29. Awal Pertemuan

3.3K 199 7
                                    

Dia sudah kehilangan kedua orangtuanya. Tak cukup sampai disitu, dia juga kehilangan orang yang dicintainya. Rasanya Reynard hancur untuk kesekian kalinya ketika mengetahui fakta tersebut.

Dia juga sempat menyelidiki suami Fatimah dan bagaimana kehidupannya. Reynard ingin tahu. Dan keingintahuan itulah yang membuatnya merasakan sakit kembali.

Rasanya memang sakit ketika mengetahui perempuan yang dicintainya bahagia bersama orang lain. Tapi dia lebih sakit lagi mengetahui Fatimah menangis karena orang tersebut.

Pria itu menghela nafasnya. Mengingat kembali masa-masa tersebut membuatnya merasa sakit untuk kesekian kalinya. Karena itu adalah masa terberat dalam hidupnya.

Fatimah meremas kedua tangannya. Dia sungguh tak tahu akan semua kejadian tersebut. Perasaan bersalah pun menggerogoti hatinya. Karena nyatanya Reynard memang tak sepenuhnya bersalah disini.

"Maafin saya. Saya-"

"Jangan minta maaf. Dan jangan menyalahkan dirimu sendiri. Karena seperti katamu dulu bahwa ini semua sudah takdir saya, Bulan. Saya sudah ikhlas akan semuanya," potong Reynard. Seolah tahu jika Fatimah akan menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian itu.

Fatimah tahu. Tahu jika itu semua adalah takdir. Tapi rasa bersalah itu masih ada. Dan kata andai pun masih terpikirkan. Dia sungguh sangat merasa bersalah akan kematian orang tua Reynard.

Reynard menatap Fatimah. Dia sepertinya tahu akan pikiran wanita itu sekarang. "Saya menceritakan itu semua bukan sebagai pembelaan diri. Juga bukan ingin mendapatkan permintaan maaf darimu."

Reynard mendongak. Memandang langit biru yang menjadi kesukaannya. "Kamu ingat awal pertemuan kita dulu?"

Fatimah menganggukkan kepalanya pelan. Awal pertemuan mereka memang sudah belasan tahun yang lalu. Tanpa sadar, Fatimah terkekeh pelan ketika mengingat kembali pertemuannya dengan Reynard.

Flashback On

Saat itu, umur Fatimah baru menginjak 7 tahun. Dia sedang duduk anteng pada sebuah bangku di teras rumah. Menunggu kedua orangtuanya pulang dari luar kota.

Tak berapa lama, sebuah mobil putih memasuki halaman ndalem. Fatimah kecil yang mengetahui itu adalah mobil kedua orangtuanya pun bersorak riang. Dia lalu berlari menghampiri mobil tersebut.

"Hati-hati ning. Jangan lari-larian," peringat salah satu ustadzah yang menjaganya.

Akan tetapi, Fatimah kecil tak menuruti perkataan ustadzah itu. Dia tetap berlari sampai akhirnya dia terjatuh karena tersandung. Fatimah kecil pun menangis keras. Merasakan sakit pada kedua lututnya.

"Astaghfirullah Fatim," teriak umi Fatimah. Wanita itu lantas menggendong Fatimah yang masih menangis. Menepuk pelan punggungnya bermaksud menenangkan putri kecilnya.

Abi yang melihat itupun geleng-geleng kepala. "Sudah dibilangin hati-hati kok ya masih bandel toh nduk," ucapnya pelan seraya mengelus kepala Fatimah kecil yang tertutupi hijab.

Bukannya berhenti, tangis Fatimah malah semakin keras. Dia menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher uminya yang tertutupi khimar panjang. Tapi matanya secara tak sengaja malah melihat seorang anak laki-laki dengan perban dikepalanya. Anak itu berdiri dibelakang sang umi sambil menatapnya polos.

Tangis Fatimah kecil langsung terhenti. Beralih menatap anak laki-laki tersebut dengan mata bulatnya. Sementara sang umi yang menyadari itupun tersenyum tipis. Dia lantas menurunkan Fatimah dari gendongannya.

"Fatim nggak mau kenalan sama teman baru Fatim?" tanya sang umi.

"Teman balu?" tanyanya cadel.

Langit QalbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang