17.

48 4 0
                                    

Keesokan harinya, Joshua memutuskan diri untuk kembali ke rumah sebelum matahari menampakkan diri. Ia berpisah dengan Dika ketika sampai di basement dan lanjut perjalanan ke rumah masing-masing.

Rasanya ia tak akan pernah membaik jika tak menemui gadis itu. Joshua selalu merindukan Lova sebagai obat penenang hatinya.

Begitu menginjakkan kaki di rumah, Joshua melihat sejenak jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Tak ada tujuan lain, lelaki itu langsung menuju kamar Lova untuk melihat kondisinya.

Lova masih terlelap, bahkan gadis itu sampai memeluk buku cetak sekolahnya. Sedikit ada kekhawatiran pada Joshua yang menduga kalau gadis itu kelelahan sampai tertidur di tengah belajarnya.

Harusnya semalam ia segera pulang dan memastikan Lova yang melakukan segala kegiatannya dengan benar.

"Dealova.. wake up. Waktunya siap-siap." Dengan lembut Joshua segera membangunkan Lova karena gadis itu harus bersiap untuk sekolah hari ini.

Lova mengerang, mengangkat tangannya dengan mata yang masih enggan terbuka. "Lima menit lagi, Pap."

"No! sekarang, come on. Jangan sampai kita kejebak macet di jalan," tolak Joshua yang tak menerima tawar-menawar.

Dengan malas Lova beringsut duduk, mengucek mata dan kini tengah melihat Joshua yang tengah membersihkan meja belajarnya.

"Papap pasti baru pulang, iya kan?" tanya Lova yang sempat melihat wajah lelah Joshua.

"Hm, Papap semalem lembur," jawab Joshua singkat.

Lova menunduk, ada rasa kecewa yang datang begitu mendengar jawaban Joshua. "Lova emang bukan anak kecil lagi, tapi bukannya Papap sendiri yang bilang gak bakal sibuk lagi sama kerjaan dan jadi orang tua yang baik?"

Joshua tertohok, baru sadar jika lagi-lagi ia sudah mengingkari janjinya. Lagi-lagi ucapan yang keluar dari mulut manisnya itu hanya omong kosong belaka. Joshua sudah terlalu sering membuat gadis itu berharap pada sesuatu yang cukup sulit ia kendalikan. Sibuk kerja hanya untuk mengisi kekosongan dan menghibur diri, hanya itu yang bisa Joshua lakukan karena tak ingin terjerumus menjalani sisa hidupnya.

"Maafin Papap," ucapnya penuh penyesalan. "Oh iya, Papap denger Lova mau ikut ekskul basket?"

Lova hanya mendengkus begitu Joshua segera mengalihkan pembicaraan dengan memberinya pertanyaan baru.

"Iya, pasti Papap ngelarang kan?! kayak waktu SMP dulu," sungut Lova.

"Kita ketemu dokter Vernon dulu supaya Papap tenang waktu udah kasih kamu ijin," kata Joshua membujuk.

"Pap, i'm okay! bukannya kata dokter Vernon, Lova udah sehat ya?" ujar Lova menegaskan.

Joshua lantas menggenggam erat tangan gadis itu. "Gak ada salahnya kita cek dulu. Lagian udah lama juga kita gak pergi, itu udah setahun yang lalu."

"Ya udah, kalo gitu kapan?" Lova yang luluh pun akhirnya menurut saja.

"Gak bisa sekarang, tapi nanti bakal Papap usahain segera mungkin," kata Joshua yang kembali menyisakan rasa kecewa untuk Lova.

Kadang kalo keadaannya sudah semenyebalkan ini, Lova selalu mendambakan sosok wanita yang bertugas untuk menyadarkan lelaki di hadapannya kini. Joshua harus kembali punya pendamping agar hidupnya tak selalu tentang pekerjaan. Lelaki itu, setidaknya harus lebih menyayangi diri sendiri. Lova jadi berpikir, mungkin ia harus membantu Jelena untuk kembali bersatu dengan Joshua.

Lova tak mau Joshua berlarut dengan statusnya, lelaki itu berhak untuk kembali bahagia dengan seseorang yang selalu ada dan mendampinginya.

°°°

A GiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang