Keadaan rumah terasa begitu sunyi, hanya terdengar bunyi decitan saat pintunya terbuka. Tak ada yang perlu diharapkan. Memang beginilah hari-harinya. Ia yang harus meninggalkan rumah karena menjalani aktivitas sebagai seorang pelajar, kadang bisa saja seharian tak pulang ke rumah. Sedangkan orang tuanya sibuk bekerja. Papanya yang sering kali pulang ke rumah yang lain hingga tersisalah mama yang sering merasakan dinginnya sepi di rumah besar ini.
Sebenarnya Baron tak tega dengan wanita itu, tapi ia suka dibuat kesal dengan kelakuan papanya hingga ikut-ikutan tak mau pulang ke rumah. Tapi untuk kali ini, Baron langsung pulang begitu sekolah usai.
Baron ingat betul wajah pucat yang ia tinggalkan tadi pagi. Wanita itu terus meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja, agar tak membuat Baron khawatir dan mengurungkan niatnya untuk berangkat sekolah.
"Mama... Baron pulang."
Cowok itu terlebih dulu memasuki dapur, karena biasanya sore hari wanita itu suka membuat camilan untuknya disana.
Namun kosong, Baron segera beralih menaiki tangga menuju lantai dua untuk menghampiri sang mama.
Baron berlari, panik bukan main begitu melihat mama yang sudah tergeletak di lantai. Ia coba untuk menepuk pelan pipi wanita itu menyadarkan, tapi hasilnya nihil. Baron kebingungan, tak bisa berpikir jernih karena terlalu panik. Coba saja tangannya sudah sembuh total, mungkin langsung saja ia gendong mamanya untuk segera dibawa ke rumah sakit.
Sekarang menelpon seseoranglah yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan pertolongan. Bukan Bastian, lelaki itu bisa-bisanya tak aktif disaat darurat seperti ini.
"Om Willy, cepet ke rumah. Mama pingsan."
Menunggu tak sampai lima belas menit, Willy datang segera mengantar Baron dan mamanya ke rumah sakit terdekat.
Tetap saja di jalan Baron tak hentinya khawatir. Jarinya juga terus berusaha menekan tombol hijau hanya untuk menyampaikan kabar. Karena percuma saja jika hanya mengirim pesan, lagi pula Baron terlalu malas untuk mengetik.
"Kemana sih bajingan ini?" gumamnya tak kunjung berhasil mendapat jawaban dari Bastian.
"Lagi sibuk kali," sahut Willy yang terganggu karena cowok itu tak hentinya melontarkan sumpah serapah yang ditujukan untuk bapaknya sendiri.
Baron mendecih, lima puluh lima panggilan tak terjawab. Begitulah riwayat yang tertera pada nomor Bastian. Baron sudah muak, tapi jarinya masih saja tertuju pada tombol hijau. Harapannya sudah terkuras habis, hanya menatap datar ponsel yang berdering cukup lama.
"Iya Baron. Ada apa, nak?" sahut Bastian dengan nada bicaranya yang kalem.
"Bajingan! bisa-bisanya hp nonaktif, gak tau apa lagi genting begini?" Baron langsung ngegas detik itu juga, tak peduli sudah berapa banyak dosa yang terkumpul akibat mulut kotornya yang susah dikontrol itu.
"Tolong bicara yang baik, ada apa? papa baru selesai meeting." Bastian segera memberi alasan. Terdengar jika emosinya sudah tepancing karena nada bicaranya yang tertahan.
"Buruan ke rumah sakit sekarang! saya gak mau nelpon anda untuk yang kesekian kali. Denger, ini peringatan terakhir!"
Panggilan langsung ia putus dan detik berikutnya, Baron benar-benar melakukannya. Bukan lagi memblokir, tapi sudah menghapus nomor Bastian dari ponselnya. Mungkin ia juga perlu mengganti sim card yang baru.
°°°
Nyatanya peringatan itu tak terlalu penting bagi Bastian. Terbukti sudah satu jam lewat lelaki itu tak kunjung menampakkan diri sekedar melihat istri yang tengah terbaring lemah di bangsal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Gift
FanfictionCinta merupakan hadiah pemberian dari tuhan. Rasa yang ada di dalamnya itu adalah sebuah anugerah yang tuhan berikan. Kita tidak pernah tau, bahkan rasanya seperti tidak bisa memilih kepada siapa esok kita akan menjatuhkan rasa. Semuanya sudah diat...