04.

74 6 0
                                    

Di tengah keramaian, tedapat sepasang remaja yang sedang terengah kompak memegangi lututnya masing-masing. Dante lebih dulu melirik Lova yang masih menunduk.

"Lova, you oke?" tanya Dante memastikan.

Lova perlahan mengangkat kepala, ia menarik napas sedalam mungkin dan menghembuskannya perlahan. Ternyata menguji adrenalin sangat menguras tenaga. Untung saja ia tak sampai pingsan karena terus-terusan teriak saat menaiki roller coaster bersama Dante.

"Udah yuk lanjut lagi," balas Lova masih semangat.

Dante segera menahan tangan gadis itu ketika ia hendak melangkah. "Yakin? muka lo udah keliatan capek banget. Kita pulang sekarang aja ya," ucapnya jadi was-was sendiri.

Sebelumnya, mereka tanpa rencana mengunjungi taman hiburan untuk menghabiskan hari pertama liburannya. Saat di perjalanan, barulah terlintas di kepala Lova untuk mengajak Dante mencoba wahana penguji adrenalin dan cowok itu menyetujuinya. Namun tanpa disangka, Lova malah mengajaknya menaiki roller coaster. Dimana gadis itu sendiri sebenarnya takut untuk menaikinya.

"Ayolah jangan gitu, gue gak apa-apa kok!" kata Lova meyakinkan.

Dante terdiam, menatap dalam Lova dengan cemas. "Lain kali jangan penasaran lagi. Udah cukup sekali aja seumur hidup!"

"Iyaa..," sahut Lova jadi malas sendiri. Ia hanya sedikit kelelahan karena roller coaster itu dan sekarang sudah kembali membaik. Tapi Dante terlalu berlebihan. "Ayok kita keliling lagi!"

"Nanti lagi, kita istirahat dulu!"

Terdengar Lova mendengkus tak setuju. Dante yang tak mau tau akhirnya menarik paksa tangan Lova untuk mengikutinya.

Mereka berdua berhenti di area food court. Mengingat sudah satu jam lamanya mereka ada di sini, dan sekarang giliran untuk mengisi tenaga kembali.

"Dante gue mau es krim!" seru Lova semangat.

"Nanti dulu Dealova!" balas Dante segera menahan Lova yang akan nyelonong pergi. Selanjutnya Dante menyeret paksa Lova untuk duduk di bangku yang masih kosong. "Tunggu sini, gue pesenin makanan dulu."

"Dante tunggu dulu!" seru Lova lagi. Cowok itu menolehnya penuh tanya. "Abis makan kita ke rumah hantu ya," imbuh Lova dengan entengnya.

Dante langsung ternganga karena tak habis pikir. "Gila lo ya!" ucap cowok itu pada akhirnya tanpa pikir panjang.

"Kenapa, lo takut?" tanya Lova terdengar menantang.

Dante mendecih, kemudian kembali dan duduk di sebelah gadis itu. "Gue? harusnya lo tanya diri lo sendiri!" balasnya sambil menoyor kepala Lova.

"Yaudah kalo gitu ayo!" ajak Lova yang masih kekeuh.

Menggeleng, Dante menolak mentah-mentah ajakan tersebut. Masih banyak pilihan wahana yang jauh lebih menarik dari rumah hantu itu. Dante kemudian beranjak dari duduknya. Sebelum pergi memesan makanan, cowok itu kembali bersuara. "Gak mau Lova! sakit kuping gue kalo terus-terusan denger lo teriak, bacot lo gede banget."

Lova melotot, gadis itu jadi ikut berdiri. Tak membiarkan Dante yang melarikan diri dengan mudahnya.

°°°

"Pak Josh maaf, notulennya sedikit lagi selesai. Tapi pulpen saya habis."

Joshua mengerjap, ia merogoh ke saku kemejanya untuk meraih sebuah pulpen yang biasa ia bawa disana. "Kamu pakai punya saya dulu."

Dengan agak canggung, sekretaris barunya itu meraih pulpen dari tangannya. Kemudian wanita itu melanjutkan kegiatannya yang sempat terjeda.

"Ada kendala atau mungkin ada yang mau kamu tanyakan, silahkan saja mumpung saya masih ada waktu senggang." Joshua kembali bersuara dengan basa-basi. Hal basic yang biasa ia lakukan agar tak terlalu dikira sombong apalagi dengan pegawai baru. Namun sebenarnya tanpa repot berbasa-basi pun, semua orang pasti tau kalau Joshua Hong itu adalah sosok yang ramah dan hangat.

"Terima kasih, Pak. Kebetulan belum ada. Tapi untuk kedepannya saya bakal banyak tanya kalo ada sesuatu yang tidak saya tau," jawab wanita itu dengan sopan.

"Baik, kalo gitu kamu lanjutkan lagi tugas kamu."

Joshua membiarkan sekretarisnya itu fokus pada pekerjaannya, sementara ia menyibukkan diri dengan ponsel. Hari sudah menjelang siang, Joshua sama sekali belum tau kabar Lova yang kini tengah menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Apa kabar anak gadis itu, apa harinya menyenangkan?

"Ekhem, senyap bener nih ruangan. Kenapa pada diem aja, gak berantem kan?" Dika langsung nyeletuk santai begitu memasuki ruang meeting yang menyisakan dua orang di dalamnya itu.

"Sini, Dik!" Joshua menyambut ramah kedatangan pria itu. Dika pun menghampirinya dengan riang.

"Gimana Pak, si Giri kerjanya bener kan?" tanya Dika meminta testimoni mengenai kinerja orang bawaannya itu.

"So far so good, dia melakukan dengan baik," ujar Joshua.

Giri yang mendengarnya tersipu, diam-diam mengulas senyum. Meski hanya jawaban singkat, ia sangat senang jika Joshua menyukainya-maksudnya menyukai kinerjanya.

Dika tak sengaja menangkap gerak-geriknya. Pria itu jadi mengernyit menatap jijik. "Gausah mesam-mesem lo! kerja yang bener, jangan mencoreng nama baik gue!"

Dengan segera Giri merubah raut wajahnya. Ia tatap Dika dengan wajah judesnya. "Bawel amat sih lo, Dik!"

"Apa lo kata? Dak Dik Dak Dik! inget ini kantor, gue atasan lo," kata Dika memperingati.

Giri auto sewot, wanita itu merotasikan mata ketika Dika mulai kumat dengan jabatannya. "Iya Pak Dika, saya akan kerja dengan sebaik mungkin!" ucapnya dengan setengah hati.

"Pak liat deh, dia ngomongnya kok kayak gak ikhlas gitu ya? Atau mau Pak Josh pecat detik ini aja? biar bisa saya cari gantinya sekarang."

Joshua diam saja, ia hanya melirik sekilas ke arah Giri yang tersenyum tipis tapi seakan sedang menahan sesuatu. Dika juga melakukan hal yang sama, bedanya tatapannya kini meledek penuh ke arah wanita itu. Tebakannya, selanjutnya Giri akan meledak dan mengomel.

"Giri, mending kamu kembali ke ruangan sekarang. Lanjutin notulennya di sana aja. Nanti sebelum makan siang harus sudah selesai ya." Joshua bersuara langsung membuyarkan semuanya.

Giri yang tak jadi mengamuk, juga Dika yang tak jadi diamuk. Kedua orang itu malah kompak menatap Joshua melongo.

Namun Giri sedikit lega, sepertinya Joshua bisa membaca apa yang bakal terjadi. Gak baik juga kalo misalnya tadi ia jadi ngomelin Dika di depan Joshua.

"Baik, Pak. Kalo gitu saya pamit dulu." Giri segera mengemasi barang-barangnya dan keluar ruangan.

"Kenapa lo nyuruh dia pergi?" tanya Dika yang masih penasaran.

Joshua menghela napas, ia hadapkan ponselnya yang tengah menyala itu ke arah Dika. "Papanya Jelena, pasti mau bahas proyek kerja sama bareng temennya itu."

Dika hanya mengangguk, kemudian mempersilahkan Joshua untuk mengangkat teleponnya.

A GiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang