27 Kabar

3.1K 262 4
                                    


Selamat Membaca

Silahkan vote dan berkomentar

Hari kedua di Jogja, pagi hari menemani Nia berbelanja di pasar untuk makan siang dan malam nanti. Nindia tampak bersemangat, menemani sang mertua yang memang memiliki hobi dalam dunia memasak. Istri dari Erland itu juga sempat membelikan beberapa jajan pasar berupa kipo dan legomoro kesukaan sang suami.

"Ma, aku panggil Mas Erland dulu." Nindia meletakkan belanjaan di dapur, kemudian keluar untuk mencari sang suami. Langkahnya menuju teras belakang dekat kolam, di sana Erland tanpa berbincang dengan Hadi. Hendak mendekat, pembicaraan suaminya malah membuat langkahnya berhenti.

"Darimana kamu tahu?" tanya Hadi.

Posisi keduanya membelakangi Nindia, sehingga tak ada yang sadar jika wanita itu sedang menguping.

"Mamanya yang menghubungi, tetapi aku tidak membalasnya. Aku langsung menghubungi Adit, agar tak ada masalah baru, Pa," ucap Erland resah.

"Terus gimana keadaannya sekarang? Dia juga cucu papa, jadi khawatir itu hal wajar."

"Cucu?" batin Nindia yang pikirannya langsung mengarah pada anak Erland dan wanita itu.

"DBD, Pa. Trombositnya rendah, dan enggak mau makan."

Nindia tidak tahu bagaimana ekspresi Erland, tetapi dari suara sang suami terdengar seperti frustrasi dan kebingungan.

"Aku enggak mau kehilangan Nindia lagi, jadi usahaku yang sekarang adalah menuruti keinginannya."

"Nindia hanya tak bisa menerima Gianni, bukan melarang kamu, Erland? Harusnya kamu paham ucapannya!" tegur Hadi.

Erland diam. "Aku cemas dengan keadaan Gianni sekarang, Pa. Kata Adit dia beberapa kali mengigau memanggil namaku."

"Izin ke Nindia agar kamu ke Jakarta. Papa tidak tega melihat fotonya yang terbaring lemah seperti itu."

Erland tidak menjawab, sibuk berkutat dengan pikirannya. Semalam dia sama sekali tak tidur, memikirkan bagaimana buah hatinya yang sedang sakit dan dirawat. Nindia dan Gianni itu satu paket miliknya. Sosok perempuan beda generasi yang dicintainya, memilih salah satu di antara keduanya sama dengan membunuh Erland secara perlahan.

Nindia diam, sepertinya suaminya salah paham. Apa yang dikatakan Hadi itu ada benarnya, dia sama sekali tak melarang Erland menemui anaknya itu. Wanita itu memutuskan kembali ke dapur, dia akan cari waktu untuk bicara empat mata dengan suaminya.

*****

"Mas aku mau bicara." Nindia ke kamar menemukan Erland yang baru habis menelepon. Suaminya itu mengangguk, keduanya duduk berdampingan di sofa.

"Kamu enggak ke Jakarta dulu?" tanya Nindia.

"Ngapain? Bukannya kita masih ada waktu dua hari di sini?"

"Anak kamu sakit, Mas. Sebaiknya kamu ke Jakarta sekarang."

Erland terkejut, sekaligus bingung kenapa istrinya itu tahu. "A-aku ...."

"Mas, aku enggak pernah melarang kamu bertemu anak itu. Sama sekali enggak pernah, Mas! Aku yang belum bisa menerima, bukan berarti kamu melepas tangan dari tanggung jawab sebagai ayah untuknya," tukas Nindia sambil merapikan rambut Erland.

"Mas hanya takut hubungan kita kembali renggang," terang Erland lesu.

"Aku percaya kamu, Mas. Enggak usah takut karena hubungan kita akan baik-baik saja," ucap Nindia menenangkan.

Muara RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang