Fatimah pun menerima surat tersebut. Dia membaca surat itu dengan seksama. Tangannya bergetar ketika mengetahui itu surat apa. "Surat cerai?" tanyanya pada suami. Bahkan Akhtar sudah menandatangani surat tersebut.
Akhtar menatap Fatimah serius. Dia menganggukkan kepalanya. Membenarkan ucapan Fatimah. "Iya. Kamu tinggal tanda tangani aja. Dan sisanya biar aku yang urus."
Fatimah menggelengkan kepalanya. Dia tak menyangka jika Akhtar menyodorkan surat cerai dengan sangat santai. Seolah itu tak ada artinya bagi dirinya. Apakah benar jika dia tak ada artinya bagi Akhtar?
Fatimah tersenyum getir. "Apa aku memang nggak sepenting itu ya buat kamu?" tanyanya.
Akhtar menghela nafasnya. Merasa kesal akan pertanyaan Fatimah. "Kamu udah tahu jawabannya kan?"
Mendengar itu, Fatimah lantas menundukkan kepalanya. Ternyata memang benar bahwa dia bukanlah orang yang penting bagi Akhtar. Rasanya sekarang dia seolah ditampar oleh kenyataan. Kenyataan yang selama ini ternyata tak terpikirkan olehnya.
Nyatanya cinta Akhtar itu hanyalah semu. Dan semua perkataan Akhtar hanya berisi kebohongan. Dia lah yang bodoh karena telah mempercayai semua perkataan Akhtar selama ini.
Fatimah sangat menyesal. Dia sungguh menyesal karena telah menaruh kepercayaan pada Akhtar. Dia juga menyesal karena telah menaruh hati pada Akhtar. Dan dia juga menyesal karena telah menerima pernikahan ini.
"Kamu tenang aja. Karena rumah ini akan aku berikan padamu," ucap Akhtar tiba-tiba.
Fatimah mendongak. Menatap Akhtar dengan datar. "Aku nggak butuh rumah ini. Silahkan kamu jual ataupun tempati dengan Nayla. Aku sama sekali nggak peduli."
Biarlah dia bicara tak sopan pada suaminya. Karena toh setelah ini mereka akan bercerai kan? Sesekali dia juga harus melawan. Tak usah terlalu memikirkan dosa atau tidaknya jika Akhtar saja memperlakukannya dengan seenaknya.
Sedangkan Akhtar cukup terkejut akan perkataan sang istri. Baru kali ini Fatimah berbicara seperti itu padanya. Tapi dia juga mengerti akan sikap istrinya. Karena dia sudah terlalu dalam memberikan luka padanya.
Fatimah menyodorkan tangan kanannya. "Mana bolpoinnya?"
Akhtar tersadar dari lamunannya. Dia lantas memberikan bolpoin yang dipegangnya pada Fatimah. Ada rasa nyeri ketika bolpoin itu dipegang Fatimah. Rasanya hatinya sakit. Dan rasanya dia juga merasa tak rela.
"Boleh aku memelukmu dulu sebelum kamu menandatanganinya? Ini pelukan terakhir," pinta Akhtar.
Fatimah mengangguk. Dan dengan perlahan, Akhtar memeluk sang istri yang juga dibalas oleh Fatimah. Cukup lama mereka saling berpelukan. Saling menumpahkan perasaan yang selama ini mereka rasakan.
Akhtar mencium pucuk kepala Fatimah. Dan Fatimah meneteskan air matanya. Hanya sampai sinikah pernikahannya? Rasanya Fatimah masih tak menyangka akan semua yang terjadi.
Sedangkan Akhtar masih memeluk Fatimah dengan erat. Pria itu mencium aroma vanilla dari tubuh Fatimah dengan rakus. Mengingat aroma tersebut jika nanti dia merindukannya. Karena ini adalah kali terakhir dia mencium aroma tubuh Fatimah. Pun terakhir untuk menyebutnya sebagai seorang istri dari Akhtar Ghazi Arkananta.
Akhtar lantas melepaskan pelukan mereka. Dia memejamkan matanya. Menarik nafasnya pelan dan menghembuskannya. Menenangkan degup jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat.
Akhtar menatap Fatimah. "Saya Akhtar Ghazi Arkananta telah menalak istri saya Fatimah Ghazala Humaira."
Deg
Kalimat itu bagaikan sebuah panah tajam yang menusuk hatinya. Air mata Fatimah pun berjatuhan tanpa permisi. Dia lantas mengusap air matanya kasar. Fatimah tak boleh lemah dihadapan Akhtar begini. Dia harus kuat.
Fatimah berjalan ke arah meja ruang tamu. Dia lalu duduk pada sofa. Dan tangannya sudah siap untuk membubuhkan tanda tangan pada surat cerai tersebut.
Allah. Apakah ini akhir dari pernikahannya? Apakah keputusan hamba ini sudah benar? Dan bagaimana dia mengatakan pada Abi nya tentang semua ini? Wajah Abi yang kecewa sudah terbayang dalam pikiran Fatimah sekarang.
Mata Fatimah berkaca-kaca. Andai saja dia tak menerima pernikahan ini, mungkinkah dia bisa bahagia? Dan mungkinkah jika dia juga menemukan sosok pria yang bisa mencintainya?
Tapi sejauh dia berandai, itu tetaplah andai. Mustahil untuk terwujud. Fatimah harus bisa ikhlas. Ikhlas untuk menerima semua kehendak-Nya. Dan dia harus percaya bahwa Allah sudah merangkai hidupnya dengan sebaik mungkin.
Fatimah mengusap air matanya. Dan dengan tangan yang bergetar, dia berhasil menandatangani surat cerai tersebut. Fatimah lalu berdiri. Berjalan ke arah Akhtar yang masih diam pada posisinya. Dia menyodorkan surat cerai tersebut pada Akhtar dengan tangan yang bergetar.
"Sesuai keinginan kamu," ucap Fatimah pada Akhtar.
Pria itu menerima surat cerai tersebut. Menatap tanda tangan Fatimah di sana dengan tatapan yang sulit diartikan. Dengan begini, Fatimah pasti akan bahagia kan? Karena wanita itu sudah tak terikat dengan cowok brengsek sepertinya.
"Aku minta maaf atas semua luka yang kuberikan padamu selama ini. Aku berdoa semoga kamu nanti mendapatkan seorang suami yang bisa membuatmu bahagia. Bukan suami seperti aku yang malah membuatmu menangis."
Fatimah tersenyum sendu. Dia menundukkan kepalanya. Bagaimana bisa Akhtar mengatakan itu setelah dia baru saja menandatangani surat cerai? Kenapa Akhtar hari ini tampak berbeda dari biasanya? Ataukah ini sifatnya yang asli?
Fatimah menggeleng. Hal itu sudah bukan lagi urusannya. Dia harus sadar bahwa mereka sudah bercerai. "Syukron. Semoga persalinan Nayla nanti berjalan lancar. Terimakasih atas waktunya selama 4 tahun ini. Dan tentang permintaan maaf mu, aku masih dalam tahap mencoba untuk menerima semuanya dengan ikhlas."
Akhtar tersenyum tipis. Dia menganggukkan kepalanya pelan. Hatinya sungguh merasa sesak. "Mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu. Maka dari itu, aku cuma mau mengatakan bahwa kamu adalah istri yang sempurna bagiku. Terimakasih karena telah menjadi istri yang baik selama 4 tahun. Dan terimakasih karena telah melayaniku dengan baik selama 4 tahun ini. Aku pamit. Assalamu'alaikum."
Setelah mengatakan itu, Akhtar berlalu pergi keluar dari rumah. Dia sungguh tak bisa menahan air matanya sendiri. Hatinya sakit. Sakit untuk menerima bahwa mereka ternyata sudah bercerai.
Fatimah menatap punggung Akhtar dengan sendu. "Wa'alaikumussalam," jawabnya lirih.
Bagaimana bisa Akhtar mengatakan dirinya istri yang sempurna jika pria itu saja tak bisa mencintainya? Fatimah lantas menangis. Dia menyenderkan badannya pada tembok. Berjongkok sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Rasanya sesak. Hatinya sungguh sangat sakit. Kalimat talak Akhtar terngiang-ngiang dikepalanya. Andai saja dia tak menaruh hati pada Akhtar. Mungkin hatinya tak sehancur ini. Dan mungkin hatinya juga tak sesakit ini.
Karena nyatanya dia tak sekuat kelihatannya. Fatimah hanya berpura-pura kuat dihadapan Akhtar. Wanita itu tak ingin memperlihatkan pada Akhtar bahwa dia lemah. Kalau Akhtar juga bisa kuat, mengapa dirinya tidak?
Tapi kembali lagi, bahwa itu semua hanya kepura-puraannya semata. Wanita mana yang bisa kuat ketika pernikahannya kandas seperti ini? Dan wanita mana yang tak terluka ketika pernikahannya hancur?
Fatimah semakin terisak. Dia tak bisa membayangkan wajah sedih Abi nya. Dia juga tak bisa melihat wajah kecewa pada sang Abi. Dia sungguh tak sekuat itu untuk menghadapinya.
Abi, maafkan Fatimah. Maafkan Fatimah yang sudah mengecewakan Abi. Fatimah sungguh tak kuat. Fatimah hancur. Fatimah rindu dengan Abi.
***
__________
Maaf ya guys karena aku update nya lamaa🙏😭
Next?
Follow ig aku untuk dapatkan kabar terbaru tentang LaBu @wp.ifi.anti💃Vote dan comment sebanyak-banyaknya ya!
Jangan lupa untuk ajak teman-teman kalian juga!
Jazakumullahu khairan ❤️Salam sayang
Fia :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Qalbu
Spiritual"Bersamamu, aku pernah bahagia. Tapi, bersamamu aku juga pernah terluka." -Fatimah Ghazala Humaira- "Maafkanlah atas semua luka yang telah kutorehkan padamu. Walaupun aku tau jika luka itu akan selalu membekas pada hatimu." -Akhtar Ghazi Arkananta- ...