Malam harinya, rasa frustasi benar-benar menguasai pikirannya. Dante berulang kali menghela napas panjang. Tak pernah menyangka jika akan dihadapkan oleh rumitnya masalah keluarga yang mau tak mau kali ini ia harus ikut andil membuat keputusan.
Setidaknya untuk kedamaiannya sendiri, masalah ini cukup membuatnya terguncang. Pikirannya yang masih belum matang itu terpaksa ia gunakan untuk memahami apa yang sebenarnya menjadi masalah besar dalam hubungan orang dewasa.
"Dante malu, Ma!" lirihnya dengan mata terpejam. "Aku gak suka dibuat gak berdaya kayak tadi padahal seharusnya aku bisa bela Mama. Tapi setelah dipikir lagi, apa yang harus Dante bela kalau Mama juga bersalah disini."
"Maafin Mama sayang." Theresa sudah kehabisan kata. Terlalu banyak hal yang sudah ia sembunyikan sampai bingung harus memulai darimana. Menurutnya Dante belum cukup siap mendengar semua fakta yang mungkin akan semakin mengguncang batinnya.
"Dante cuma mau kasih dua pilihan, Ma." Dante melirik wanita di sebelahnya dengan mata yang sayu. "Papa yang pulang atau Dante yang nyusulin papa?"
"Kamu... mau ninggalin Mama sendirian di rumah?" tanya Theresa sedikit tak terima.
"Dante gak bisa kalo harus ketemu om Bastian lagi, Dante benci banget sama dia!" Kata benci pun akhirnya lolos dari Dante yang sudah tak bisa menahan perasaannya. Untuk apa pusing memikirkan perasaan orang jika orang itu tak pernah memikirkan diri sendiri saat bertindak. Tak memperdulikan jika perbuatannya bisa berimbas buruk atau tidak bagi kehidupan orang lain.
"Kamu disini aja sama Mama. Jangan ganggu papa kamu, dia pasti sibuk dan kamu gak akan keurus kalo tinggal sama dia," terang Theresa membujuk.
"Gak masalah, Dante bisa urus hidup sendiri kok, udah gede gini. Yang penting Dante bisa hidup tenang," pungkasnya lalu meninggalkan Theresa untuk segera mengemasi barang-barangnya di kamar.
Dante mulai mengambil baju, dan memasukkan ke dalam tas besar begitu saja. Ia juga mengemasi buku-bukunya agar tak perlu bolak-balik untuk pulang ke rumah. Keputusannya sudah bulat meskipun belum sempat mengkonfirmasi hal tersebut kepada sang papa.
"Dante disini aja ya sama Mama." Theresa datang menghampiri, berharap penuh jika Dante bisa berubah pikiran dan luluh akan bujuknya.
"Apa susahnya sih buat minta papa pulang?" tanya Dante. "Bukannya kalian bisa lebih bebas berduaan kalo Dante gak di rumah?"
"Bukan gitu Dante! Mama gak bisa kalo gak ada kamu." Theresa masih saja teguh. Mulutnya sudah tak tahan untuk menjelaskan, wanita itu hanya bisa menarik napas dalam menahan diri. Waktunya sangat tidak tepat.
Theresa segera menahan pergerakan Dante begitu pemuda itu bersiap menggendong tasnya. "Kalaupun Mama pilih buat nyuruh papa kamu pulang, dia pasti gak langsung pulang detik itu juga."
"KENAPA?" Dante lepas kendali dengan teriakannya yang memenuhi kamarnya. "Kalian udah gak saling cinta? atau malah diem-diem udah cerai tanpa sepengetahuan Dante?"
"Enggak! Mama sama Papa gak pernah cerai," jelas Theresa. Suaranya mulai bergetar di susul air mata yang perlahan mengalir di pipinya.
"Maka dari itu Dante harus denger dari mulut papa sendiri selama tiga tahun ini." Kali ini Theresa tak dapat mencegahnya. Dante keluar rumah dengan segera. Ia sangat berharap banyak untuk pertemuannya nanti dengan sang papa. Setidaknya ada sedikit penjelasan dari sana, hingga Dante tak terpaku pada satu sisi untuk memahami apa yang tengah terjadi.
°°°
"Papa gak kasih ijin kamu buat ikut sama papa."
Kalimat yang menjadi awal obrolan itu langsung menyesakkan hatinya. Suasana kafe yang hanya diiringi oleh alunan musik jazz tak mampu membuatnya larut dalam suasana dan merasakan ketenangan.
"Kalo gitu ikut Dante pulang ke rumah ya," pinta Dante terdengar memaksa.
Setelah pergi dari rumah, Dante langsung menghubungi papanya— Michael Abraham, seorang direktur utama di sebuah bank terbesar milik pemerintah. Dua tahun lalu baru naik jabatan yang sebelumnya ia adalah seorang manajer pengembangan produk.
Tentu makin disibukkan dengan pekerjaan, maka dari itu Dante sangat bersyukur jika Michael bisa datang menghampirinya di kafe ini.
"Gak bisa, Dante! kamu tau kan rumah sama tempat kerja papa itu jauh," balas Michael beralasan. "Pulang sekarang, kasian mama kamu sendirian."
Dante mendecak hingga kakinya yang ikut bergerak itu tak sengaja mendorong meja hingga menimbulkan decitan kencang. "Dante gak akan pulang, kalo Papa gak ijinin Dante ikut, ya terpaksa aku nginep disini," ancamnya.
"Ya jangan lah!" tolak Micahel. Kepalanya semakin pusing saja dengan kedatangan Dante yang tiba-tiba banyak mau. Bahkan ia sampai lupa menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Fokusnya hanya menenangkan dan membujuk pemuda itu agar mau kembali dengan sang mama. "Kamu kayak yang gak punya rumah aja. Oke, ayo ikut Papa. Kita ke apart sekarang.
Senyum Dante mengembang. Langsung mengikuti Michael keluar dari kafe.
"Pa, sebenarnya keluarga kita itu gimana?"
Kepala Michael langsung tertoleh, tatapan kosong yang kini jadi objek penglihatannya itu seketika memberikan getaran hingga menyentuh hatinya. Kemudian pemuda itu terdiam lama, mungkin menunggunya memberikan jawaban yang belum sempat ia rangkai agar bisa lebih di cermati oleh anak yang belum cukup dewasa ini.
"Kita baik-baik aja, papa harus pergi seperti yang kamu tau. Karena kerjaan," dusta Michael. Hanya itu yang bisa ia ucap karena tak ada persiapan.
"Bohong!" tukas Dante. "Kalo baik-baik aja kenapa waktu Papa pergi kita malah kedatangan om Bastian? apa hak dia untuk bolak-balik nginep di rumah walaupun cuma numpang istirahat doang?"
Michael merapatkan bibirnya, karena itulah alasannya pergi. Ia sangat menyesal atas dirinya sendiri yang tak bisa bertahan tapi juga tak bisa merelakan. Michael hanya bisa menjaga statusnya, tapi ia masih butuh waktu untuk memperbaiki dan mengakhiri semuanya dengan Dante yang terpaksa harus ikut terluka.
"Bastian itu temen mama, juga temen papa. Gak perlu ada yang dikhawatirin sama dia," jawab Michael dengan raut wajah yang tak terbaca.
Hari semakin malam, tapi laju mobilnya masih belum sampai tujuan. Tenaganya serasa terkuras habis setiap teringat tentang apa yang tengah terjadi dalam keluarga kecilnya. Michael tak bisa membiarkan Dante sendirian dengan segala bingungnya, tapi Michael juga bingung harus bertindak seperti apa.
"Kayaknya Papa juga gak bisa di percaya deh. Bahkan hari ini anaknya om Bastian udah berani dateng ke rumah buat ngelabrak. Dante kesel karena dia selalu ngomong hal buruk tentang mama," terang Dante pada akhirnya. Raut wajah yang tadinya sendu seketika berubah. Segala kekesalan itu meledak di hadapan Michael.
Michael hanya bisa geleng kepala, ia juga ikut kesal. Apalagi mengetahui jika ada bocah yang berani berkata buruk tentang wanita yang masih berstatus istrinya itu. Meskipun ia tahu jelas, kalau Theresa juga sangat bersalah atas semua yang sudah ia lakukan.
"Lima hari cukup kan sama Papa, weekend kamu harus kembali sama mama. Tolong jagain mama dengan baik ya." Hanya itu pesannya begitu mobilnya memasuki area apartemen.
Michael menepuk bahu Dante beberapa kali untuk menenangkan. Disitu ia menyalurkan rasa untuk tidak perlu khawatir. Semuanya akan segera baik-baik saja. Kali ini Michael sudah berani berjanji.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Gift
FanficCinta merupakan hadiah pemberian dari tuhan. Rasa yang ada di dalamnya itu adalah sebuah anugerah yang tuhan berikan. Kita tidak pernah tau, bahkan rasanya seperti tidak bisa memilih kepada siapa esok kita akan menjatuhkan rasa. Semuanya sudah diat...