Fatimah sekarang berada di supermarket Ibu Kota. Dia terlihat membolak-balikkan sawi yang sudah di bungkus plastik itu. Memilih yang paling bagus dan segar di antaranya.
Iya. Hari ini adalah waktunya Fatimah untuk belanja bulanan. Menyetok persediaan yang sudah mulai habis di kulkasnya.
Mungkin biasanya dia akan berbelanja dengan Akhtar. Tapi tidak untuk hari ini. Fatimah sendirian. Karena memang suaminya itu tak bisa menemaninya.
Bukan karena Akhtar sedang bekerja. Mengingat hari ini hari Minggu yang menandakan jika suaminya itu libur. Tapi melainkan karena selama 4 hari ke depan adalah waktunya Akhtar bersama Nayla. Suaminya itu akan menginap di sana.
Fatimah berjinjit. Berusaha menggapai camilan kesukaannya. Tapi, tinggi Fatimah yang terbilang cukup pendek itupun tak dapat menyamai tinggi rak didepannya.
Tiba-tiba ada sebuah tangan yang mengambil camilan itu. Lalu memberikannya pada Fatimah yang memasang wajah keheranan.
Tanpa berpikir panjang, wanita itu lalu menerimanya. "Terima kasih," ucapnya.
"Kembali kasih," balas pria itu.
Fatimah yang mendengar suara familiar itu pun membulatkan matanya. Dia mendongak. Terkejut akan kehadiran pria yang sudah tak asing baginya.
Pria itu adalah pria yang bersikap sok akrab dengannya waktu di masjid. Pria itu juga adalah pria yang menghampiri mejanya di restoran kemarin. Pria yang sampai saat ini pun dia masih tak tahu namanya.
Dan sekarang Fatimah bertemu dengannya? Lagi? Apakah sungguh semua ini hanya kebetulan semata?
Pria itu lantas tertawa melihat ekspresi terkejut Fatimah. Menurut lucu di matanya. "Kenapa terkejut? Saya bukan monster yang bisa memakanmu, Fatimah," ucapnya yang semakin membuat wanita itu terkejut.
"Bagaimana Anda bisa tau nama saya? Saya tidak pernah memberitahu Anda sebelumnya," tanyanya heran.
Pria itu tampak berpikir. Dia mengedikkan bahunya acuh. "Itu mudah bagi saya untuk melakukannya."
Fatimah menatap pria yang berdiri di depannya. Sepertinya pria itu memiliki cukup kekuasaan. Mengingat dia bisa mengetahui namanya dengan begitu mudah.
Sedetik kemudian, Fatimah membulatkan matanya. "Anda juga menguntit saya?" tanyanya tak percaya.
Hal itu bisa saja terjadi. Apalagi mengingat sudah tiga kali mereka bertemu secara kebetulan. Itu sama sekali tak wajar baginya.
Pria itu diam beberapa detik. Seperti memikirkan sesuatu. "Kamu ingin jawaban jujur atau setengah jujur?"
"Jujur." Dalam hati, Fatimah kesal sekali dengan pria di depannya ini. Kenapa pria itu bertanya yang mana sudah jelas sekali jawabannya.
"Baiklah. Jujur, saya bisa di sini itu memang karena saya menguntitmu. Tapi tentang pertemuan kita yang kemarin itu murni karena kebetulan," ungkapnya.
Fatimah menatap pria itu tak percaya. "Kenapa Anda menguntit saya? Itu tindakan yang ilegal. Saya bisa saja melaporkan Anda ke pihak yang berwajib."
Pria itu menggelengkan kepalanya. "Maaf, saya tidak bisa memberitahu alasannya kepada kamu. Tapi, percayalah kalau saya bukan orang jahat. Saya sama sekali tidak berniat buruk."
Fatimah menghela nafas lelah. Bagaimana bisa dia tidak berpikiran buruk jika mengetahui ada seseorang yang menguntitnya?
Pria itu menatap Fatimah dengan tatapan rindu. "Kamu beneran lupa-"
"Dek."
Ucapan pria itu terpotong. Fatimah yang mendengarnya lantas menoleh. Terkejut melihat Akhtar bersama Nayla yang juga berada di sini.
Wanita itu menatap getir pautan tangan sang suami dengan Nayla. Dia lantas menolehkan mukanya ke samping. Tak kuat untuk berlama-lama melihat kemesraan mereka.
Sementara Akhtar menatap pria asing itu dengan tatapan menyelidik. "Siapa Anda?" tanyanya tajam.
Pria itu lantas tersenyum tipis. "Saya hanya seorang pria yang ingin menjaga Fatimah."
"Istri saya tak butuh penjagaan dari Anda. Karena ada saya suaminya yang akan menjaganya," balas Akhtar dengan menekankan kata 'istri'.
Pria itu lantas tertawa mengejek. "Anda yakin? Bukankah Anda sibuk menjaga istri kedua Anda yang sedang hamil itu, Tuan Akhtar Ghazi Arkananta?"
Mereka bertiga langsung terkejut akan perkataan pria itu. Tak terkecuali dengan Akhtar.
Bagaimana bisa dia mengetahui nama panjangnya? Apalagi tentang dirinya yang menikah lagi. Bahkan, orang tuanya saja tak tau. Sebenarnya siapa pria di depannya ini?
"Siapa Anda? Dan bagaimana bisa Anda mengetahui semuanya?" selidik Akhtar.
Pria itu mengangkat sebelah alisnya. "Belum waktunya bagi Anda untuk mengetahui identitas saya."
Akhtar diam. Pria di hadapannya ini sangat misterius. Tapi yang pasti pria itu menyukai istrinya, Fatimah. Dan Akhtar tak akan membiarkan pria itu dekat-dekat dengan Fatimah.
"Yah, sepertinya saya membuat kalian tak nyaman. Baiklah, kalau begitu saya akan pergi."
Pria itu lalu menatap Fatimah yang juga menatapnya. "Dan Fatimah, kita akan bertemu lagi dalam waktu dekat," ucapnya seraya tersenyum dan berbalik pergi begitu saja.
Hening. Akhtar lalu menatap Fatimah. "Adek kenal dia?" tanyanya.
Fatimah menggeleng. "Adek gak kenal mas," jujurnya.
"Tapi tadi dia kayak kenal sama adek. Adek gak bohong sama mas kan?" curiga Akhtar.
Bukan maksudnya untuk suudzon pada Fatimah. Tapi memang itulah yang dia lihat dari sikap pria tadi. Akhtar sungguh sangat cemburu sekarang.
Dia juga kecewa. Kecewa pada Fatimah yang tak pernah menceritakan pria tadi padanya. Pun kecewa karena istrinya itu tak meminta izin terlebih dahulu untuk pergi belanja bulanan. Apakah dia sudah tak di anggap suami oleh Fatimah?
Fatimah menatap Akhtar dengan tatapan tak percaya. Suaminya itu telah melukainya sekali lagi. Suaminya itu telah menyakiti hatinya sekali lagi.
"Mas gak percaya sama adek? Mas pikir adek bohong gitu?" cecarnya dengan mata berkaca-kaca.
Akhtar menggelengkan kepalanya panik. "Bukan gitu-"
"Ya jelas mas Akhtar berpikir kalo mbak bohong. Karena Nayla juga liat sendiri bagaimana keakraban kalian berdua tadi," potong Nayla yang sedari tadi diam.
Akhtar menatap Nayla tajam. "Jaga bicaramu Nay," peringatnya.
"Nayla cuma mengatakan yang sebenarnya mas. Seharusnya mbak Fatimah yang mas nasehati supaya dia bisa lebih menjaga batasannya pada orang yang bukan mahramnya. Bukankah mbak Fatimah sangat paham agama? Tapi kenapa mbak masih tidak bisa menerapkannya?"
"Nayla Khairunnisa!" ucapnya penuh penekanan.
Nayla menatap Akhtar dengan tatapan terluka. "Jadi, mas lebih belain mbak Fatimah daripada Nayla? Kenapa? Bukankah ucapan Nayla tadi sudah benar? Di sini itu mbak Fatimah yang salah mas. Tapi kenapa mas malah marah sama Nayla?"
Akhtar mengusap wajahnya kasar. Posisinya di sini serba salah. Apalagi mereka sekarang berada di tempat umum. Dan orang-orang pun sudah memperhatikan mereka sedari tadi.
"Mas gak nyalahin Nayla. Tapi-"
"Sudah cukup," sela Fatimah pelan. Dia sungguh sangat lelah dengan semua ini.
"Mas, di sini emang adek yang salah. Adek minta maaf. Sudah kan Nay? Itu yang kamu inginkan kan?"
Melihat keterdiaman Nayla, Fatimah lalu tersenyum tipis. Dapat dia lihat mata Nayla yang menyiratkan ketidaksukaan padanya.
"Adek pulang duluan mas. Assalamu'alaikum," salamnya dan melenggang pergi begitu saja. Menyisakan Akhtar yang menatap sendu punggung Fatimah.
🍁🍁🍁
____________Next?
Vote dan comment sebanyak-banyaknya ya!
Jangan lupa untuk ajak teman-teman kalian juga!
Jazakumullahu khairan ❤️Salam sayang
Fia :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Qalbu
Spiritual"Bersamamu, aku pernah bahagia. Tapi, bersamamu aku juga pernah terluka." -Fatimah Ghazala Humaira- "Maafkanlah atas semua luka yang telah kutorehkan padamu. Walaupun aku tau jika luka itu akan selalu membekas pada hatimu." -Akhtar Ghazi Arkananta- ...