31. Melupakan

4K 220 16
                                    

Akhtar duduk pada sofa ruang tamu dengan sebuah kertas ditangan kanannya. Pria itu terdiam. Menatap rumit kertas tersebut yang entah apa isinya.

Tak berapa lama, Nayla datang dengan sebuah nampan ditangannya. Meletakkan secangkir kopi hitam dan kue brownies buatannya dimeja. Dia lalu ikut duduk disebelah sang suami.

"Jadi, mas udah resmi bercerai dengan mbak Fatimah?" tanyanya setelah mengetahui isi surat tersebut.

Akhtar menganggukkan kepalanya pelan. Dia mengusap wajahnya kasar. Surat tersebut memang surat pemberitahuan dari pengadilan agama bahwa dia dengan Fatimah sekarang sudah resmi bercerai.

Nayla mengusap perut buncitnya lembut. "Kalau gitu, kapan mas mendaftarkan pernikahan kita ke KUA?" Karena memang pernikahan mereka hanya sebatas sah dimata agama saja. Tidak dengan negara.

Akhtar menghela nafasnya lelah. "Nanti ya? Rasanya nggak enak kalau mas langsung daftarin pernikahan lagi setelah mas baru aja bercerai," jawabnya.

"Tapi Nayla cuma mau setelah anak kita lahir nanti dia sudah sah dimata negara mas."

Memang, usia kandungannya sekarang sudah memasuki bulan ke tujuh. Hanya menunggu waktu dua bulan saja anaknya akan lahir ke dunia. Dan tentang masalah jenis kelamin, mereka lebih memilih tak mengeceknya. Biarlah nanti menjadi kejutan bagi mereka berdua.

Akhtar menatap Nayla dengan lembut. "Iya. Mas paham. Tapi Nayla juga harus bisa ngertiin posisi mas. Karena mas akhir-akhir ini juga cukup sibuk karena masalah perusahaan. Nanti, setelah perusahaan mas stabil kembali. Mas janji akan daftarin pernikahan kita," jelasnya sabar.

Akhtar memang benar-benar cukup sibuk akhir-akhir ini. Perusahaannya itu masih belum stabil setelah menerima serangan dari Reynard. Akhtar akui jika pria itu cukup berkuasa. Bahkan, dia bisa saja membuat perusahaannya gulung tikar saat ini juga.

"Mas masih cinta kan sama mbak Fatimah?" tanyanya tiba-tiba.

"Apa hubungannya, Nayla? Mas kan udah bilang kalau mas nggak cinta sama dek Fatimah," ucapnya kesal. Pasalnya, Nayla sudah menanyakan itu beberapa kali padanya.

Nayla menatap Akhtar marah. "Terus dengan mas yang bilang nggak cinta sama mbak Fatimah, Nayla akan percaya gitu? Bahkan mas aja masih manggil dia dengan sebutan 'adek'. Sedangkan Nayla? Mas cuma manggil Nayla dengan nama aja!"

Akhtar menghela nafasnya dalam. Berusaha sabar menghadapi tingkah Nayla yang kekanak-kanakan. "Okey. Sekarang mas tanya, Nayla mau dipanggil apa?"

"Jangan ngalihin pembicaraan mas," ucapnya kesal.

Akhtar mengacak-acak rambutnya kasar. Bagian mananya dia mengalihkan pembicaraan? Bukannya memang topiknya hanya masalah panggilan nama? Kenapa Nayla membuatnya menjadi rumit?

"Jangan kekanak-kanakan begini, Nay," peringatnya.

Hari libur bukan membuatnya istirahat, malah semakin menguras emosinya saja. Padahal dia sudah berusaha untuk sabar akan sikap Nayla selama ini.

"Iya. Nayla emang kekanak-kanakan. Beda sama mbak mbak Fatimah yang dewasa. Terus apa? Mas nyesel cerai sama mbak Fatimah? Atau malah mas nyesel nikah sama Nayla?"

Akhtar berdiri. "Sepertinya kamu butuh waktu untuk sendiri. Tenangin diri kamu dulu dan instrospeksi dirilah," ucapnya dan melenggang keluar rumah begitu saja. Meninggalkan Nayla yang sekarang sudah menangis terisak.

***

"Adek ngapain bengong di sini?" tanyanya dan mendudukkan diri disamping Fatimah. Mereka sekarang berada di salah satu gazebo didekat kolam ikan.

Fatimah menoleh. Menatap abangnya yang baru kemarin pulang dari Surabaya. "Nggak papa bang," jawabnya.

Abang Fatimah yang kerap disapa gus  Fauzan itupun mengambil sebuah kertas yang dipegang Fatimah. Membuat sang empunya melotot akan kelakuan Fauzan.

"Bang, balikin nggak," kesalnya. Wanita itu berusaha meraih kertas yang dipegang sang abang. Tapi hasilnya nihil.

"Enggak. Abang penasaran kertas apa ini sampai buat adek abang jadi sedih."

Pria itu lantas membaca kata demi kata yang tertulis didalam kertas tersebut. Sedangkan Fatimah yang sudah menyerah untuk mengambil kertas itupun hanya diam.

Setelah selesai membacanya, Fauzan merobek kertas tersebut dan membuangnya pada tempat sampah disampingnya. Dan Fatimah yang melihatnya menatap sang abang tak percaya.

"Ih abang, kenapa kertasnya dibuang sih?" protesnya tak terima.

Fauzan mengedikkan bahunya acuh. "Ya biar kamu nggak sedih-sedihan terus kayak gini," jawabnya.

Pria itu menatap Fatimah lembut. "Udah dek. Lupain aja pria brengsek kayak gitu. Abang jamin kalau dia nanti pasti nyesel karena udah sia-siain adek abang yang shalihah ini."

Abi memang sudah menceritakan semuanya pada Fauzan kemarin. Dan setelah mendengarkan cerita itu, Fauzan rasanya ingin sekali memukul Akhtar sampai pingsan. Dia sungguh sangat marah pada Akhtar karena sudah membuat adiknya menangis.

Fatimah tersenyum sendu. "Tapi untuk lupain dia itu rasanya sulit bang."

Terhitung sudah dua bulan setelah Akhtar mentalak dirinya. Dan sejak itulah Fatimah berusaha untuk melupakan mantan suaminya. Tapi memang rasanya tak mudah. Sudah terlalu banyak kenangannya bersama Akhtar selama empat tahun ini.

Fauzan merangkul adiknya dari samping. Dan Fatimah pun meletakkan kepalanya pada pundak Fauzan. Pria itu mengelus lembut bahu sang adik. Seolah menguatkan adiknya tersebut.

"Abang paham sama perasaan adek sekarang. Dan abang juga nggak maksa adek untuk buru-buru lupain dia. Pelan-pelan aja. Karena semua itu hanya tentang waktu. Jangan lupa juga untuk berdo'a. Minta supaya Allah menghilangkan nama dia pada hati adek," nasehatnya. Dia sungguh tak rela jika Fatimah menderita seperti ini.

"Paham gimana bang? Abang sendiri aja masih belum nikah-nikah sampai sekarang," ujar Fatimah yang hanya dibalas decakan dari Fauzan.

"Adek nggak mau kasih kesempatan ke Reynard? Abang liat sepertinya dia benar-benar tulus sama adek," celetuknya.

Fatimah melepaskan rangkulan dari sang abang. Dia menatap abangnya heran. "Sejak kapan abang manggil dia Reynard?" tanyanya. Karena biasanya pria itu akan memanggilnya Bintang alih-alih Reynard.

Fauzan menghela nafasnya kasar. Mengingat kembali perkataan pria itu membuat dirinya kesal. "Abang nggak dibolehin dia manggil Bintang. Katanya sih yang boleh manggil dia Bintang cuma kamu dek. Bener-bener bucin dia sama kamu."

Fatimah tertawa pelan mendengarnya. Sifat seenaknya itu benar-benar seorang Reynard sekali. Tapi bukannya kesal, Fatimah justru merasa lucu akan sifatnya.

Beberapa minggu ini, Reynard juga tak henti-hentinya mengiriminya sebuah kejutan. Entah itu bunga, coklat, mukenah, bahkan Al-Qur'an. Dan tak lupa terselip kata-kata khasnya yang membuat Fatimah geleng-geleng kepala.

Pria itu bahkan juga hampir setiap hari kesini. Dan entah kenapa Reynard selalu datang di jam-jamnya sarapan. Alhasil, Reynard ikut sarapan bersama dengan keluarganya.

"Dek, kalau seandainya adek mau menerima Reynard. In syaa Allah abang dan Abi sudah setuju. Karena memang kita sudah tahu betul sifatnya. Setelah adek menikah pun dia sering ke sini dan juga banyak membantu kita."

Fatimah terdiam. Apakah dia mencoba untuk membuka hati pada Reynard? Sedangkan hatinya sendiri masih memiliki satu nama disana.

***

__________________

Next?
Follow ig aku untuk dapatkan kabar terbaru tentang LaBu @wp.ifi.anti💃

Vote dan comment sebanyak-banyaknya ya!
Jangan lupa untuk ajak teman-teman kalian juga!
Jazakumullahu khairan ❤️

Salam sayang
Fia :)

Langit QalbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang