Masih di hotel tempat resepsi Naima, Nindia ikut menikmati sarapan bersama pengantin baru. Namun, di meja makan bundar itu baru ada Reza dan Nando. Sementara Naima masih di kamar. Ketiganya makan sambil sesekali bercerita perihal resepsi semalam dan Nindia ikut menimpali.
"Aura pengantin baru memang beda, ya," ejek Nando saat Naima datang. Adik bungsunya itu langsung duduk di samping Reza setelah memberikan kecupan pada pipi suaminya.
Nando yang melihat itu melotot, Naima semakin agresif setelah menikah. Gadis yang sering dijahilinya di rumah itu kini telah resmi menjadi milik orang lain. Ah, mengingat itu Nando merasa sedikit sedih.
"Makanya cepat nikah biar kayak kita," sahut Naima tak mau kalah.
Nando yang awalnya mewek, berubah kesal. Pria itu menghabiskan makanannya segera, lalu berpamitan pergi duluan karena ada urusan. Sementara Nindia memerhatikan Naima yang pagi ini tampak lebih segar dengan terusan putih tanpa lengan. Rambut adiknya itu terlihat masih basah, menandakan jika semalam ritual malam pertama telah dilakukan keduanya. Dia ingin menggoda sang adik, tetapi menurutnya sangat tak sopan apalagi jika berkaitan dengan hal privasi hubungan suami istri.
Nindia masih setia menemani sepasang pengantin baru itu, walaupun dia bisa dikatakan nyamuk apalagi melihat kemesraan Naima dan Reza. Sikap manis dan perhatian Reza patut diapresiasi oleh Nindia, sepertinya sang adik menikah dengan orang yang tepat.
"Tamu undangan semalam kebanyakan dari rekan kerja Reza, ya?" tanya Nindia tiba-tiba.
Reza menggeleng. "Seimbang, sih, Mbak. Hanya memang dari rekan kerjaku banyak yang enggak datang juga karena kesibukan."
Nindia meneguk air putih hingga tandas. "Oh gitu, rekan kerja kamu dari Jakarta semua, ya?" Nindia berusaha bertanya santai, demi menutupi keinginan dirinya untuk tahu perihal Intan semalam.
"Enggak juga, Mbak, ada beberapa temanku yang datang dari luar daerah seperti Kediri, Medan, hingga Jogja. Itu semua teman-teman kuliah," jelas Reza.
Naima memerhatikan wajah Nindia yang baru saja bertanya. Sejak kapan kakaknya itu menjadi penasaran seperti ini?
"Kamu lulusan Jogja?"
"Mbak lupa, ya, kalau Mas Reza dari UI juga?"
Nindia meringis, saat Naima yang mengambil alih jawaban. Suara adiknya itu sedikit ketus, dan tatapannya seolah mengintimidasi.
"Enggak biasanya Mbak kepoan."
Reza segera menggenggam tangan Naima, mengingatkan istrinya untuk lebih sopan walaupun dia tahu Nindia tidak akan marah.
"Mbak nanya doang," jawab Nindia akhirnya.
"Emangnya ada apa, sih? Kok kayak ada yang disembunyikan?"
Nindia menyudahi makanannya, lalu menggeleng. "Mbak mau pulang duluan ke rumah, sama Papa dan Mama."
"Iya, Mbak. Hati-hati, ya!" pesan Reza.
*****
Gadia yang memakai kacamata baca itu tampak memasuki sebuah rumah mewah berlantai dua, yang bergaya klasik seperti kerajaan. Langkahnya tampak lunglai, dengan ransel hitam yang menggantung di punggung.
Suara gelak tawa berasal dari ruang keluarga, dia bisa menebak siapa-siapa yang berada di sana. Langkahnya terhenti, di balik pilar matanya menangkap sosok paling tua di rumah ini Hadi Kusuma dan istrinya Nia Nugraha. Lalu di deretan sofa bagian kanan ada kakak sulungnya yang berprofesi sebagai dosen Araka Wanputra, lalu ada kakak keduanya Erlangga Dwiputra seorang pebisnis dan pria yang memiliki wajah serupa dengannya Igrand Triputra, seorang tentara angkatan darat.
"Intan, kamu sudah pulang?" Nia, wanita yang bersanggul itu baru menyadari keberadaan putri bungsunya.
Intan tersenyum tipis, melangkah lebih dekat dan menyakini kedua orangtuanya. Lalu hal yang sama dilakukan ke ketiga kakaknya.
Gadis yang sedang mengambil spesialis itu duduk di antara Hadi dan Nia berhadapan langsung dengan tiga kakaknya yang penuh kharisma dan tampan. Keturunan keluarga Hadi memang menghasilkan bibit-bibit unggul.
"Gimana acaranya di Jakarta? Ramai?" tanya Hadi penasaran. Kemarin dulu,Intan meminta izin untuk ke Jakarta dan menghadiri pesta pernikahan temannya.
"Sangat ramai."
"Terus kenapa pulangnya tampak tak bersemangat?" Igrand bertanya pada kembaran lima menitnya itu.
"Lelah."
"Singkat sekali jawabanmu, Dek. Lagi ada masalah?" Yang sulung mengajukan tanya.
Intan menggeleng. "No. Aku mau ke kamar, tetapi bolehkah minta waktunya Kak Erland sebentar?"
Erland sang pebisnis muda itu mengangguk, menyusul adiknya ke kamar. Keduanya berdiri di balkon, menikmati keindahan pedesaan yang tampak memukau.
"Kapan balik dari Singapura?" tanya Intan memecah keheningan. Kakak keduanya itu selama dua tahun terakhir memang menetap di Singapura karena satu dan dua alasan.
"Kemarin sore."
"Sendirian?" tanya Intan lagi.
"Hm."
"Kirain sama dia."
Erland hanya diam, tak mau menanggapi. Keduanya sama-sama menikmati keheningan tidak seperti Erland dan Intan biasanya. Pria yang baru menginjak usia dua puluh delapan tahun itu bisa melihat perbedaan dari adik bungsunya. Intan yang dulu sangat manja dan cengeng kepadanya tampak berubah. Bungsu dari keluarga Hadi itu seperti menjaga jarak darinya.
"Gimana spesialis kamu?"
"Lancar, aman, dan terkendali walaupun kadang melelahkan." Intan bersandar di pembatas balkon, sementara Erland di depannya dengan jarak yang lumayan tercipta.
"Syukurlah. Kamu sudah punya kekasih?"
"Aku ... sedang tidak berminat."
Erland tertawa pelan. "Jawaban model apa itu?"
Intan tidak ikut tertawa, pikiran gadis cantik sepertinya sedang tidak baik-baik saja semenjak pulang dari Jakarta.
"Ka Erland enggak mau tahu, aku ke nikahannya siapa di Jakarta?"
Pria dengan kemeja serba hitam itu langsung terdiam, kemudian menggeleng membuat Intan menarik sudut bibir membentuk lengkungan tipis hampir tak terlihat.
"Aku ke nikahannya Reza."
"Reza teman kuliah kamu dulu, 'kan?" tebak Erland.
"Iya, yang di Jakarta itu."
"Oh iya, dia nikahnya sama siapa?"
Intan mendongak, menghunus tatapan ke mata sang kakak. "Naima."
Erland bergeming, nama itu tidak asing di telinga termasuk dalam hidupnya. Dalam pikirannya hanya ada nama Naima yang dikenal dan itu ....
"Naima adalah istrinya Reza, mereka baru menikah kemarin."
Erland hanya mengangguk kaku, tidak bisa menanggapi apa pun lagi.
"Kakak ke kamar dulu," ucap Erland seraya berbalik.
"Aku juga bertemu Mbak Nindia." Spontan langkah lebar yang berusaha menghindar, malah berhenti mendadak. Tubuhnya kaku seolah tak bisa digerakkan hanya karena mendengar hal itu.
"Mbak Nindia lebih dewasa sekarang, semakin cantik dan menawan." Mata Indan berembun, kala mengingat kembali kejadian semalam. Bagaimana sikap dingin wanita itu, terasa asing untuknya yang dulu sangat dekat dengan Nindia.
"Hanya Mbak Nindia lebih berbeda, tidak seperti saat dua tahun lalu. Mbak Nindia yang sekarang nyaris tak kukenali sikapnya," tambah Intan pilu. Dia masih ingin bercerita mengenai wanita yang ditemuinya semalam kepada sosok Erlangga Dwiputra. Bibirnya ingin mengisahkan bagaimana sikap Nindia seolah keduanya adalah orang asing, agar Erland tahu jika wanita yang pernah dinikahinya itu atau entahlah telah menjadi mantan sudah sangat berubah karena ulah dari Erland sendiri.
📍Gimana sama part ini? Tuliskan komen kalian di kolom komentar!
KAMU SEDANG MEMBACA
Muara Rindu
Literatura KobiecaStory 8 Jatuh cinta, menjalin kasih hingga menikah sebuah perjalanan panjang yang berakhir indah. Terlebih menikah dengan sosok pria yang merupakan cinta pertama dan sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Lalu bagaimana jadinya jika hubungan pen...