13. Mengalah

2.7K 150 19
                                    

"Iya. Saya yang waktu itu di masjid. Yang begitu saja kamu tinggalkan seolah-olah saya ini monster yang akan menerkam mu," potong pria itu menyindir. 

Dia tanpa permisi langsung duduk di depan Fatimah. Menjadikan mereka berdua duduk dengan berhadapan.

Fatimah diam. Menatap heran pria yang di depannya ini. Ada urusan apa pria itu menghampirinya? Mereka saja tidak kenal. Hanya sekedar bertemu satu kali. Itu pun secara tak menyenangkan baginya.

Pria itu masih menatap Fatimah dengan tajam. Hingga tak berapa lama, makanan yang di pesan Fatimah pun tiba.

Wanita itu lalu memakan makanannya dengan tenang. Tak memperdulikan pria asing yang sedari tadi menatapnya itu. Sungguh, dia sangat risih sekarang.

"Afwan, kalau memang Anda tak ada keperluan dengan saya, bisakah Anda pindah ke meja lain?" usirnya secara halus.

Fatimah sungguh sudah tak tahan lagi. Tak tahukah jika dia sudah memiliki suami? Dan tentunya tak baik jika seorang perempuan yang sudah menikah saling duduk berdua seperti ini.

Ah, Fatimah lupa jika mereka baru kenal. Jelas saja pria yang di depannya ini tak tahu kalau dia itu istri orang.

Pria itu lantas mengangkat sebelah alisnya. "Kamu mengusir saya?"

Fatimah menghela nafas lelah. "Iya. Karena tak baik jika kita duduk di satu meja begini. Hal itu dapat menimbulkan fitnah. Apalagi saya yang sudah mempunyai suami. Jadi kalau memang Anda tak memiliki suatu hal yang penting dengan saya, tolong pindah ke meja lain."

Pria itu tampak tersenyum tipis setelah mendengar perkataan Fatimah. "Baiklah. Saya akan pindah ke meja lain."

Biarlah kali ini dia mengalah. Menuruti permintaan Fatimah. Karena setelah ini, dia tak akan mau untuk mengalah lagi.

🍁🍁🍁

"Dek, mulai minggu depan mas akan bagi waktu buat adek dan Nayla. Jadi, mas akan nginep di sini 3 hari dan sisa 4 hari untuk Nayla," putusnya tiba-tiba.

Mereka sekarang berada di kamar dengan posisi berbaring sambil berpelukan. Bersiap untuk tidur. Tapi perkataan Akhtar tadi membuat Fatimah membuka matanya lebar-lebar.

Wanita itu lalu melepas pelukan mereka. Dia menatap Akhtar yang juga menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Itu gak adil mas. Kenapa kamu nginap di Nayla 4 hari, sedangkan di sini cuma 3 hari?" ucapnya tak terima.

"Bukan gitu dek. Mas gak bermaksud untuk beda-bedain kalian berdua. Tapi di sini posisi Nayla sedang hamil dan masa-masa ini sangat membutuhkan mas sebagai sosok suaminya. Jadi tolong mengerti dek. Mas sudah berusaha untuk adil pada kalian berdua."

Mata Fatimah berkaca-kaca. Jujur, dia tersinggung dengan ucapan Akhtar.

Walaupun memang sang suami jelas tak bermaksud untuk menyinggungnya. Tapi tetap saja Fatimah merasa menjadi seorang istri yang cacat untuk Akhtar. 

"Iya, terserah mas aja."

Setelah mengatakan itu, Fatimah berbalik badan menghadap ke kiri. Memunggungi sang suami yang sekarang tengah menghela nafas.

Apakah dia salah? Apakah keputusannya itu tak adil untuk Fatimah? Tapi mengingat posisi Nayla yang hamil, membuat Akhtar berpikir jika keputusannya itu sudah benar.

Akhtar menatap punggung Fatimah. Dia memajukan tubuhnya. Memeluk sang istri dari belakang.

"Adek merasa gak adil sama keputusan mas?" tanyanya.

Fatimah diam. Dia bukannya merasa tak adil. Wanita itu paham akan posisi Nayla yang saat ini memang lebih membutuhkan sang suami di bandingkan dirinya.

Tapi, Fatimah hanya merasa tak rela. Tak rela jika sang suami membagi cintanya seperti ini. Tak rela jika dirinya tidak bisa hamil sedangkan Nayla saja bisa.

Fatimah juga takut. Takut jika Akhtar nanti lebih memilih Nayla di bandingkan dirinya. Takut jika Akhtar nanti akan meninggalkannya.

Berbagai kemungkinan buruk sekarang memenuhi pikirannya. Bagaimana jika anak Akhtar dan Nayla itu sudah lahir?

Apakah Akhtar akan lebih mementingkan mereka daripada dia?Apakah Akhtar akan perlahan-lahan melupakannya?

Tanpa sadar, Fatimah sekarang jadi menangis. Dia terisak. Tak siap akan segala kemungkinan yang terjadi. Pun tak siap untuk berada di posisi ini.

Wanita itu menutup mulutnya. Meredam suara tangisnya agar tak terdengar oleh Akhtar.

Tapi sepertinya nihil. Terbukti karena pria itu semakin mengeratkan pelukannya. Pun wajah Akhtar yang sekarang bersembunyi di ceruk lehernya.

"Tolong jangan menangis dek. Jangan siksa mas kayak gini. Rasanya sangat sakit setiap mas lihat adek nangis. Apalagi gara-gara mas sendiri. Tolong. Tolong jangan menangis karena lelaki jahat seperti mas."

Fatimah semakin terisak. Pecah sudah tangisnya. Karena nyatanya memang dia sungguh tak baik-baik saja.

Dia membalikkan tubuhnya sehingga menjadi berhadapan dengan sang suami. Memeluk balik Akhtar dengan erat. Menyembunyikan wajahnya di dada bidang sang suami.

"Dada adek sesak mas. Hati adek juga sakit. Rasanya sakit sekali karena mas sudah bukan milik adek sepenuhnya. Sakit sekali karena mas sudah membagi cintanya. Adek gak kuat mas. Adek gak kuat kalau kayak gini," keluhnya yang semakin membuat Akhtar merasa bersalah.

Akhtar mencium kening Fatimah. Mendengar keluhan sang istri membuat dia juga ikut merasakan sakit di hatinya.

"Gak sayang. Adek kuat. Kamu itu wanita yang kuat. Jangan nyerah untuk bertahan sama mas. Kamu tahu kan kalau mas gak akan bisa hidup tanpa adek? Jadi tolong. Tolong jangan pernah ninggalin mas."

Fatimah tak merespon. Wanita itu masih terisak yang mana semakin membuat Akhtar takut kalau sang istri akan meninggalkannya.

"Maafin mas dek. Maaf. Mas akan tetap di sini sama adek. Gak jadi nginep di rumah Nayla. Jadi tolong jangan begini. Tolong berhenti menangis. Mas gak bisa ngeliat adek kayak gini."

Mendengar itu, Fatimah lantas menggelengkan kepalanya. Tak setuju akan ucapan Akhtar barusan.

"Gak mas. Jangan kayak gitu. Adek gak papa. Mas tetap nginep di Nayla 4 hari dan di sini 3 hari. Jangan pikirin adek. Adek gak papa mas," tolaknya.

Istrinya itu memang terlalu baik. Bagaimana bisa dia mengatakan tak apa sementara saat ini wanita itu menangis?

"Gak. Mas gak mau. Mas akan tetap di sini aja sama adek." Akhtar tak mau mengambil resiko jika Fatimah nanti bisa saja meninggalkannya.

Tak apa. Tentang Nayla bisa di urusnya nanti. Karena sungguh, dia sangat mencintai Fatimah. Dia sungguh tak bisa hidup jika sampai Fatimah meninggalkannya.

Fatimah melepas pelukan mereka. Dia menatap wajah tampan sang suami. Mengelus lembut pipi kanan Akhtar yang mana membuat pria itu terbuai.

"Mas, adek beneran gak papa kok. Adek ngerti sama posisi mas. Adek paham sama tanggung jawab mas. Karena itu, sekarang adek gak boleh egois lagi. Dan mas juga harus bisa adil sama adek dan Nayla. Adek gak mau mas nanti berdosa."

Akhtar memegang tangan Fatimah yang berada di pipinya. "Tapi adek harus janji untuk gak ninggalin mas."

Fatimah tersenyum tipis. Dia pun tak tahu nanti akan bagaimana alurnya. Tapi, wanita itu tetap mengangguk.

🍁🍁🍁

_

___________

Next?
Vote dan comment sebanyak-banyaknya ya!
Jangan lupa untuk ajak teman-teman kalian juga!

In syaa Allah aku nanti malem akan update eps 14💃
Stay tuned yaa!!!
Jazakumullahu khairan ❤️

Salam sayang
Fia :)

Langit QalbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang