menunggu hingga luka itu mengering. Karena berapa lama pun waktunya, luka itu tak akan bisa untuk sepenuhnya sembuh.
Fatimah tersenyum lembut. Dia sangat bersyukur memiliki seorang ayah seperti Abi. "In syaa Allah Fatim sudah siap untuk menceritakannya Abi."
***
_____________
Next?
Follow ig aku untuk dapatkan kabar terbaru tentang LaBu @wp.ifi.anti💃Vote dan comment sebanyak-banyaknya ya!
Jangan lupa untuk ajak teman-teman kalian juga!
Jazakumullahu khairan ❤️Salam sayang
Fia :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Qalbu
Spiritual"Bersamamu, aku pernah bahagia. Tapi, bersamamu aku juga pernah terluka." -Fatimah Ghazala Humaira- "Maafkanlah atas semua luka yang telah kutorehkan padamu. Walaupun aku tau jika luka itu akan selalu membekas pada hatimu." -Akhtar Ghazi Arkananta- ...