28.

30 3 0
                                    

Hatinya masih mendidih tak terima dengan ucapan cowok yang akhir-akhir ini sangat ia benci begitu tau keberadaannya. Baron rasanya ingin teriak, meluapkan setidaknya dalam bentuk umpatan tapi teringat sekarang posisinya sedang diapit orang-orang yang setia menemaninya.

Entah sampai kapan Baron mampu menyimpan masalah yang ia emban. Ingin setidaknya hanya bertukar sedikit pikiran yang memenuhi kepala, tapi begitu ingat hal tersebut menyangkut keluarga, Baron selalu menutup diri dan mengunci rapat mulutnya.

Tak ada yang benar-benar tau bagaimana Baron yang mencoba mencari jalan terang untuk keutuhan keluarganya.

"Pipi lo merah gitu kenapa?" celetuk Dheril yang baru memperhatikan Baron sejak lima menit yang lalu sibuk pada ponsel sendiri.

Wandra reflek mendekatkan diri dan menyentuh pipi Baron. Cowok itu jadi mengerutkan kening karena baru mengetahui hal tersebut, padahal sedari tadi mengajak bicara Baron. "Lo abis didandanin sama Nonna ya?"

Ferdian yang menyimak langsung mendorong kepala Wandra. "Kok lo bisa kepikiran gitu sih, Wan?"

"Ya kali aja gitu kan. Soalnya Nonna suka bawa-bawa gincu terus di polesin ke pipinya gitu biar merah," jelas Wandra yang paham betul dengan kebiasaan gadis yang jadi bahan pembicaraan.

Baron langsung menepis tangan Wandra yang masih menyentuh pipinya. "Bukan Nonna tapi Zoa!"

Dheril langsung menegakkan tubuh membelalakkan mata. "Dih demi apa Zoa ikutan bawa-bawa gincu ke sekolah? tumben," ucapnya heboh tak percaya.

"Bukan pake gincu anjing! gue ditampol pake penggaris besi," jelas Baron dengan intonasi meninggi.

Diawali Wandra, lalu dua orang lainnya menyambut dengan tawa kencang yang meledek. Seketika kelakuan mereka pun jadi bahan tontonan beberapa murid yang tak sengaja lewat di depan mereka. Sumpah pada gak tau malu, mana gak ada yang mau berniat berhenti buat tertawa padahal tidak ada yang lucu.

"Udah bangsat ketawanya!" amuk Baron menggeplak satu-persatu temannya.

"Brengsek!" kata Ferdian mengaduh. Cowok itu menundukkan kepala sejenak karena tiba-tiba merasa pusing. Saat akan mendongakkan kembali kepalanya, ia malah dikejutkan oleh sekelebat bayangan. "Woy! Woy! target tuh!" ucapnya langsung heboh."

Baron reflek mengikuti arah telunjuk Ferdian dengan pupil mata yang kian melebar.

"Ikutin gak nih?" tanya Dheril.

Baron masih terpaku ditempat tak langsung menjawab. Hatinya tiba-tiba bertanya tentang apa yang sudah ia rencanakan untuk sosok itu. Caranya ini... Gak salah kan?

Baron merasa, dirinya sekarang malah seperti penguntit. Tapi bukan itu maksudnya. Jadi, ayo ikuti saja seperti apa permainannya.

"Gimana njing? malah diem!" sentak Wandra tak sabaran.

"Sabar sat! jangan keliatan banget kayak penguntit. Inget buat tetep kalem tapi tetep awasin," balas Baron langsung mengomando.

Ketiga orang itu mengangguk paham, sudah bersiap melangkahkan kaki menuju kantin yang tak jauh dari hadapannya. Yang lain sudah lebih dulu melangkah maju, sedangkan Baron terpaksa menghentikan langkah mendadak. Kedatangan seseorang yang memakai sepatu docmart di hadapannya ini seketika membuatnya kesal.

"Bisa bicara sebentar?" sapa gadis yang tadi sempat jadi sasaran gibah oleh teman-temannya. Itu Nonna, gadis blasteran yang selalu identik dengan tatapan angkuhnya.

"Apasih? lo kalo masih ngotot minta jadi ketua cheers, mending minggir sekarang. Ada yang lebih penting dari itu," ujar Baron yang ingin segera menyusul teman-temannya.

A GiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang