03.

90 8 0
                                    

Pagi itu, Joshua bangun terlambat. Ia menuruni tangga hingga nampak sosok Lova yang terlihat sudah bersiap menenteng tas warna denimnya.

"Loh, mau kemana pagi-pagi begini?"

Lova meringis, lalu berlari dan menghamburkan diri ke pelukan Joshua. "Bukannya kemarin aku udah bilang Papap?"

Joshua mendorong pelan tubuh Lova untuk melihat wajah gadis itu. "Oh, ya?" ujarnya memastikan. Kemudian ia mulai mengingat tentang hal kemarin.

Tepatnya semalam sepulang kerja, Lova tiba-tiba menghampirinya yang baru saja memasuki rumah. Gadis itu terlihat ceria tapi jelas sedang mengiginkan sesuatu. Tak lama langsung bercerita dan meminta izin jika ingin pergi ke suatu tempat untuk menghabiskan waktu di hari pertama masa liburnya ini.

"Kamu beneran mau pergi, without Papap?"

Lova mengangkat kedua alisnya dan menganguk. "Lova mau pergi sama temen."

"Ah, Papap jadi cemburu sama temen kamu!" ucap Joshua jadi merajuk. "Kalo gitu Papap mau jadi temen kamu aja, biar bisa jalan bareng terus."

Gadis itu jadi menghela napas malas. "Kalo Papap jadi temen aku, terus yang jadi Papap aku siapa?" tanya Lova. "Papap gak boleh iri sama temen-temen Lova, kita perginya cuma sebentar dan itu gak tiap hari. Lova paling banyak ngabisin waktu sama Papap."

Joshua hanya mengulas senyum tipis. "Pokoknya nanti kita harus keluar buat quality time!"

Lova hanya mengangguk saja mengiyakan. Semoga ucapan itu benar terjadinya, tak seperti ucapan-ucapan yang berlabel janji tapi tak pernah ditepati. Lova sendiri sebenarnya sangat merindukan momen dimana dulu ia selalu menghabiskan seluruh waktu liburannya berdua dengan Joshua.

Ia tak mau jika Lelaki ini terlalu suka bekerja sampai lupa untuk kembali menciptakan momen indah.

°°°

Setelahnya Joshua juga sudah bersiap, kini hanya tersisa dia di rumah. Lova sudah pergi sekitar dua puluh menit yang lalu.

Namun kini lelaki itu tengah dibuat kebingungan mencari keberadaan kunci mobilnya. Ingatannya tengah kacau, sampai tak ingat sama sekali dimana terakhir kali meletakkan benda itu.

Kemudian suara deringan ponsel mengalihkan atensinya. Joshua langsung mengangkat panggilan itu meski sejujurnya sangat malas.

"Bukannya semalam aku sudah bilang kalo jam segini Lova lagi keluar, kenapa telpon?" ujarnya begitu telpon tersambung. Suaranya sangat lembut tapi nadanya terdengar sedikit tak ramah.

"Tumben jam segini belum berangkat ngantor?"

Joshua menautkan alis, kemudian mengangkat kaki mendekat menuju jendela. Tatapannya bertemu dengan seorang wanita yang entah sejak kapan sudah berdiri di halaman rumahnya itu.

"How are you, Josh? stay where you are, I'll come."

Joshua bergeming di tepatnya, ia biarkan ponsel yang masih menyala itu tetap menempel di telinganya. Hingga tak lama suara si penelpon semakin dekat dan kini mereka  berhadapan.

"Kalo aku telpon langsung ke kamu itu, artinya memang kamu yang aku tuju!" ucap wanita itu lalu memutus sambungan teleponnya dan meletakkan ponsel ke dalam tas hitamnya. "Apa aku harus jadiin Lova alesan supaya kamu gak menghindar dan mau ngomong sama aku?"

"Memangnya apalagi yang mau kamu omongin, Jel?" tanya Joshua yang menahan diri untuk tak meledak.

"Tolong, apa susahnya buat setuju sama saran ku? aku begini juga demi Lova, coba kamu pahami itu!"

"Jangan konyol Jel! kita udah lama pisah, kita udah gak saling cinta. Apa yang harus diperjuangin?"

Jelena, mantan istrinya itu kembali. Sudah dari empat bulan belakangan Joshua selalu di teror dengan tawaran rujuk kemabali. Bukan bermaksud tega dengan Lova karena tak kunjung menyetujui ajakan itu, tapi ini sudah terlalu konyol jika benar terwujud. Joshua tak tau apa jadinya, yang ia pikirkan hanya kebaikan Lova.

Rujuk belum tentu yang terbaik untuk Lova.

Mereka berpisah dengan baik-baik, itu karena Joshua yang tak terlalu mempermasalahkan alasan tak masuk akal sang mantan saat mengajaknya bercerai. Joshua langsung mengabulkan apa yang Jelena mau saat itu, yang terpenting hak asuh Lova jatuh ke tangannya.

"Josh, aku tau kita masih saling cinta. You love me so mad! Ayo kita perbaiki bersama dan jadi keluarga yang bahagia seperti yang selalu Lova dambakan." Jelena masih terus saja berusaha membujuk.

"Kita bicarain lagi lain waktu, aku harus ke kantor sekarang. Tolong tutup pintu kalo keluar." Joshua langsung saja mengakhiri topik pembicaraan dengan angkat kaki terlebih dulu dari ruang kerjanya.

Lelaki itu turun dengan tergesa begitu sudah menemukan kunci mobil yang tergantung di belakang pintu ruangannya tadi.

Moodnya jadi tidak baik, pagi hari sudah dihadapkan dengan Jelena dan tawarannya yang membuat Joshua jengkel. Mungkin hari ini ia harus rela mendengar omelan Lova yang mesti mengangkat teleponnya setiap waktu.

'Papap nyebelin, ngapain sih telepon mulu! duda gabut!'

Membayangkan omelan itu terlontar dari mulut Lova bersamaan dengan wajah sebalnya, lantas membuat Joshua terkekeh geli.

A GiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang