9 Papa?

5.7K 530 21
                                    

Tidak ada kesempatan bagi Erland untuk kabur atau bersembunyi lagi kala pintu dibuka. Keterkejutan Nando membuat Erland hanya bisa berdiri mematung di samping brankar. Nando menutup pintu, berjalan dengan wajah datar mendekati Erland, lebih tepatnya menuju ke arah brankar di sebelah kanan.

Fotografer itu mengusap wajah Nindia lembut, takut membangunkan kakak tersayangnya. Setelah itu, dia mendongak menatap sosok menjulang tinggi yang masih setia di ruangan.

"Terima kasih."

Erland segera menatap Nando yang baru saja mengucapakan dua kata itu. Dia kira akan mendapatkan sebuah pukulan atau cacian dari adik Nindia itu, melainkan ucapan terima kasih yang membuatnya terdiam sesaat.

"Terlepas dari perbuatan Kak Erland yang menyakiti Mbak Nindia, aku masih harus berterima kasih karena telah menyelamatkannya." Nando melirik Nindia, lalu kembali fokus pada Erland. Dia masih menghormati pria itu dengan menyematkan panggilan kak seperti biasanya.

"Jika sudah tidak ada kepentingan di sini, silahkan keluar!"

Erland meneguk saliva susah payah. Dia kenal Nando sebagai pria baik dan sopan. Keduanya dekat membahas hal-hal berkaitan dengan fotografi lantaran Erland juga memiliki hobi seperti itu.

"Biarkan aku menemaninya." Akhirnya Erland bersuara.

"Menemani?" Nando terkekeh sinis. "Kenapa baru sekarang? Kemana saja selama dua tahun ini? Lagi pula Kak Erland itu hanya mantan suami, tidak lebih."

"Aku masih suaminya!" Suara Erland meninggi, tidak terima jika dirinya dan Nindia sudah bukan sepasang suami istri lagi.

"Kakak lupa dengan surat gugatan cerai dari pengadilan, dua hari setelah pernikahan kalian, hah?" Nando bersedekap, tidak takut sama sekali dengan Erland.

"Gugatan cerai?" ulang Erland bingung. "Sejak kapan dia menceraikan istrinya?"

"Jangan bertingkah seolah tidak tahu apa-apa! Sebaiknya keluar dari sini, atau Akau akan mengusir paksa!"

Erland melirik sekilas Nindia, dia tidak mau keluar sebenarnya dari tempat ini. Hanya saja daripada menimbulkan keributan dan mengganggu ketenangan istrinya, dia beranjak keluar tak bersemangat. Namun, pikiran pria itu masih mengarah pada surat gugatan cerai yang dimaksud Nando. Entah itu kapan? Setahunya, Erland pergi meninggalkan Nindia sama sekali tanpa menggugat cerai istrinya itu. Bagaimana mau bercerai jika sepenuh hati dari dulu hingga sekarang masih tersemat nama wanitanya Nindia Kharisma Putri.

Langkahnya lunglai menyusuri koridor rumah sakit, hingga matanya menangkap keberadaan Agung di di bangku depan sebuah ruang VIP. Dia bertanya-tanya siapa yang dirawat di ruangan itu? Kenapa Agung tidak berada di ruangan Nindia?

Ingin sekali Erland menghampiri Agung, tetapi bayangan dan perintah mertuanya waktu itu hadir tiba-tiba saja, mengurungkan niatnya untuk mendekat.

Erland tidak tahu lagi harus bagaimana sekarang, dan memulainya darimana. Berhadapan dengan Agung di hari terakhir keduanya bertemu, membuatnya sempat mengalami luka di bagian sudut bibir tanpa diberikan kesempatan untuk bicara.

"Masih saja rumit," lirih Erland lelah.

*****

Selepas kepergian Erland, Nando menghela napas lelah. Dia menggantikan posisi Erland untuk menjaga kakaknya itu. Sementara, Agung yang akan menemani Santi di ruangan lainnya.

Dia sama sekali tak menyangka jika Erland akan kembali. Dua tahun pria itu menghilang, lalu dua hari kemudian surat cerai datang dari pengadilan adalah masa paling buruk omtang dialami kakaknya. Bagaimana tidak jika pernikahan yang diimpikan Nindia harus kandas saat ditinggal suami pada saat malam pertama tanpa jejak. Kemudian dua hari setelahnya dihebohkan dengan surat gugatan cerai dari pihak Erland. Sungguh, Nando menjadi saksi di mana Nindia sungguh hancurnya dan menjadi titik terkelam kakaknya itu.

"Na-nando?"

Lamunan pria itu buyar, kala jemarinya disentuh Nindia. Rupanya sang kakak sudah sadarkan diri.

"Mbak sudah sadar? Apa ada yang sakit? Mbak mau apa?" Nando bernapas lega melihat gelengan kecil sebagai respons kakaknya.

"Kok mbak di sini?"

"Mbak kecelakaan dan di bawa ke rumah sakit." Tentunya Nando tak akan mau mengatakan perihal keberadaan Erland.

Nindia hanya mengangguk. "Apa Papa sama Mama tahu?"

"Papa lagi temani Mama di ruang lainnya, Mbak. Mama drop saat dengar Mbak kecelakaan."

Nindia mulai cemas, tetapi Nando mengatakan jika Santi baik-baik saja. Mungkin wanita tua itu akan segera mengunjungi Nindia.

"Naima akan pulang secepatnya."

"Bukannya dia masih bulan madu?" tanya Nindia bingung.

"Aku hanya ngabarin dia sama suaminya, tetapi menurut Reza, Naima terus menangis minta pulang. Masih kekanakan sekali," cibir Nando.

"Semuanya salah mbak."

"Jangan nyalahin diri sendiri, tidak ada yang tahu kapan musibah akan datang. Santai aja, Mbak."

"Mbak mau makan apa? Aku tahu Mbak pasti enggak suka makanan rumah sakit, jadi mau dibelikan apa?"

"Mbak mau soto ayam depan butik langganan Mama, ya," pesan Nindia yang langsung diangguki Nando.

Selepas kepergian Nando, Nindia meneteskan air mata. Dalam tidurnya tadi, entah kenapa dia merasakan keberadaan sosok pria di masa lalunya. Suara pria itu tampak mengalun indah di telinganya. Bahkan dalam tidur saja, Nindia masih memikirkan pria penggores luka itu di hatinya. Entah sampai kapan, Nindia harus pura-pura kuat seperti ini. Lelah sekali rasanya, dan dia ingin sekali berteriak mengatakan untuk mundur dari kepura-puraannnya ini.

*****

Erland masih ingin untuk menemani Nindia walaupun hanya dari jauh saja, tetapi telepon dari seseorang membuatnya harus menuju ke sebuah rumah minimalis bercat kuning di daerah sekitar rumah sakit.

Ketika turun dari mobil, seorang bocah tujuh tahun tampak berlari keluar dan langsung memeluknya. Erland tersenyum, langsung menggendong gadis kecil itu dan memeluknya. Keduanya menuju rumah disambut wanita yang muncul dari dapur memakai apron.

"Kamu sudah datang?"

Erland hanya mengangguk, sembari mendudukkan dirinya di sofa. Di depannya ada TV yang tengah menyiarkan film kartun spons kuning kesukaan gadis kecil itu.

"Nanti kamu makan malam di sini, ya. Aku udah masakin cumi saus tiram kesukaan kamu." Wanita itu kembali bersuara, tampak sekali bersemangat.

"Aku makan di apartemen saja," tolak Erland. Dia sibuk mengamati wajah gadis kecil yang tengah sibuk bermain sambil menonton.

Wajah wanita itu murung, lalu melangkah ke dapur untuk melanjutkan masak. Setelahnya, dia menata hasil masakan, sebelum bergabung bersama dua orang di ruang tengah. Langkahnya terhenti, senyumnya mengembang saat melihat Erland dan Gianni yang sedang bermain. Pemandangan yang sangat menyentuh menurutnya.

"Mama! Ayo, gabung!" teriak Gianni.

Wanita itu mengangguk, melangkah dan bergabung bersama keduanya. Erland yang melihat itu segera memberikan jarak, dia hanya tak ingin kejadian di masa lalu terulang.

"Habis ini aku harus pulang." Erland beranjak, tidak bisa berlama-lama dia di rumah itu. Ada pesan masuk dari Intan yang saat ini sudah tiba di Jakarta dan telah berada di rumah lama.

"Kenapa pulang?" tanya wanita itu.

"Aku ada urusan, harap kalian mengerti."

"Papa mau pulang?" tanya Gianni dengan wajah muram.

📍Ayo, gimana? Udah bisa menebak kan gimana ceritanya?

Muara RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang