24.

30 2 0
                                    

Hamparan rumput hijau yang sangat luas itu segera menyegarkan mata. Melihat pemandangan sambil menaiki buggy car adalah salah satu pilihan yang tepat untuk menikmatinya.

Sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya, hari ini Joshua benar-benar mengajak seorang Michael Abraham untuk mencoba sensasi bermain golf di sebuah lapangan golf yang letaknya berada di pesisir pantai.

"Pasti ini bagian dari Hong Grup," celetuk Michael yang pastinya tepat sasaran.

Joshua hanya mengangguk membenarkan. "Proyek yang dijalankan dengan keisengan ternyata memiliki banyak peminat."

Michael hanya bisa menggeleng kagum. Yang dilihatnya terlalu sempurna untuk kata 'iseng'. Tapi ia cukup maklum, sudah cukup sering mendengar para usahawan yang memulai karir dengan keisengannya itu dan berujung membuahkan hasil.

Pentingnya untuk bagi para pengusaha pandai melihat peluang. Tempatnya yang strategis juga kawasan sekitar yang terbilang cukup elit. Banyak pengusaha lain yang tentunya bergabung bersama club untuk mengabiskan waktu luang mereka dengan bermain golf.

"Saya sangat berterima kasih untuk ini," kata Michael dengan tulus. Bahkan sudah tak merasa sungkan untuk menepuk pelan bahu Joshua.

"Saya juga berterima kasih. Karena di tengah sibuknya bekerja, anda masih menyempatkan diri untuk datang." Joshua pun balas menepuk bahu Michael.

Dua jam mereka habiskan untuk hobinya itu. Mereka cepat larut dalam suasana hingga mengalir begitu saja dan akrab dengan cepat. Begitulah awal mereka yang terhubung dengan hobi.

Tak terasa buggy car yang mereka tumpangi berhenti, membawa mereka di sebuah restoran yang berada di club house.

"Selain golf, anda juga suka dengan olahraga futsal kan?" Joshua kembali membuka obrolan begitu segelas cold brew coffe dan skinny vanilla tiba di hadapannya.

Michael hanya bisa tertawa. "Sepertinya anda sudah cukup tau banyak tentang saya. Tapi saya gak cukup tau anda meskipun saya sangat tau siapa sosok Joshua Hong."

"Anda cukup terbuka di biografi yang bisa saya dapat dari perusahaan," terang Joshua. Tadinya Joshua sempat menilai alay pada lelaki di hadapannya ini. Semua tentangnya begitu lengkap tertulis disana, sudah mirip biodata orang yang sedang mencari jodoh.

Berbeda jauh dengan Joshua. Yang semestinya saja yang tercantum disana. Bahkan mungkin terkesan singkat. Jika beberapa ada yang menyertakan keluarga, Joshua tak melakukan itu.

Keluarganya cukup disorot, tapi cukup untuk keluarga besarnya saja. Joshua sangat menjaga privasi keluarga kecilnya.

"Ah iya." Michael menyugar rambutnya kebelakang lalu memundurkan tubuh pada punggung kursi. Senyumnya kembali canggung karena tiba-tiba merasa malu dengan apa yang baru saja diungkapkan Joshua. Itu memang fakta. "Tapi saya sudah lama gak main futsal sejak jauh sama anak."

Tatapan yang tiba-tiba menjadi sendu itu membuatnya merapatkan bibir. Joshua jadi ragu dengan topik yang tiba-tiba menjadi sensitif. "Ah iya, omong-omong anak anda umur berapa?" tanyanya sembari terkekeh canggung. Bingung juga kalau tiba-tiba menghentikan obrolan disaat topik yang dibahas mendadak merubah suasana.

Kemudian, sekelebat bayangan tentang Dante menyapa. Michael jadi merindukan pemuda yang kini sudah tak lagi tinggal bersamanya itu. Waktu lima hari yang ia berikan ternyata sangat singkat. Tapi tak bisa menambahnya dan membiarkan Dante ikut bersamanya terlalu lama. "Dia masih remaja, sekitar enam belas tahunan," jawabnya.

Mendengar jawaban itu lantas membuat Joshua membelalakkan mata. "Wah, saya juga punya putri yang seumuran."

Michael jadi kembali menatap antusias, sebelumnya menyedot skinny vanilla untuk lanjut bertanya, "sekolah dimana? bisa jadi anak kita satu sekolah."

A GiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang