28. Bintang untuk Bulan

3.1K 204 4
                                    

Fatimah berjalan pelan menyusuri pondok pesantren Abi nya. Para santri yang melihatnya pun menundukkan kepala seraya memberi salam pada Fatimah yang dijawab dengan senyuman lembut. Wanita itu baru saja usai mengajar kelas bahasa Arab karena disuruh oleh sang Abi menggantikan kakaknya.

Iya. Fatimah memang memiliki seorang kakak laki-laki. Tapi kakaknya itu sekarang masih ada urusan di kota Surabaya. Fatimah pun tak mengabari atau menceritakan perihal dirinya pada sang kakak. Biarlah nanti dia menjelaskannya ketika kakaknya sudah pulang.

Awalnya Fatimah sempat menolak. Dia merasa malu ketika dia bertemu dengan para ustadz dan ustadzah disini. Walaupun Abi sudah bilang akan mengurusnya. Ayahnya itu pun sudah menjelaskan tentang perceraiannya pada mereka. Tapi tetap saja dia merasa takut dipandang buruk oleh mereka.

"Assalamu'alaikum ning."

Fatimah lantas menghentikan langkahnya. Tersenyum lembut menatap seorang wanita seumurannya. "Wa'alaikumussalam," jawabnya.

Wanita yang kerap disapa ustadzah Aina itu tersenyum. "Gimana kabarnya ning? Sudah lama ning nggak mampir ke pondok. Mungkin ning terakhir kali kesini sudah satu tahun yang lalu ya?"

"Alhamdulillah ana bi khoir. Na'am ustadzah. Saya terakhir kali kesini memang hari raya tahun lalu. Ustadzah sendiri gimana kabarnya?"

Ustadzah Aina menatap Fatimah dengan tatapan yang sulit diartikan. "Alhamdulillah baik ning. Saya juga turut sedih atas kabar perceraian ning. Yang sabar ya? In syaa Allah ning pasti bisa melewati masa-masa sulit ini. Saya berdo'a yang terbaik buat ning."

Fatimah tersenyum kaku. Dia tahu niat ustadzah Aina baik. Tapi dia sungguh tak nyaman jika ada yang membicarakan tentang perceraiannya ditempat umum begini. Bahkan Fatimah juga menyadari jika ada beberapa santri yang melirik ke arah mereka.

Fatimah menganggukkan kepalanya. "Aamiin. Syukron atas do'anya. Saya juga berdo'a supaya ustadzah bisa mendapatkan suami idaman ustadzah."

Ustadzah Aina lantas tersenyum malu-malu. Dia memang belum menikah diumurnya yang sudah menginjak dua puluh lima tahun ini.

"Aamiin paling kenceng ning. Apalagi suami idaman saya sudah ada di ndalem sama Kyai Ma'ruf," ungkapnya.

Fatimah mengernyitkan dahi. "Maksudnya sekarang ada yang melamar ustadzah Aina di ndalem gitu?"

Ustadzah Aina menggelengkan kepalanya pelan. "Pinginnya sih gitu ning. Tapi dia kesini cuma mau silaturahmi aja sama Kyai Ma'ruf."

Fatimah lantas mengangguk paham. "Saya jadi pengen tahu suami idamannya ustadzah gimana," ucapnya. Karena memang sudah banyak yang melamar ustadzah Aina tapi ditolak oleh wanita itu. Seolah dia seperti menunggu seseorang.

Ustadzah Aina menutup wajahnya malu-malu. "Duh, ning sendiri pasti tahu siapa orangnya kok. Udah kenal dari dulu malah."

Fatimah lantas menatap dengan penasaran. Memangnya siapa laki-laki idaman ustadzah Aina ini? Apalagi dia sudah mengenalnya. Karena seingatnya pun Fatimah hanya mengenal para laki-laki di lingkup pondok saja.

"Oh ya? Emangnya siapa ustadzah?"

"Mas Bintang."

***

Fatimah berjalan cepat menuju ndalem. Perkataan ustadzah Aina sekarang terngiang-ngiang dikepalanya. Bahkan rasa terkejutnya bahwa dia ada disini mengalahkan rasa terkejutnya tentang ustadzah Aina yang menaruh hati pada dia.

Apakah benar dia kesini? Tapi kenapa? Kenapa dia kesini setelah semuanya yang telah terjadi?

"Assalamu'alaikum," salamnya memasuki rumah ndalem.

Langit QalbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang