06. Restu

2.7K 210 16
                                    

Penerbangan dari Jakarta menuju Palembang membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam. Penerbangan yang cukup singkat sebenarnya untuk Zaigham. Sebab dia sudah sering ke luar negeri dengan duduk di pesawat selama belasan jam.

Namun waktu yang terlalu singkat itu justru membuatnya semakin berdebar. Sebab dia sebentar lagi akan berhadapan dengan orang tua Miyaz.

Meski bukan bertemu orang tua dari wanita yang dicintainya, Zaigham tetap gerogi. Bagaimanapun ini adalah kali pertamanya menikah dan meminta restu.

Semalam Zaigham bahkan sudah membuat contekan kalimat untuk berhadapan dengan orang tua Miyaz, terutama ayahnya.

Katanya meminta restu dari ayah dengan anak sulung perempuan itu lebih sulit. Huft, doakan Zaigham tidak mengompol di celana.

Berbanding terbalik dengan Zaigham yang keringat dingin, Miyaz di sebelah Zaigham justru sibuk mengecat kuku. Seolah menghadap orang tuanya dan meminta restu tidak lebih menegangkan daripada disidak karena ketahuan bolos sekolah.

"Kamu biasanya panggil apa pada orang tua kamu?" tanya Zaigham dan membuat Miyaz mengangkat pandangan dari menatap kuku jarinya yang kini sudah warna-warni seperti anak ayam yang dijual di pasar itu. Lagi-lagi, warna yang Miyaz pilih membuat Zaigham sakit mata.

Terlalu ngejreng untuk seleranya yang monokrom.

"Mama," sahut Miyaz sambil menimpa kukunya kembali dengan warna yang lebih terang.

"Dan...?"

"Ya Mama aja"

"Ayah kamu?"

"Sudah meninggal."

"Maaf," Zaigham baru tahu hal ini tapi dia juga menjadi agak kesal kemudian.
Lalu untuk apa naskah proklamasi meminang Miyaz yang sudah Zaigham siapkan? Untuk apa dia berlatih di depan cermin agar terlihat gagah di depan ayah Miyaz seandainya menyidangnya jika sebenarnya Miyaz adalah anak yatim?

"Saya tidak bermaksud menginggung kamu, tapii kenapa tidak bilang?"

Miyaz mengerutkan alis, "Emang harus banget bilang?"

"Setidaknya kamu harus beritahu saya hal penting seperti ini. Bagaimana jika saya tidak bertanya tadi? Dan berhadapan dengan ibu kamu lalu menanyakan di mana ayah kamu? Tentu beliau akan meragukan niat saya untuk menikahi kamu," kata Zaigham dengan sungguh-sungguh.

Miyaz mengerjab. Dia juga tidak berpikir sejauh itu. Menutup kuteknya dan tidak lagi berminat menimpa warna kuning di atas ungu pada jari tengahnya.

"Setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya kan? Saya juga ingin orang tua kamu yakin bahwa saya adalah orang yang tepat untuk kamu, Miyaz. Lantas jika saya tidak tahu apa-apa tentang kamu, bagaimana beliau bisa yakin?"

Miyaz makin diam dengan kalimat Zaigham yang meluncur bertubi-tubi. Pria itu mendadak cerewet. Dan sialnya kecerewetan Zaigham berakibat tidak baik untuk jantung Miyaz.

Seandainya mereka tidak bertemu dengan cara yang salah dan menikah dengan terpaksa, Miyaz mungkin akan langsung jatuh cinta pada Zaigham.

Karena setiap kalimat yang pria itu ucapkan selalu berhasil menghipnotisnya? Ada apa dengan cara pandang Zaigham? Tidak biskaah dia menatap lawan biacaranya biasa saja tanpa sedalam itu? Karena membuat Miiyaz jadi kaku.

Lalu Miyaz menggeleng. Tidak, tujuannya adalah membuat Zaigham jatuh cinta padanya. Bukan sebaliknya.

'Jangan merusak rencana yang belum kamu mulai Miyaz, jika tak ingin sakit sendiri.' Peringat Miyaz untuk dirinya sendiri.

"Lain kali tolong beritahu saya hal penting semacam ini, bahkan jika saya tidak bertanya," ujar Zaigham menyorot Miyaz dengan dalam.

Miyaz memberanikan diri untuk menatap balik, "Gimana kalau yang penting menurut gue, tapi ternyata nggak penting buat lo?"

Marriage ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang