Fatimah menatap sendu foto pernikahannya dengan Akhtar yang menggantung di ruang tamu rumah mereka. Dia memang memutuskan langsung pulang setelah kejadian tadi. Tak tahan untuk berlama-lama berada di sana. Karena memang hatinya tak sekuat itu.
Mengingat kembali kejadian tadi membuat hatinya merasa sakit. Mengingat kembali perlakuan-perlakuan manis Akhtar padanya membuatnya tak percaya akan pernyataan suaminya tadi.
Apakah selama ini dia begitu bodoh karena tak menyadari kebohongan sang suami? Ataukah memang karena sandiwara suaminya yang sudah terlihat sangat meyakinkan di matanya?
Kenapa Akhtar memilih berpura-pura mencintainya selama bertahun-tahun? Kenapa pria itu tak memilih menceraikannya saja? Apakah Akhtar ingin melihatnya menderita seperti sekarang ini?
Sebenarnya apa salahnya? Apa salahnya sampai suaminya itu begitu tega pada dirinya? Fatimah sungguh sudah berusaha keras untuk menjadi istri yang baik selama ini. Dia sungguh sangat mempercayai suaminya. Dan dia sungguh sudah menaruh hati sepenuhnya pada suaminya.
Fatimah mengira jika suaminya itu sudah mencintainya. Dia dengan bodohnya mempercayai semua kata-kata manis Akhtar. Kata-kata manis yang berakhir membuatnya menangis.
Ting tong
Suara bel rumah yang berbunyi membuat Fatimah tersadar dari lamunannya. Wanita itu mengusap air matanya kasar. Bergegas membuka pintu rumah dengan terburu-buru.
Dalam hati dia bertanya-tanya siapakah yang membunyikan bel rumah? Apakah itu suaminya?"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Mama? Papa?" ucapnya tak percaya. Dia tak menyangka jika mertuanya akan datang ke sini hari ini. Apalagi tanpa memberi kabar terlebih dahulu.
"Iya nak. Kebetulan tadi kita ada urusan di dekat sini. Jadi sekalian mampir deh. Udah lama juga kita nggak ke sini. Iya kan pa?" ujar mama Aisyah (ibu Akhtar).
Papa Gavin (ayah Akhtar) yang diajak bicara pun mengangguk. Menyetujui ucapan sang istri. "Gimana kabar kamu nak? Semuanya baik-baik aja kan?"
Fatimah tersenyum canggung. Wanita itu menyalimi tangan mertuanya. Lalu mempersilahkan keduanya untuk masuk. "Alhamdulillah baik pa."
Jika boleh jujur, Fatimah ingin sekali berkata bahwa dia tak baik-baik saja. Tapi dia tak mau membuat mertuanya khawatir. Dia tak mau terjadi keributan lagi. Dan sudah sepatutnya juga dia tak mengumbar-ngumbar masalah rumah tangganya pada orang lain.
"Akhtar ke mana? Bukannya hari ini dia libur kerja ya?"
Fatimah yang sedang menyajikan teh di meja pun terdiam. Dia menatap mertuanya dengan gugup. "M-mas Akhtar lagi ke-keluar sebentar tadi. Katanya ada urusan."
Dalam hati, Fatimah sungguh merutuki dirinya sendiri yang berbicara terbata-bata. Wanita itu sungguh tak pandai untuk berbohong.
Di sisi lain, papa Gavin dan mama Aisyah saling bertatapan. Mereka menyadari gelagat Fatimah yang seperti menyembunyikan sesuatu. Dan mereka juga menyadari kedua mata Fatimah yang bengkak seperti habis menangis.
Mama Aisyah menatap Fatimah yang duduk di depannya dengan gelisah. Menantunya itu pun sekarang menunduk. Seolah menghindari tatapan mereka berdua.
Mama Aisyah lalu berdiri. Memilih duduk di samping Fatimah. Dia memegang tangan Fatimah dengan lembut. Menenangkan sang menantu yang terlihat tak nyaman.
"Apa ada masalah di antara kalian? Bicaralah dengan jujur sama kami nak," ucapnya lembut.
Fatimah menatap mama mertuanya dengan berkaca-kaca. Rasanya sekarang dia sangat ingin menceritakan semuanya. Menceritakan sakit hatinya. Dan mendapatkan pelukan hangat sebagai penenang.
Tapi, Fatimah tak mau melihat kedua mertuanya kecewa. Dan dia tak mau membuat orang tua dan anaknya bertengkar. Biarkanlah Akhtar sendiri nanti yang menceritakannya. Karena Fatimah tak tega untuk menceritakannya sendiri.
Fatimah menggelengkan kepalanya pelan. Dia tersenyum tipis. "Nggak ada masalah apa-apa kok ma. Mama sama papa tenang aja. In syaa Allah Fatimah baik-baik aja."
Mama Aisyah yang mendengar itu pun tak mempercayainya. Firasatnya mengatakan kalau Fatimah sedang tak baik-baik saja. Dan pasti penyebabnya ialah pada rumah tangga mereka.
"Bene-"
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Kompak mereka semua menoleh ke sumber suara. Dapat dilihat seorang Akhtar yang berjalan ke arah mereka. Kentara sekali jika pria itu antara kaget dan tak percaya. Terlihat jelas dari raut wajahnya sekarang.
Setelah menyalimi kedua orang tuanya, Akhtar lalu duduk di sofa single. Bersebrangan dengan sofa yang diduduki Fatimah dan mamanya. "Papa dan mama kenapa ke sini? Bahkan tanpa mengabari Akhtar dulu."
Mama Aisyah menatap putranya dengan malas. "Memangnya kami harus lapor dulu ke kamu baru boleh ke sini gitu?" sinisnya.
Akhtar menghela nafasnya pelan. Dirinya memang selalu salah di mata mamanya. Tapi melihat reaksi kedua orang tuanya seperti biasa, membuat Akhtar jadi yakin jika Fatimah belum memberi tahu apa-apa pada mereka.
Akhtar menatap kedua orangtuanya. Mungkin inilah saatnya dia memberitahu semuanya. Walaupun nanti orangtuanya akan kecewa. Dan walaupun nanti orangtuanya akan marah dan membencinya. Akhtar akan terima. Karena itu semua memang salahnya.
Akhtar mengepalkan kedua tangannya. Pria itu lagi-lagi menghela nafasnya. Menenangkan jantungnya yang sekarang sedang berdegup dengan kencangnya.
"Pa, ma, ada hal penting yang mau Akhtar bicarakan dengan kalian."
Mama Aisyah dan papa Gavin menatap Akhtar dengan serius. Menunggu hal penting apa yang akan dibicarakan oleh Akhtar. Begitupun dengan Fatimah. Dia sekarang sudah menduga-duga akan apa yang dibahas oleh suaminya itu.
"Akhtar dan Fatimah akan bercerai."
Plak
Tepat setelah Akhtar menyelesaikan kalimatnya, papa Gavin langsung melayangkan sebuah tamparan pada pipi kanan Akhtar. Pria itu menatap putranya dengan tajam.
"Jangan main-main dengan ucapanmu Akhtar!" tegasnya.
Sedangkan mama Aisyah yang melihat itu pun masih syok. Dia masih tak menyangka akan perkataan Akhtar yang didengarnya tadi. Apakah putranya itu sudah gila?
"Akhtar nggak main-main pa. Akhtar serius."
Papa Gavin yang mendengar itu pun bertambah emosi. Dia mencengkram kerah kemeja putranya dengan kuat. "Kalau begitu, katakan alasanmu ingin menceraikan Fatimah!"
Akhtar menatap Fatimah dengan datar. Dan ternyata istrinya itu juga menatapnya. Tatapan yang menyiratkan akan ketidakpercayaan. Dan tatapan yang menyiratkan akan luka.
Dia lalu memalingkan mukanya. Enggan melihat tatapan menyakitkan itu lagi. "Akhtar tidak mencintainya. Akhtar juga sudah menikah dengan wanita yang Akhtar cintai. Dan sekarang dia sedang hamil anak Akhtar."
Buk
Satu pukulan papa Gavin mendarat pada pipi kiri sang putra. "Katakan kalau itu semua bohong!"
Akhtar meringis kesakitan. Pukulan papanya memang tak main-main. "Akhtar nggak bohong."
Perkataan Akhtar membuat emosi papa Gavin semakin bertambah. Pria itu mengangkat tangannya. Bersiap untuk memukul putranya lagi.
"Tolong berhenti pa," pinta Fatimah menghadang pukulan papa Gavin.
Wanita itu berdiri tepat di depan Akhtar. Seolah melindungi sang suami yang sekarang sudah babak belur. Sedangkan papa Gavin pun terdiam. Pria itu kembali menurunkan tangannya. Menatap datar pada putranya yang sudah tergeletak di lantai.
____________
Next?
Follow ig aku untuk dapatkan kabar terbaru tentang LaBu @ifi.anti💃Vote dan comment sebanyak-banyaknya ya!
Jangan lupa untuk ajak teman-teman kalian juga!
Jazakumullahu khairan ❤️Salam sayang
Fia :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Qalbu
Spiritual"Bersamamu, aku pernah bahagia. Tapi, bersamamu aku juga pernah terluka." -Fatimah Ghazala Humaira- "Maafkanlah atas semua luka yang telah kutorehkan padamu. Walaupun aku tau jika luka itu akan selalu membekas pada hatimu." -Akhtar Ghazi Arkananta- ...