01.

187 11 0
                                    

"Jadi selama seminggu kedepan kita bakal jarang ketemu dong?" celetuk Dante dengan mulut penuh berisi burger.

Selesai acara pengambilan rapor, Lova meminta Dika untuk mengantarnya pergi ke sebuah restoran burger serta mengajak Dante ikut bersamanya.

Dika sendiri tak banyak bicara, lelaki itu hanya menyimak pembicaraan dua bocah di hadapannya.

"Iyalah, kan sekolahnya libur," jawab Lova seadanya.

"Yah, bakal kangen dong gue," kata Dante yang moodnya seketika berubah. Sorot mayanya sendu, tak minat lagi menatap ke arah burger yang baru ia habiskan setengah.

Sedangkan Dika diam diam menatap ngeri Dennise. Dalam hati bergumam, 'Josh, lo harus tau! anak lo udah ada yang ngegalauin!'

Mungkin, jika hal itu benar benar ia sampaikan langsung ke Joshua, pasti lelaki itu akan bereaksi berlebihan.

"Lova, gimana kalo dalam full seminggu ini kita ngabisin waktu bareng?" tawar Dante dengan semangat.

Lova mengernyit. Ia mungkin tidak akan menolak ajakan pergi dengan cowok itu, tapi jika dilalukan dalam seminggu penuh? itu bukan ide bagus.

"Ya gak seminggu full juga kali, Dan!" tolak Lova tak setuju dengan tawaran tersebut.

Dante seketika melebarkan matanya. "Kenapa?" tanyanya dengan intonasi menurun.

"Kan gue masih punya keluarga!" ucap Lova menegaskan.

"Tuh, dengerin!" Akhirnya Dika buka suara dan menimpali. Abisnya dia udah gak tahan denger gimana bucinnya Dante ke Lova. Saking geregetannya, Dika sampe nodong muka Dante pake kentang goreng yang ujungnya sudah terbaluri saus tomat sebagai pelengkap.

Dante reflek memundurkan wajah, bibirnya jadi mengerucut diikuti dahi yang mengerut karena kesal. "Om tuh gak diajak!" celetuk Dante dengan polos sembari menepis todongan kentang dari tangan Dika.

Dika agaknya jadi kemusuhan karena kalimat Dante yang terkesan songong. "Lova, ayo pulang sekarang. Papap udah nungguin!" dustanya berniat membalas Dante.

Namun tak disangka Lova langsung menurut dan berdiri dari tempat duduknya. "Ayo, Om!" ujar gadis itu sudah bersiap.

Dika dibuat melongo akibat ucapannya sendiri, lelaki itu sempat terdiam sesaat tapi setelahnya segera menganggukkan kepala dan berdiri.

"Dan, pulang duluan ya." Lova melambaikan tangan pada Dante yang masih terduduk di kursinya.

Dengan wajah sedih yang makin menjadi, Dante membalas lambaian itu dengan tak semangat. Lalu matanya tak sengaja bertemu dengan mata Dika yang sudah menatapnya sinis.

Dari tatapan itu seolah Dante mendapat sebuah peringatan. 'Awas ya lo bocah, urusan kita belum selesai!'

Serem banget! Dante kapok, gak lagi lagi deh keceplosan ngeledek kayak tadi kalo harus berhadapan sama Dika, dan berujung diancem gak boleh deketin Lova lagi.

°°°

Joshua keluar dari kamar Lova setelah memastikan gadis itu yang sudah nyaman untuk beristirahat karena sudah larut malam. Ia lanjut menuju ke ruang kerjanya untuk bertemu Dika disana.

"Gimana tadi?" tanyanya begitu membuka pintu dan menuju ke meja kerjanya.

"Fine, meskipun ya pasti Lova agak kecewa karena kedatangan gue," jawab Dika seadanya.

Joshua mengulum bibirnya, teringat bagaimana gadis itu datang dengan wajah cemberutnya. Melengos tak menghiraukan sapaannya. Tapi hal itu tak bertahan lama begitu Joshua berusaha keras membujuk dan memohon agar Lova memaafkannya.

"Makasih Dik, lo emang selalu bisa diandelin."

"Sama-sama, Bro!"

Diam untuk beberapa detik karena keduanya lebih fokus pada kegiatan masing-masing. Joshua yang kini berkutat pada laptopnya dan Dika yang sibuk menguyah biskuit yang dihidangkan.

"Josh!" panggil Dika begitu teringat sesuatu.

Joshua meliriknya sambil mengangkat kedua alis. "Kenapa?"

"Kalo ada cowok lain yang lebih sayang sama Lova gimana?" Dika yang tak tahan untuk tak menggoda Joshua akhirnya melontarkan pertanyaan tersebut.

Joshua dibuat membatu, dikenal sebagai sosok yang kalem dan sabar lantas membuat Dika merasa puas saat melihat Joshua terlihat berpikir keras seperti sekarang ini.

Dika meresponnya dengan senyum mengejek.

"Memangnya siapa cowok yang sayang banget ke Lova selain gue?" tanya Joshua mengerutkan kedua alisnya.

"Ya mana gue tau. Lova udah bukan anak kecil lagi, Josh!" jawab Dika santai.

"Dik, lo jangan pernah nyembunyiin sesuatu ya di belakang gue!" Nada bicaranya menegas, menatap tajam Dika dengan perasaan yang tiba-tiba gelisah.

Karena pekerjaannya, kedekatannya dengan anak sendiri jadi renggang. Joshua jadi gelisah jikalau dia memang tak mengetahui hal kecil yang terjadi pada gadis itu.

"Lo kan papanya, harusnya lo lebih tau dong!"

"Tapi belakangan ini gue sering nitipin Lova ke lo, Dik!"

Wajah tampan itu jadi semakin terlihat cemas. Oke, cukup! Dika tidak mau dianggap gila jika memilih lanjut menggoda Joshua karena tawanya bisa pecah sekarang juga.

Dika terkekeh pelan untuk mencairkan suasana yang sempat tegang. "Enggak Josh, aman!"

Joshua langsung menghembuskan napas lega. "Jangan bercanda soal Lova, gue lagi sensitif."

"Utututu, iya Pak maaf. Yaudah deh kalo gitu gue pulang dulu ya. Tolong buat schedule dan atur waktu 'seminggu' ini sebaik mungkin."

"Makasih, Dik!"

Setelah kepergian Dika, Joshua yang teringat langsung mengecek kembali jadwalnya dalam seminggu ke depan. Setidaknya ada waktu tiga hari dimana ia senggang dan akan memanfaatkan waktu itu untuk memperbaiki kedekatannya dengan Lova.

Selesai dengan hal itu, Joshua berniat ingin membereskan ruangannya dan kembali ke kamar. Namun, sebuah panggilan masuk menghentikan kegiatannya.

"Aku masih hafal banget, jam segini kamu pasti belum tidur. Gimana tadi? maaf aku gak bisa dateng."

"Lova udah tidur, gimana kalo kamu telpon lagi besok. Aku capek banget mau tidur."

Tak mau mengulur waktu lagi, setelah membalas demikian, Joshua memutus sepihak panggilan tersebut detik itu juga. Rasa sakit tak lagi terasa di badan, tapi kini malah menjalar ke hati yang lukanya kembali terbuka.


A GiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang