45 Sebelumnya

5.5K 292 4
                                    


Halo guys, aku baru hadir kembali untuk mengupload part selanjutnya. Siap-siap, ya, bentaran lagi Nindia sama Erland bakalan pamit karena memang sudah saatnya kisah mereka selesai. Yuk, dibaca! Komen sepuasnya!



Meta memeluk lututnya, merenung dalam kesendirian di ruangan beruji besi. Tidak ada yang wanita itu pikirkan selain kegelisahan yang mendadak mendera dirinya. Meta tidak tahu kenapa dengan dirinya, suasana hati pun sedang tidak baik-baik saja. Begitu juga dengan kesehatannya belakangan ini. Dia sering kali mual, napsu makannya hilang bahkan wajahnya sekarang sudah tak terurus ditambah pucat pasi layaknya pasien.

Seperti siang tadi, makanan yang diantar tidak bisa masuk ke mulut. Semuanya dimuntahkan kembali, sementara perutnya terasa sakit.

"Saudara Meta ada yang ingin bertemu." Pihak penjaga rutan, datang menghampiri. Dia membuka pintu, membiarkan Meta keluar dengan wajah bingung. Menurutnya selama ini tidak ada yang datang mengunjungi kecuali yang terakhir ada Erland dan Nindia. Sementara pria-pria yang sering bermain dengannya, hilang entah ke mana.

Namun, kini ada yang mencari dan ingin bertemu dengannya. Sosok Rafa duduk santai menyambut dirinya sembari tersenyum tipis. Meta menatap datar, terlalu malas meladeni sosok yang menurutnya brengsek itu.

"Apa kabar?" Rafa bertanya saat Meta sudah duduk di depannya berbatas meja.

"Aku rasa matamu belum buta untuk melihat keadaanku sekarang! Puas kamu?!" balas Meta sarkas.

Rafa tersenyum kecil, dia mengamati Meta yang tampak kurus dan pucat. Kondisi wanita itu sangat berbeda terlihat seperti mengenaskan.

"Aku hanya ingin membawakan kabar untukmu."

Meta hanya membuang muka, tidak penting kabar atau apa pun yang dibawa mantan kekasihnya itu. Namun, hal yang menurutnya tidak penting itu malah kini membuatnya terkejut setengah mati. Bagaimana tidak, kalau mengetahui jika Agung sudah meninggal.

"Om Agung sudah dimakamkan, dia punya riwayat penyakit berbahaya juga." Rafa tetap menjelaskan, masih fokus pada raut wajah Meta yang terlihat berubah sendu. Bisakah dia menyimpulkan jika wanita itu memang mencintai Agung, bukan hanya sekadar dendam?

"Meta," panggil Rafa pelan. Kini mata wanita itu berkaca-kaca, ada raut kesedihan yang tertangkap di sana. Rafa sampai tidak tega melihatnya, dia iba dengan kondisi wanita itu.

"Kenapa aku tidak tahu hal ini? Apa salah jika saat pemakaman aku turut hadir?" Meta sesenggukan. Tidak ada yang tahu jika di balik dendamnya, dia tulus mencintai Agung. Untuk itu Meta ingin sekali mengandung anak dari ayah sahabatnya itu. Dia ingin anaknya kelak akan mendapatkan belas kasih sayang dari seorang ayah.

Rafa menggeleng. "Kalaupun kamu datang, aku yakin kamu tidak akan diterima baik oleh Nando atau Naima. Mereka sangat membenci kamu, dengan semua yang telah terjadi. Ditambah Naima pun keguguran saat tahu Om Agung meninggal."

Rasanya Meta tidak mau hidup lagi jika salah satu harapannya pun sudah tak bernapas di dunia. Keyakinannya saat ini ketika dirinya bebas, dia masih punya kesempatan untuk bersama Agung walaupun banyak halangan nantinya. Meta hanya mau Agung, tidak yang lain. Pria itu mengerti dirinya, dan pastinya mencintainya juga.

"Di sini aku tidak mau memaksa kamu untuk mengakui kesalahanmu selama ini, cukup kamu sadar punya rasa bersalah dan juga niat memperbaiki maka semuanya akan baik-baik saja." Rafa beranjak masih memperhatikan Meta yang menunduk. "Minta maaf pada keluarga Nindia, mereka pasti akan memaafkan perbuatanmu."

Langkah Rafa perlahan menjauh, Meta kian terisak. Rasanya tidak mudah mendapat maaf dari keluarga Nindia. Meta akui kesalahannya sungguh besar dan kelewatan. Dia tak layak disebut wanita, melainkan iblis jahat yang tengah berperan menghancurkan kehidupan baik seorang putri. Ambisi dan kecemburuan memang tidak selalu berakhir baik, semua kini membuatnya hancur tak bersisa.

Meta kembali ke sel, tetapi wanita itu berbelok menuju toilet diantar seorang polisi. Wanita itu tidak bisa berpikir jernih saat tahu semuanya yang telah terjadi tidak akan kembali seperti semula. Entah apa yang membuatnya berpikir untuk menenggak cairan pembersih lantai yang berada di sudut ruang toilet hingga membuatnya jatuh tak sadarkan diri dengan mulut penuh busa.

Bagi Meta tidak ada kesempatan untuknya hidup karena dia yakin tak ada yang mau memaafkan dirinya. Wanita itu memilih menyusul Agung, menemani pria tua ke surga tanpa sadar jika bukan hanya nyawanya saja yang terenggut, melainkan janin tak berdosa hasil perbuatannya dengan Agung.

*****

Nindia menutup mulutnya, penjelasan pihak kepolisian dan rumah sakit membuat wanita itu masih tak menyangka dengan jalan yang dipilih mantan sahabatnya. Ada adik tirinya yang berada di perut wanita itu, yang sama sekali tidak berdosa dan bersalah. Ingin menyalahkan Meta, tetapi dia yakin mantan sahabatnya itu tidak tahu kalau tengah mengandung.

"Kita yang akan mengurus pemakamannya." Erland bersama Reza datang menghampiri. Kini semuanya berada di rumah sakit, saat tahu jenazah Meta baru diotopsi.

"Aku enggak percaya Meta dapat melakukan hal ini," ucap Nindia. Sebenci apa pun pada wanita itu, dia sama sekali tak bisa bersikap tak acuh. Dia rasa punya tanggung jawab untuk membantu Meta walaupun wanita itu sudah menghancurkannya hingga tak bersisa.

"Padahal jika anak itu lahir, aku siap untuk membesarkan dan merawatnya." Nindia berbicara lagi. "Ada darah Papa yang mengalir dalam darah janin itu, tetapi Meta malah membawanya ikut pergi."

"Mungkin itu sudah pilihannya, Meta berharap bisa menyusul Papa jika melakukan hal seperti ini," balas Erland memeluk Nindia.

Pemakaman Meta dan janinnya berjalan lancar, tanpa ada satu pun keluarga wanita itu yang datang. Dia dimakamkan pada pemakaman yang sama di mana Agung dan Santi berada, hanya saja posisinya agak jauh. "Beristirahatlah dengan damai, Meta," ucap Nindia sebelum kembali pulang bersama yang lain. Dalam setahun, terhitung lima orang termasuk janin Meta dan Naima yang pergi untuk selama-lamanya. Begitu berat cobaan dan juga masalah yang mendera Nindia sebagai tokoh utama dilewati wanita itu dengan penuh perjuangan, emosi, dan juga air mata. 

"Mas," panggil Nindia saat Erland ikut berbaring di sebelahnya. Kini keduanya berada di ranjang setelah makan malam bersama.

Erlan berdeham, pria itu lelah sekali seharian ini. Dia butuh istirahat sejenak, agar tenaganya bisa kembali terkumpul. Namun, sang istri masih mau mengajaknya bicara, tidak apa dia meladeni asal tak mengecewakan si bumil. "Iya, Sayang."

"Apa semua sudah selesai?" 

Bungkam, rupaya Erland butuh beberapa menit untuk mencerna maksud ucapan sang istri. "Iya, semua sudah selesai. Tidak akan ada masalah lagi jika itu yang kamu takutkan."

Nindia hanya mengangguk. Dia masuk ke pelukan Erland yang selalu membuatnya nyaman. "Aku berharap setelah ini kita sungguh bisa beristirahat sejenak dari masalah, Mas. Aku tak mau kelahiran anak kita kelak, kembali dirundung masalah tanpa henti seperti sekarang. Cukup aku yang merasakan, jangan anak kita, Mas."

Ada ketakutan dan trauma yang ditangkap Erland dari ucapan dan wajah sang istri. Tersirat luka mendalam yang membuatnya ikut merasa sedih. Namun, dengan segala kekuatan dan cintanya, Erland janji akan menjaga dan melindungi sang istri dan buah hatinya kelak sampai Tuhan sendiri yang bilang jika sudah saatnya dia berhenti. "Ada mas yang akan selalu bersama kalian nanti, jangan takut dan cemas, Sayang."

Muara RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang