05. Hujan

2.9K 171 3
                                    

Di waktu yang sama, Fatimah sekarang sedang berdiri di teras masjid. Setelah tadi dia melaksanakan shalat dzuhur serta berdzikir dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Hatinya sekarang menjadi jauh lebih tenang.

Tangan kanannya di julurkan, sehingga air hujan membasahi telapak tangan wanita itu. Dapat dia rasakan sensasi dingin dari air itu.

Dalam hati, tak henti-hentinya dia bersyukur akan nikmat-Nya ini. Seakan hujan sebagai penghibur untuk dirinya yang tengah di landa masalah.

Iya. Fatimah itu penyuka hujan. Sangat menyukainya. Menurutnya, suara hujan dapat membuatnya menjadi tenang. Suasana hujan, dapat membuatnya merasa nyaman. Dan wangi tanah setelah hujan, dapat membuatnya merasa damai.

Matanya terpejam. Bibir tipisnya tersenyum. Menikmati suara hujan yang merdu. Suara hujan yang dapat menenangkan hatinya yang tengah kacau ini.

"Kamu suka hujan?"

Suara seorang pria membuat Fatimah terkejut. Dia kira hanya dirinya seorang yang masih berada di masjid ini. Tak menyangka jika masih ada orang lain.

Fatimah membuka matanya. Dia lalu menoleh ke samping. Melihat seorang pria memakai jas hitam dengan rambut berwarna kecoklatan.

Pria itu menghadap ke depan. Terlihat jelas hidungnya yang mancung. Pun kulitnya yang putih mirip seperti orang bule. Mungkin saja pria itu blasteran.

Astaghfirullah. Tak sadar jika Fatimah sampai menatap pria itu lama. Betapa berdosanya dia sekarang.

Dengan cepat, Fatimah menundukkan kepalanya. Dia nampak tak nyaman karena hanya ada mereka berdua di sini.

Ingin rasanya dia beranjak dari sini. Tapi, hujan membuat jalanan sepi. Sama sekali tak ada satu pun taksi yang lewat. Membuat Fatimah terjebak di masjid ini.

"Saya sangat suka dengan hujan. Hujan itu seperti teman bagi saya. Teman yang selalu siap mendengarkan cerita saya. Dan teman yang selalu membuat saya merasakan ketenangan. Walaupun hujan tak selalu ada, tapi hujan tak akan pernah berbeda. Sampai kapanpun, hujan akan tetap sama. Tak seperti manusia yang selalu berubah-ubah," ucap pria itu dengan posisi yang masih sama.

Fatimah masih menunduk. Tak merespon apa-apa. Tapi dalam hati dia membenarkan ucapan pria itu.

Hujan memang akan selalu sama. Tak berubah. Berbeda sekali dengan sifat manusia yang seringkali berubah-ubah. Bisa jadi sekarang dia baik kepada kita. Tapi keesokan harinya dia berubah jadi membenci kita.

Pria itu menoleh ke samping kirinya. Menatap Fatimah yang masih menunduk dengan alis yang berkerut. Heran sekali dengan wanita di sampingnya ini.

Bagaimana tidak? Wanita itu sama sekali tak meresponnya setelah dirinya berkata panjang kali lebar kali tinggi. Berasa seperti ngomong sendiri saja dia.

"Jangan terus menunduk. Nanti mahkotanya jatuh ya ukhti," godanya mencoba mencairkan suasana.

Dilihatnya Fatimah yang menoleh sekilas padanya. Hanya sekilas. Setelah itu, dia kembali menatap ke depan.

Jujur, Fatimah agak terkejut dengan bola mata abu-abu pria itu. Mungkin, kalau pria itu mengajaknya berbicara dalam bahasa inggris. Dia akan langsung percaya kalau pria di sampingnya ini adalah orang bule.

"Afwan, ada perlu apa ya Anda dengan saya?" tanya Fatimah.

Walaupun pertanyaannya itu terkesan tak bersahabat, tapi dia sungguh merasa risih dengan pria di sampingnya ini. Kenapa pria itu sampai repot-repot mengajaknya bicara? Tak bisakah dia bersikap cuek saja padanya?

Pria itu berdehem. Pertanyaan Fatimah semakin membuat suasana semakin canggung. Ah, apakah dirinya terlalu sok akrab?

Padahal niatnya baik. Dia hanya ingin mengajak Fatimah mengobrol karena melihat wanita itu yang tengah sendirian di sini. Apalagi dengan wajah seperti habis menangis. Sepertinya niat baiknya itu di salah artikan oleh Fatimah.

Pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tak tahu harus menjawab apa. Dia sungguh di buat bingung akan pertanyaan Fatimah.

"Kalau memang tidak ada hal yang penting, saya permisi. Assalamu'alaikum."

Setelah mengatakan itu, Fatimah lalu berlari menerobos hujan. Tak menghiraukan panggilan pria itu yang memintanya untuk berhenti.

Pria itu masih menatap kepergian Fatimah hingga wanita itu hilang dari pandangannya. Seulas senyum kemudian terbit di bibirnya. "Menarik," gumamnya.

Fatimah terus berlari. Tak apa jika dia kehujanan. Bukankah dia suka hujan? Maka dari itu, dia juga harus menikmati langsung seperti apa rasanya. Tak memikirkan tubuhnya yang rentan akan air hujan.

Fatimah terus berjalan tanpa arah tujuan. Jalanan sangat sepi. Dia sama sekali tak menemukan satu pun taksi yang lewat. Hanya ada beberapa mobil pribadi yang melaju dengan kencang.

Badannya sekarang menggigil karena kedinginan. Tubuhnya sungguh tak kuat akan air hujan yang dingin. Kepalanya pun sekarang terasa pening.

Fatimah lalu memutuskan untuk meneduh di teras toko yang tutup. Dia berjongkok sambil meniup kedua telapak tangannya. Berharap dapat merasakan kehangatan.

Bagaimana caranya untuk pulang sekarang? Apakah dia harus menunggu di sini sampai hujan reda? Tapi sepertinya hujan ini akan bertahan lama.

Ataukah dia harus menelpon suaminya untuk minta di jemput? Fatimah menggelengkan kepalanya. Dia masih belum siap untuk berbicara dengan suaminya. Pun untuk kembali ke rumah mereka.

Bukan tak ingin mendengarkan penjelasan dari Akhtar. Tapi untuk sekarang, dia masih ingin sendiri. Ingin menenangkan hatinya yang hancur lebur ini.

Fatimah menenggelamkan kepalanya di kedua lututnya. Dia sungguh masih bingung dengan semuanya.

"Dek?"

Suara yang sangat dia kenali itu membuat Fatimah mendongak. Melihat sang suami yang sekarang berjongkok tepat di depannya.

"Ya Allah dek, kenapa adek sampai basah gini? Adek hujan-hujanan? Lupa tubuh adek gampang sakit kalau kena air hujan?" omel Akhtar.

Pria itu melepas jasnya, lalu memakaikannya di tubuh sang istri. Berharap dengan itu dapat mengurangi dingin yang di rasakan sang istri.

Dapat Fatimah lihat dengan jelas kekhawatiran yang tercetak di wajah Akhtar sekarang.

Tanpa aba-aba, Akhtar memeluk Fatimah. Pria itu memeluknya erat seakan sang istri akan hilang jika dia sampai melonggarkan pelukannya. Menghiraukan bajunya yang ikut basah karenanya.

"Jangan buat mas khawatir Humaira. Mas takut. Sangat takut kalau mas sampai gak bisa ketemu adek lagi. Mas takut adek ninggalin mas," ucapnya menyebut nama lain Fatimah.

Akhtar mengelus lembut kepala sang istri. Di ciumnya kepala itu berkali-kali. Mata pria itu pun sekarang sudah berkaca-kaca. Tak tega melihat istrinya itu sampai kehujanan seperti ini.

Sementara Fatimah hanya diam. Dia tak membalas pelukan sang suami. Karena hatinya sekarang terasa sesak kala mengingat kejadian tadi pagi.

"Sekarang kita pulang ya? Adek harus ganti baju supaya gak kedinginan kayak gini."

_____________

Next?
Vote dan comment dulu yaa!🤗
Jazakumullahu khairan ❤️

Langit QalbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang