Selamat Membaca
Sibuk itu yang tengah dirasakan Nindia sekarang. Ada beberapa tawaran endorse masuk dari beberapa produk makanan dan pakaian yang memintanya untuk menjadi endorsement, padahal selama ini dia sama sekali tak berurusan dengan hal seperti itu. Nindia memang pernah menjadi BA, tetapi itu pun untuk membantu saudara Meta yang memintanya.
Fokus wanita itu hanya satu yakni klinik kecantikannya, bukan hal lain. Namun, untuk dua hari belakangan ini munculnya tawaran endorse membuat Nindia sedikit pusing. Dia tidak tahu darimana pemilik produk itu tahu nomor pribadinya, bahkan ada yang langsung datang ke klinik pusatnya untuk bertemu langsung. Nindia tidak punya manager, semua dia lakoni sendiri. Padahal Meta berulang kali mengingatkan agar wanita bertubuh bak model itu segera mencari orang agar dijadikan managernya.
Seperti siang ini, Nindia harus pasrah saat waktu sibuknya terganggunya dengan kedatangan salah seorang dari pihak yang ingin menggunakan jasanya. Bertempat di klinik pusat, Nindia langsung menemui tamunya di ruang kerja. Wanita itu mendapat telepon dari salah satu bawahan, mengatakan jika ada tamu yang ingin bertemu.
Saat membuka pintu, dia bisa melihat seorang wanita yang tubuhnya lumayan tinggi duduk di sofa di ruangan itu. Keduanya saling berpandangan sesaat, sebelum Nindia melangkah mendekat.
"Maaf saya terlambat. Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan." Nindia meletakkan tas di meja, sebelum ikut duduk di sofa yang langsung berhadapan langsung dengan sang tamu.
"Anas." Tamu di depannya mengulurkan tangan salam perkenalan.
"Nindia." Wanita itu membalas. "Silahkan duduk."
Nindia mengamati wajah wanita blasteran yang memiliki paras cantik di depannya. Surai hitam sepunggung dibuat bergelombang pada bagian ujung. Berpenampilan sederhana, tetapi tampak elegan dan menawan.
"Saya pemilik produk the woman yang beberapa kali menghubungi anda." Anas tersenyum tipis.
"Iya saya tahu. Jadi, apa pertemuan ini untuk membicarakan soal endorse?"
"Itu benar sekali. Produk pakaian kami ini baru berjalan setahun belakangan. Memang belum seterkenal produk lain, mungkin cara promosi kami kurang maksimal." Anas menjelaskan, sembari mengeluarkan beberapa katalog dari tas Hermes miliknya.
"Kalian bisa memanfaatkan jasa para selebritis, selebgram dan influencer jika ingin produk kalian lebih dikenal dan laku di pasaran," ungkap Nindia. Dia membolak-balik lembaran katalog itu, dan bisa melihat jika produk beruba pakaian khusus wanita yang dihasilkan tidaklah buruk. Masih mengikuti trend yang saat ini tengah digandrungi kaum hawa.
"Kami perusahaan baru, untuk menggunakan jasa mereka dibutuhkan modal yang lebih."
"Jadi, pilihan kalian jatuh ke saya?" Bukannya sombong, Nindia hanya merasa sedikit aneh. Pertanyaannya kenapa harus dia?
Anas mengangguk. "Saya lebih menyukai anda yang melakukan endorse ini untuk usaha kami."
"Saya bahkan sama sekali tidak mengenal anda sebelumnya."
Sang tamu tertawa. "Saya mengetahui anda dari bawahan saya. Katanya kamu pernah menjadi BA salah satu produk kecantikan, bukan?"
"Itu pertama dan terakhir kalinya. Saya hanya ingin fokus mengurus klinik ini."
"Untuk itu ... saya ingin meminta anda melakukan endorse untuk bisnis kami ini."
Nindia tidak tahu kenapa wanita ini begitu memaksanya. Dari cara bicaranya terselip paksaan agar Nindia menerima tawarannya itu.
"Kalau saya minta harga mahal melebihi para artis?" Pertanyaan pancingan yang Nindia harapkan agar wanita itu bisa berhenti memintanya.
Anas menggeleng. "Saya tahu anda wanita baik, tak akan menolak orang yang meminta bantuan darimu."
"Anda tidak bisa menjudge saya baik, padahal kita baru bertemu. Bisa saja di balik sikap saya sekarang, ada sikap buruk lainnya yang tertutup rapat."
"Jadi, anda minta berapa untuk penggunaan jasanya?"
Nindia menggeleng. "Saya bahkan belum memberikan jawaban, tetapi anda langsung berbicara harga."
"Sebagai sesama manusia, bukankah kita harus saling membantu? Ini bisa menjadi pertama kalinya anda melakukan endorse."
"Baiklah, saya menerima tawaran anda."
Keduanya saling berpandangan, sebelum Anas menyerahkan kartu namanya.
"Saya akan menghubungi anda nanti untuk kelanjutan kerjasama kita ini. Sekarang saya harus pulang, suami dan anak sudah merindukan kepulangan saya."
Nindia menatap kepergian wanita itu penuh tanya. Suami dan anak? Ternyata wanita yang tampak muda itu sudah menikah dan memiliki anak. Namun, bukan itu yang dia pikirkan saat ini, melainkan sikap Anas yang tampak begitu memaksanya.
"Aneh," gumam Nindia.
*****
Perintah untuk menolak beberapa tawaran endorse nyatanya itu lebih baik. Nindia hanya menerima endorse dari wanita bernama Anas, selain itu dia tidak mau lagi berurusan dengan yang lainnya. Bukannya menolak rejeki atau apa, wanita itu hanya ingin bekerja sebisanya saja dan tak mau terlalu memforsir diri. Bergaya di Instagram hanya untuk mempromosikan pakaian, tidak membuat Nindia tertarik.Saat ini sesuai pulang kerja, rasa lelahnya ingin ditebus dengan menikmati kopi hitam langganannya. Sebuah coffe shop di sudut jalan dekat sekolahnya dulu, menjadi pilihan. Tempat itu sangat menenangkan jika didatangi, terlebih memiliki desain bertemakan alam di mana penataan tanaman tampak rapi dan bisa dijadikan background foto.
Segelas kopi hitam pahit tersuguh di depannya. Meja bundar dekat jendela menyuguhkan taman bunga, membuat Nindia beberapa kali mengabadikan momen di tempat itu. Tidaklah buruk keputusannya berada di sini jika hati serta pikirannya sedang kacau. Aroma kopi asli bersatu dengan nuansa ruangannya memberikan kedamaian luar biasa.
Terlalu asyik menikmati kesendirian, Nindia tidak sadar jika kursi pada meja di belakangnya diduduki seseorang. Suara decitan kursi pun tak mampu memengaruhi Nindia dan dunianya, ditambah sudah ada laptop yang membuat fokusnya pun terarah ke benda itu sekadar menghitung masukkan dari kliniknya.
"Tolong secangkir kopi dengan sedikit gula!"
Baru ketika suara itu menggema, ada sesuatu hal yang memicu Nindia untuk menoleh sekilas. Dari belakang, kemeja hitam tampak membalut tubuh tegap dari sosok di belakangnya itu. Bertahan satu menit, dia segera kembali menekuri pekerjaan. Mungkin telinganya salah dengar, atau lebih tepatnya sebuah kebetulan jika ada orang yang memiliki suara seperti dalam pikiran Nindia.
Namun, tidak bertahan lama suara itu kembali terdengar, sesudah sebuah dering ponsel mengalun di ruang itu.
"Aku masih di kantor sekarang," ujar suara itu.
Nindia masih setia memasang telinga, pria itu berbicara kebohongan lewat telepon entah pada siapa.
"Baiklah, aku akan segera ke sana. Katakan pada Gianni, aku akan mengunjungi kalian."
Selanjutnya, Nindia bisa mendengar helaan napas berat dari pria di belakangnya itu sebelum beranjak pergi dengan langkah lebarnya. Wajahnya tak bisa dilihat lantaran pintu masuk coffe shop tersebut, berada di belakang Nindia. Hanya saja aroma woody yang sempat tercium olehnya itu tidaklah asing. Pria asing tadi sepertinya pengguna parfum kayu yang terasa menenangkan itu, sama seperti seseorang dari masa lalu Nindia.
Menggeleng, senyum sinis terpatri dari wajahnya. Otaknya terlalu bodoh jika selalu membayangkan hal yang seharusnya ditutup rapat.
"Brengsek!" umpatnya kesal.
📍 Bagaimana komentar kalian???
KAMU SEDANG MEMBACA
Muara Rindu
ChickLitStory 8 Jatuh cinta, menjalin kasih hingga menikah sebuah perjalanan panjang yang berakhir indah. Terlebih menikah dengan sosok pria yang merupakan cinta pertama dan sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Lalu bagaimana jadinya jika hubungan pen...