18. Tak Percaya

2.3K 162 10
                                    

"SUDAH CUKUP!" teriak Fatimah. Wanita itu sudah cukup jengah akan keributan mereka berdua.

Sementara Akhtar dan Reynard pun langsung terdiam. Mereka kompak menatap Fatimah yang juga tengah menatap mereka dengan tajam. Kentara sekali jika wanita itu sekarang sedang emosi.

Fatimah menutup matanya. Dia menghela nafas seraya beristighfar pelan. Menetralkan amarah yang melingkupi dirinya. Dan setelah dirasa cukup tenang, wanita itu bergantian menatap kedua pria di hadapannya dengan datar.

"Kenapa kalian bertengkar gini? Apa tidak bisa dibicarakan secara baik-baik? Kalian nggak malu dilihatin anak-anak? Nggak mikir sama perasaan mereka yang melihat pertengkaran kalian dari tadi?"

Seolah tersadar akan keberadaan anak-anak, Akhtar dan Reynard pun kompak beristighfar. Mereka sungguh lupa akan anak-anak itu. Bagaimana bisa mereka bertengkar dihadapan anak-anak begini?

Fatimah tersenyum lembut melihat keenam anak itu yang sedari tadi hanya diam. Mereka sekarang pasti bingung akan pertengkaran tadi. Rasanya Fatimah ingin sekali memukul kedua pria itu sekarang.

"Anak-anak, maafin om-om jelek itu ya? Mereka memang nggak tahu umur. Sudah tua juga, tapi tetap saja bertengkar," pintanya sambil geleng-geleng kepala pelan.

Sementara yang disebut om-om tua itu pun hanya bisa pasrah. Rasanya mau menyangkal pun tak berani mengingat kalau merekalah yang salah di sini.

Anak-anak mengangguk kompak. "Iya gapapa kok bunda. Eh, tante maksudnya."

Fatimah menghela nafas pelan. "Kalian bisa panggil bunda aja gapapa kok. Jangan dengerin perkataan om tadi ya?" Akhtar yang merasa itu dirinya pun hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena merasa bersalah.

"Siap bunda," jawab mereka serempak.

Fatimah tersenyum senang. Wanita itu mengelus surai kepala anak-anak tersebut secara bergantian. Dia lantas menepuk keningnya pelan ketika melupakan sesuatu. "Oh iya, bunda ke sini bawain makanan buat kalian. Kalau masih sisa nanti dibagi sama teman-temannya yang lain ya?"

Wanita itu membagikan makanan yang dibawanya pada mereka. Lalu sisanya dia berikan pada seorang anak yang kelihatan paling tua untuk dibagikan nanti pada teman-temannya yang lain.

"Terimakasih bunda," ujar mereka senang.

Fatimah merentangkan kedua tangannya. Mengisyaratkan pada anak-anak untuk memeluknya. Dan mereka yang paham pun langsung berhambur memeluk Fatimah.

"Jadi anak yang baik-baik ya? Apapun yang terjadi, shalat dan ngajinya jangan pernah ditinggalkan. Kalau kalian ngerasa capek itu wajar. Karena di dunia ini tempatnya capek. Dan istirahatnya itu nanti di surga, in syaa Allah. Bunda tahu kalau kalian semua itu hebat. Bunda juga tahu kalau kalian itu kuat. In syaa Allah bunda nanti akan sering-sering ke sini," pesannya.

Anak-anak yang mendengar itu semakin mengeratkan pelukannya. Mata mereka pun berkaca-kaca. Karena baru kali ini mereka mendengar kata-kata tersebut. Baru kali ini mereka merasa punya seorang bunda.

Akhtar dan Reynard yang melihat itu hanya tersenyum sendu. Mereka seolah mengerti akan kehidupan anak-anak itu. Selama ini pasti tak mudah bagi anak seusianya untuk bertahan hidup.

Ketika anak lain masih sekolah. Mereka harus bekerja. Ketika anak lain bermain dan bersenang-senang. Mereka justru harus bekerja keras hanya untuk bisa makan. Dan ketika anak lain dapat tidur nyenyak dengan kasur yang empuk. Mereka hanya bisa tidur beralaskan tikar di tempat seadanya.

Jadi masih pantaskah kita untuk mengeluh? Pantaskah kita menutup mata akan nikmat-Nya selama ini? Dan tak malu kah kita untuk tidak bersyukur hari ini?

"Bunda, kita semua pamit dulu ya? Terimakasih makanannya. Terimakasih juga penyemangatnya."

"Bunda juga jangan lupa sering-sering samperin kita ya? Kita biasanya kalau jam 9 an ada di sini."

Fatimah tersenyum. "Iya sama-sama. In syaa Allah bunda akan sering-sering ke sini."

"Kalau begitu kita pergi dulu ya bun, om. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelah melihat kepergian anak-anak tersebut, Fatimah berganti menatap Akhtar yang masih terdiam di tempatnya. "Jadi, kenapa mas keberatan kalau adek dipanggil bunda sama anak-anak tadi? Segitu teganya kah mas dengan mereka?" tanyanya tak percaya.

Akhtar menggelengkan kepalanya. "Bukan gitu maksud mas dek. Wallahi, mas sama sekali nggak keberatan jika mereka manggil adek dengan sebutan bunda. Tapi yang mas permasalahkan itu kenapa dia dipanggil papa? Rasanya mas nggak rela. Karena adek itu istri mas. Bukan istri dia."

Akhtar melirik Reynard tajam. Pria itu sungguh masih sangat kesal jika mengingatnya. Apalagi melihat Reynard yang sekarang sedang menonton pertengkaran mereka seolah itu adalah sesuatu yang dia tunggu-tunggu.

"Mas, yang namanya anak kecil itu nggak tahu-menahu tentang hal itu. Masih bisa dimaklumi. Jangan karena masalah sepele seperti ini, mas jadi sampai memulai keributan kayak tadi."

Hanya karena perkara panggilan suaminya itu sampai mau memukul orang? Fatimah sungguh tak menyangka jika itu Akhtar, suaminya.

Rasanya pria itu tak sesabar dulu. Yang selalu menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Fatimah merasa kecewa. Kecewa akan perilaku Akhtar sekarang.

Mungkin Fatimah akan mengerti jika sang suami mengatakan dengan baik-baik kalau dia tengah keberatan. Tapi tidak. Suaminya itu malah langsung marah-marah tanpa mendengarkan penjelasannya dahulu.

Akhtar lantas terkekeh pelan. "Sepele? Jadi maksud adek masalah itu sepele begitu? Seorang wanita yang sudah bersuami dan seorang pria yang bukan mahramnya dipanggil papa-bunda. Itu sudah melanggar batas dek."

"Adek paham. Mungkin kalau itu orang lain adek akan jelasin yang sebenarnya. Tapi mereka itu masih anak-anak. Mas nyuruh adek buat menolak permintaan seorang anak yang ingin merasakan rasanya mempunyai seorang ibu begitu?" jelasnya sabar.

Akhtar mengacak-acak rambutnya kasar. "Kamu bisa bilang begitu karena pria itu kan? Bahkan kamu sampai berani nggak izin sama mas kalau kamu keluar sama pria itu?! Dimana istri mas yang menjaga batasannya? Dimana istri mas yang penurut?"

Akhtar menatap sang istri dengan tajam. Pria itu sungguh sangat marah akan kelakuan Fatimah. Kenapa istrinya itu tak menjaga batasan dengan seseorang yang bukan mahramnya?

Fatimah yang mendengar semua perkataan menyakitkan dari Akhtar pun terdiam. Mata wanita itu berkaca-kaca. Dapat dia lihat jika suaminya sekarang memang tengah marah. Apalagi pria itu sekarang menggunakan 'aku-kamu'.

Sementara Reynard masih memilih untuk tidak turun tangan. Pria itu ingin melihat seberapa brengseknya seorang Akhtar Ghazi Arkananta.

"Ade-"

"Kamu juga suka sama dia? Atau malah kalian selama ini berhubungan di bela-"

Buk

Perkataan Akhtar terpotong akibat pukulan dari Reynard di pipinya. Pria itu langsung tersungkur. Sudut bibirnya pun berdarah.

"Saya memang tidak pernah salah menilai seseorang. Begitupun dengan Anda. Karena Anda memang benar-benar seorang pria brengsek."

Reynard menoleh. Menatap Fatimah yang masih terpaku. Dapat dia lihat mata yang menyiratkan akan luka di sana. Pun air mata yang siap tumpah kapan saja.

Melihat itu, Reynard bertambah emosi. Dia menarik kerah kemeja Akhtar kuat. "Sudah cukup Anda menyakiti orang saya cintai. Karena mulai hari ini saya tak akan tinggal diam. Cepat atau lambat saya akan merebut dia dari Anda. Dan tunggu pembalasan dari saya."

***

_________

Next?
Vote dan comment sebanyak-banyaknya ya!
Jangan lupa untuk ajak teman-teman kalian juga!
Jazakumullahu khairan ❤️

Salam sayang
Fia :)

Langit QalbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang