8 Kabar Kecelakaan

5.6K 577 22
                                    


Di depan ruang UGD, pria itu tidak pernah bisa diam. Mondar-mandir bak setrikaan, beberapa kali memijit pelipis juga raut wajah penuh peluh membuat Erland menjadi pusat perhatian sekeliling. Namun, dia tidak peduli saat ini. Yang ada dalam pikiran sekarang, tubuh rapuh di dalam ruangan putih itu. Bagaimana keadaan Nindia sekarang, kenapa lama sekali dokter memeriksa wanita itu.

Erland lupa dia harus menghubungi Intan sekarang agar adiknya itu memberitahu pada keluarga Nindia. Dua kali panggilan, Intan langsung menerimanya. Dengan suara terbata dicampur rasa panik, pria itu langsung memberitahu keadaan Nindia pada adiknya. Erland juga memberitahukan alamat rumah sakit pada sang adik yang saat ini masih di Jogja.

Di lain tempat, Intan bergeming sesaat setelah mendapat kabar dari kakak keduanya. Di depannya ada Araka dan Igrand yang penasaran dengan pembicaraan Intan dan Erland.

"Ada apa? Kak Erland kenapa?" tanya Igrand.

"Kak Erland di Jakarta," jawab Intan cemas.

"Kakak tahu soal itu, masalahnya siapa yang kecelakaan? Apa Erland?" Kali ini Araka memborong pertanyaan.

Intan menggeleng, gadis itu tiba-tiba saja menangis semakin membuat dua saudaranya bingung.

"Dek," panggil Araka.

"Mbak Nindia kecelakaan dan sekarang mereka lagi bersama di rumah sakit." Aku harus menghubungi Nando untuk memberitahu kabar ini.

Intan dan Nando sudah saling bertukar nomor semenjak pertemuan mereka di pesta pernikahan Naima. Gadis itu yang meminta nomor Nando, walaupun pria itu awalnya enggan. Namun, demi sebuah kebaikan mau tak mau si fotografer itu akhirnya memberikan nomornya.

Jawaban yang membuat dua pria itu saling bertatapan, sebelum menghela napas berat.

"Ternyata takdir masih bersama mereka," gumam Araka.

"Kita ke sana sekarang! Cepat cari penerbangan untuk sore nanti!" titah Araka diangguki Igrand.

"Kalian mau ke mana?" Nia tiba-tiba muncul mengejutkan ketiganya.

Tidak ada yang menjawab, lebih tepatnya bingung ingin memberikan jawaban seperti apa.

"Kami mau ke Jakarta, Ma."

"Untuk apa? Kenapa mendadak?"

"Mbak Nindia kecelakaan." Itu suara Intan yang terdengar.

Kedua pria itu melotot kaget, sementara Intan berusaha bersikap santai. Putri bungsu Hadi dan Nia itu hanya ingin segera menyambung tali kekeluargaan agar semuanya kembali baik.

"Apa? Ni-nindia? Maksudnya istri Erland?"

"Iya, Ma."

"Astaga!" Nia sangat terkejut dan langsung berurai air mata. Selama ini dia sangat merindukan wanita yang dinikahi salah satu putranya itu. Namun, dia tidak berbuat apa-apa kecuali pasrah dan diam.

"Pesankan mama juga, biar mama bisa ketemu Nindia."

*****

Kabar kecelakaan yang dialami Nindia, telah sampai ke telinga Nando karena pesan dari Intan. Keduanya saling bertukar nomor saat pernikahan Naima, karena adik dari Erland yang memaksa. Pria itu segera memberitahu seluruh penghuni rumah, hingga dampaknya pada kesehatan Santi yang langsung drop.

Agung dan Nando segera membawa sang nyonya ke rumah sakit yang sama dengan Nindia. Atas perintah Agung juga, Nando segera menghubungi Naima dan Reza, yang pada akhirnya membuat suami dari adiknya memutuskan untuk mencari tiket penerbangan agar pulang ke Indonesia secepatnya.

"Bagaimana bisa kecelakaan?" tanya Agung saat dalam perjalanan ke rumah sakit.

Di bangku kemudi ada supir keluarga, di sampingnya Nando sementara Agung dan Santi duduk di jok belakang. Wanita itu memejamkan mata, tetapi bekas air mata mengering di sekitar pipi keriputnya.

"Untuk masalah itu, aku tidak tahu, Pa. Aku hanya mendapat kabar saja."

"Dari siapa?"

Nando tidak mungkin mengatakan jika dari salah satu kerabat keluarga Erland. Sudah pasti ada pertengkaran panjang yang akan terjadi nantinya. Melihat kondisi Santi sekarang pun dirinya tak tega.

"Dari nomor yang tak dikenal," jawab Nando akhirnya.

Jawaban Nando menjadi pembicaraan terakhir di mobil. Perjalanan lima belas menit menuju rumah sakit akhirnya tiba. Dibantu beberapa perawat, Santi berhasil dibawa ke ruang UGD.

Sementara di belahan dunia lain, Naima menangis dalam pelukan Reza. Sementara menikmati keindahan bulan madu, kabar dari Nando membuat wanita itu langsung menangis tanpa henti. Reza sudah berulang kali menenangkan, tetapi putri bungsunya Agung itu terus menangis.

"Aku mau pulang," lirih Naima.

Reza sadar jika Naima masih belum bisa sepenuhnya menjadi dewasa. Sejak tadi, istrinya tetap merengek agar segera mempercepat kepulangan mereka, padahal tiket pesawat ke Jakarta masih harus tengah malam nanti. Ini baru pukul tujuh pagi waktu setempat, dan mereka baru selesai menikmati kenikmatan dunia sebagai sepasang suami istri baru.

"Iya, Sayang. Tetapi, kamu harus makan dan beristirahat dulu. Kan tiketnya harus malam nanti." Reza berujar lembut, masih dalam selimut keduanya berpelukan tanpa sehelai benang.

"Aku mau ketemu Mama dan Mbak Nindia. Bagaimana keadaan mereka sekarang, ya?" Mata Naima basah dan sembab. Dia mendongak menatap wajah sang suami penuh harap.

Reza sungguh tak tega, dikecupnya wajah sang istri untuk menenangkan. Seandainya, dia punya jet pribadi sudah pasti keduanya langsung pulang setelah mendapat kabar.

"Kamu sabar, ya. Masih beberapa jam lagi untuk keberangkatan kita. Sebaiknya, kamu mandi terus sarapan,  Sayang."

Gelengan Naima diberikan. Bagaimana dia bisa makan jika ibu dan kakaknya sekarang berada di rumah sakit. Ini kali pertama dirinya tidak berada di sekitar keluarganya, di saat mereka sedang tidak baik-baik saja.

"Mau pulang, Mas."

Reza hanya bisa menghela napas pasrah, berusaha membujuk istrinya agar bisa lebih pasrah.

*****

"Apa anda suaminya?" Dokter yang menangani Nindia keluar dari ruangan.

"Iya, saya suaminya. Bagaimana keadaan istri saya?" Harap-harap cemas, semoga kabar  diberikan dokter mapu menghilangkan kekhawatiran yang tengah melanda Erland.

"Pasien sudah dibawa ke ruang rawat. Hanya mengalami luka sobek di pelipis, tetapi sudah dijahit. Untuk sekarang pasien belum sadar, karena pengaruh bius saat dijahit tadi," jelas sang dokter.

Wajahnya Erland langsung lega. Dia mengucapkan terima kasih, sebelum melangkah pasti ke ruang rawat Nindia. Membuka pintu, hanya keheningan meliputi. Di atas brankar, Nindia tertidur begitu nyaman. Ada perban di bagian kepala dan juga infus di tangan kiri.

Perlahan, Erland mendekat. Waktu Tuhan sangat luar biasa baginya, walau harus dipertemukan dalam kondisi yang seperti ini. Dua tahun hanya menjadi pengamat dari jauh, menahan kerinduan penuh siksaan, tanpa bisa berbuat apa-apa kini pemilik hatinya ada di depan mata.

Ingin sekali, Erland memeluk, menghujani kecupan di wajah sang istri. Namun, dia tahu diri masih bisa menahan semuanya. Duduk di samping brankar, Erland meneteskan air mata. Dia termasuk pria lemah yang tak bisa melakukan apa pun kecuali pasrah.

"Apa kabar, Dia?" Panggilan itu hanya dikhususkan Erland bagi dirinya sendiri. Di saat semua orang memanggil wanita itu Nindia, Erland berbeda. Dia ingin menjadi yang paling lain dari orang-orang di sekeliling Nindia.

"Kamu semakin cantik dan terlihat lebih dewasa sekarang. Kami juga semakin sukses, Dia."

Dia tahu dengan kabar berita yang menyangkut kehidupan Nindia. Bagaimana perjuangan wanita itu membuka klinik kecantikan hingga memiliki lima cabang saat ini.

"Kamu tetap Nindia yang hebat." Dengan gemetar, Erland berusaha meraih tangan Nindia, bertepatan dengan pintu yang terbuka.

📍Gimana, guys??? Aku butuh komen kalian?

Muara RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang