Fatimah menggelengkan kepalanya di dalam dekapan Akhtar. "Adek gak mau pulang."
Sontak Akhtar langsung melepaskan pelukannya. Dia menatap istrinya dengan tatapan tak percaya. Apa maksud Fatimah mengatakan itu?
"Maksudnya? Adek mau mampir ke suatu tempat dulu gitu?" tanyanya memperjelas.
Fatimah menatap sendu wajah tampan sang suami. Benarkah suaminya ini yang telah dengan tega menduakannya? Benarkah suaminya ini yang telah menghamili wanita lain?
Tak terasa, matanya sekarang sudah berkaca-kaca. Fatimah menunduk. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Wanita itu kembali menangis terisak. Dia tak bisa untuk berpura-pura kuat di depan sang suami. Nyatanya, pertahanan itu sekarang roboh di buatnya.
Nyeri di hatinya itu sekarang kembali lagi setelah melihat sang suami. Rasanya sungguh sangat sakit. Badannya yang kedinginan pun menjadi tak terasa akibat sakit di hatinya.
Akhtar, yang melihat istrinya menangis pun langsung terdiam. Rasa bersalah di hatinya semakin dalam kala melihat Fatimah seperti ini.
Dia mengusap wajahnya kasar. Lalu menghela nafas pelan. Menenangkan dirinya yang ikut merasakan sesak seperti sang istri rasakan.
Akhtar lalu memeluk Fatimah kembali. "Maafin mas dek. Maaf. Wallahi, mas gak ridho kalau adek sampai nangis kayak gini gara-gara mas. Mas sungguh sangat berdosa dek," gumamnya tepat di samping telinga Fatimah.
Berulang kali Akhtar menggumamkan kata maaf untuk sang istri. Berharap istrinya itu dapat memaafkannya. Pun mau untuk kembali pulang ke rumah mereka.
Hujan mulai mereda. Tertinggal jejak air hujan yang berada di mana-mana. Bau tanah setelah hujan yang khas membuat diri menjadi tenang. Daun-daun yang basah membuatnya terlihat lebih hidup.
Fatimah melepaskan pelukan mereka. Dia mengusap jejak air matanya dengan kasar. Lalu, berdiri dari duduknya. Sontak saja Akhtar juga ikut berdiri. Mengira jika istrinya itu mau pulang ke rumah bersamanya.
"Tolong biarkan adek sendiri dulu untuk sementara waktu. Bukan maksud untuk gak mau dengar penjelasan mas. Tapi, adek cuma mau nenangin diri. Adek butuh waktu untuk menata hati ini kembali. Adek juga butuh waktu untuk menerima semuanya."
Akhtar menggelengkan kepalanya kuat. "Gak. Mas gak akan izinin adek. Kita pulang ke rumah aja ya? Adek juga bisa nenangin diri di rumah. Mas janji, mas gak akan ganggu adek. Mas gak akan buat adek nangis lagi kayak gini. Mas mohon dek," pintanya.
Dia sungguh tak bisa untuk berjauhan dengan istrinya. Apalagi membiarkan istrinya itu sendiri? Tidak. Akhtar tak akan pernah bisa. Dia khawatir jika sang istri sampai kenapa-kenapa. Pun takut jika Fatimah nanti tak kembali padanya.
"Gak bisa mas. Adek cuma mau sendiri dulu. Adek masih gak nyangka dengan semuanya. Pikiran adek masih kacau. Gak bisa buat berfikir jernih. Hati adek juga rasanya sesak mas. Sakit. Rasanya gak percaya dengan semuanya. Ingin berharap kalau semua ini itu cuma mimpi. Tapi nyatanya gak. Ini kenyataan. Kenyataan pahit yang harus adek telan. Adek bener-bener gak nyangka kalau mas sampai ngelakuin hal itu. Adek gak nyangka......"
Fatimah kembali menangis. Tak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya. Wanita itu menutup mulutnya. Berharap suara isakannya dapat teredam dan berhenti menangis.
Jalanan yang masih sepi karena sehabis hujan, membuat mereka berdua tak khawatir akan prasangka orang-orang.
Fatimah lalu menghela nafas pelan. "Jadi, tolong izinin adek untuk menjauh dari mas dulu. Hanya sebentar. Sampai hati ini merasa siap untuk mendengarkan kenyataannya. Adek janji akan kembali ke rumah kita. Adek janji mas. Tolong izinin adek ya? Adek mohon sama mas," mohonnya pada sang suami.
Akhtar mendongakkan kepalanya. Terlihat awan-awan yang gelap mulai tergantikan dengan awan-awan putih. Dia tak menyangka jika istrinya itu sampai meminta izin untuk menjauh darinya. Dari situ saja dapat dia lihat seberapa besar rasa kecewa Fatimah kepadanya.
Akhtar lalu menatap Fatimah. Istri yang sangat dia sayangi. "Gak dek. Mas tetap gak akan izinin adek," tegasnya.
Akhtar tak akan bisa membiarkan istrinya itu jauh dari dirinya. Dia takut. Takut jika Fatimah tak kembali ke rumah mereka. Dan takut jika sang istri dengan tega meninggalkannya.
Akhtar tak bisa membayangkan jika hal itu sampai terjadi. Pria itu sangat mencintai Fatimah. Sangat. Tak mungkin dia bisa dengan tega mengizinkan sang istri untuk pergi entah kemana.
Fatimah semakin terisak. "K-kenapa? Kenapa mas tega ngelakuin hal kotor seperti itu? Kenapa mas bisa berbuat zina yang dosanya saja lebih besar dari pembunuhan? Kenapa iman mas jadi lemah kayak gini? Mas gak pernah mikirin adek? Gak pernah mikir perasaan adek nanti gimana? Hancur mas. Hati adek hancur. Adek sama sekali gak nyangka mas bisa ngelakuin itu. Wallahi, adek sangat kecewa sama mas. Reaksi mas ketika tahu kalau wanita itu hamil membuat adek terkejut. Adek heran sama mas, bisa-bisanya mas berbahagia sekali tanpa memikirkan dosa mas itu? Tak takutkah mas akan murka Allah? Mas tau kalau itu dosanya besar kan? Tapi, mas seolah-olah bersikap seperti biasa. Tak peduli akan perbuatan kotor yang telah mas lakukan. Apakah iman mas sudah hilang? Apa-"
"CUKUP FATIMAH," bentak Akhtar.
Wajahnya memerah. Kentara sekali jika pria itu sekarang sangat marah. Akhtar sungguh tak tahan dengan perkataan Fatimah yang seolah tengah menjelek-jelekkannya.
Istrinya itu menghakiminya tanpa tahu seperti apa kebenarannya. Bukankah itu termasuk fitnah? Dan apa katanya tadi? Berbuat zina? Akhtar tak pernah melakukan itu.
Sementara Fatimah sangat terkejut sekarang. Dia sungguh tak menyangka jika Akhtar akan membentaknya.
Selama 4 tahun ini, pria itu tak pernah sekalipun mebentaknya. Kemana suaminya yang selalu berbicara lembut itu?
"Jangan nuduh mas sembarangan. Kamu gak tahu faktanya gimana. Jangan seenaknya menyimpulkan sesuatu atas semuanya. Mas gak pernah berbuat zina. Mas gak mungkin berbuat kotor seperti itu," ucapnya penuh penekanan.
Harga dirinya sebagai seorang lelaki maupun kepala keluarga merasa tercoreng. Bagaimana bisa sang istri menuduhnya seperti itu? Apalagi sampai mengolok-oloknya? Akhtar tak bisa mentoleransi nya.
Fatimah menatap sang suami marah. "Bagaimana bisa adek nuduh mas? Bukankah semuanya sudah jelas? Wanita itu hamil anaknya mas kan? Bukankah itu berarti mas telah berbuat zina dengan wanita itu? Apalagi sampai membuat wanita itu hamil anak mas. Kenapa mas terus mengelak? Jawab dengan jujur mas," tuntutnya menyudutkan Akhtar.
Mendengar itu, membuat emosi Akhtar semakin tersulut. "KARENA DIA ISTRI MAS. ISTRI KEDUA MAS."
Fatimah melangkah mundur. Menatap sang suami dengan tatapan tak percaya. Perkataan suaminya sekarang terngiang-ngiang di kepalanya.
Fatimah menggelengkan kepalanya dengan air mata yang sudah berjatuhan. Apa kata Akhtar tadi? Istri? Wanita itu istri kedua suaminya?
__________
Next?
Vote dan comment dulu yaa!🤗
Jazakumullahu khairan ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Qalbu
Spiritual"Bersamamu, aku pernah bahagia. Tapi, bersamamu aku juga pernah terluka." -Fatimah Ghazala Humaira- "Maafkanlah atas semua luka yang telah kutorehkan padamu. Walaupun aku tau jika luka itu akan selalu membekas pada hatimu." -Akhtar Ghazi Arkananta- ...