34 Keributan

4.2K 329 28
                                    


Pria dengan jaket cokelat kulit itu turun dari mobil ketika tiba di rumah mewahnya. Dia memerintahkan sang supir agar menurunkan semua hasil belanjaan yang dibelinya di Bali untuk Naima yang tengah hamil muda.

Langkah kaki berderap menuju rumah keluarga, hanya kekosongan yang menyambut kedatangannya. Tidak ada wajah anak-anaknya yang bisa menunggu dengan tak sabar buah tangan jika dirinya keluar kota bersama Santi.

Pria itu duduk di sofa, mengurut pelipisnya karena sedikit pusing. Dia juga sebenarnya sangat lelah belakangan ini entah karena apa. Suara derap kaki membuat Agung menoleh. Dari ujung tangga putri bungsunya, Naima muncul.

"Kamu di sini, Naima?" tanya Agung tersenyum. Setelah mendengar Naima akan memberikan cucu, pria itu sangat bahagia. Sebentar lagi dirinya akan dipanggil kakek oleh anak yang dikandung Naima.

Naima tak menjawab, duduk berhadapan dengan Agung yang dibatasi meja. Jika dulu, Naima akan memeluk dan mencium Agung jika papanya itu pulang dari luar kota, sekarang ceritanya beda. Wanita hamil muda itu hanya membisu, bahkan menatap Agung pun rasanya enggan.

"Liburannya sudah selesai?"

Agung menoleh, dari arah belakang Nando muncul dengan tersenyum tipis. Anak keduanya itu pun bertingkah yang sama, tidak menunjukkan keantusiasan akan kepulangan papanya.

"Papa ada oleh-oleh buat kalian, khususnya Naima," ucap Agung melirik tumpukan oleh-oleh di sudut ruangan.

Naima mengangguk. "Apa itu aja oleh-olehnya, Pa? Enggak ada yang lain?"

"Iya, itu juga udah bany---"

"Maksudku oleh-oleh pengganti Mama enggak ada?" sela Nando tajam.

Agung menelan saliva susah payah. Tiba-tiba saja ruangan itu terasa lebih menegangkan, mungkin karena pembicaraan yang Agung yakini akan berakhir perdebatan.

"A-apa maksud kamu?"

Naima bertepuk tangan. Tidak pernah wanita itu bertindak seberani ini jika berhadapan dengan Agung. Namun, siapa saja yang sudah mengkhianati dirinya mungkin pengecualian.  "Wanita yang bernama Papa di Bali, bukannya calon mama baru kita, 'kan?"

Wajah Agung pucat pasi. Sepertinya semua sudah ketahuan, padahal pria itu belum sempat untuk membuka semua dan memberitahu mereka bahwa dia akan menikahi Meta. Kenapa semua terbongkar begitu cepat?

"Kenapa diam?"

"Jaga bicara kalian!" Agung berdiri, menatap Nando dan Naima bergantian. Dia berusaha sekuat tenaga untuk melawan anak-anaknya.

"Apa yang kami bicarakan ini adalah kebenarannya, Pa. Semua sudah terbongkar jelas dengan perselingkuhan Papa!" desis Naima kesal.

"Ternyata ... calon mama baru kita itu sahabatku sendiri, ya, Pa."

Semua menoleh, Nindia muncul dengan wajah datar. Di belakangnya ada Erland serta Reza yang baru pulang dari rumah sakit. Pria itu langsung mendekati sang istri, takut emosi Naima tidak stabil dan berpengaruh pada kehamilannya.

"Ngapain kamu di sini? Ingat, Nindia ini bukan rumah kamu lagi!"

Nindia membuang muka. "Jadi, ini rumah Meta?"

Agung menggeram, dia melirik Erland yang berdiri di belakang Nindia. Pria itu sangat tak menyukai keberadaan menantunya itu. Dia benci melihat Erland, yang membuat Nindia berperilaku kurang ajar padanya.

"Kenapa harus dia, Pa? Kenapa harus sahabatku sendiri?" teriak Nindia kecewa.

Agung tak menjawab, dia seolah-olah sedang disidangi sebagai terdakwa kini. Tatapan pancaran penuh kekecewaan terlihat dari wajah-wajah anak-anaknya sekarang.

"Kalian melakukan hal menjijikkan!" timpal Nando geram. "Entah sejak kapan, tetapi aku yakin sebelum Mama meninggal, kalian sudah berselingkuh! Dasar pengkhianat!"

Erland segera bertindak, menarik paksa Nando yang akan memukul Agung. Aura kemarahan tampak menguar menandakan jika Nando sudah dikuasai gempuran amarah dan kebencian.

"Jawab, Pa! Kenapa harus Meta?"

"Papa mencintai Meta! Puas kamu!" balas Agung, membungkam Nindia. "Semua ini salah Mama kamu yang tidak bisa melayani papa lagi. Jadi, wajar saja jika papa berselingkuh." Agung melakukan pembelaan. Begitu gampangnya dia menjadikan Santi alasan di balik perselingkuhannya.

"Kenapa papa nyalahin Mama?" Naima masih berujar pelan, tetapi air matanya sudah jatuh sejak tadi.

"Memang dia salah. Lagi pula apa salah papa punya wanita lain selain mama kamu? Lagi pula dia sudah meninggal."

"Sialan!"

Erland terlalu lengah, ketika Nando berhasil lepas dan memberikan sebuah pukula pada pipi Agung hingga terjatuh. "Brengsek!" umpat Nando sebelum ditarik Erland lagi.

"Kamu harus tenang, Nando!" tegur Reza.

Agung berdiri, menyeka sudut bibir yang basah akan darah. Pukulan putranya itu tidak main-main. "Kalian semakin tak menghormati keberadaan papa di rumah ini."

"Stop playing victim, Pa! Papa yang berkhianat kenapa kami yang disalahkan?" sanggah Nindia.

"Kalian mau apa sekarang?" tanya Agung setelah suasana berubah hening sesaat. "Jika meminta untuk menjauhi Meta, jangan harap. Dengan atau tanpa persetujuan kalian, Meta akan tetap menjadi istri papa!"

"Papa lebih memilih wanita sialan itu?"

"Jaga mulu kamu, Nindia? Apa papa pernah mengajarkan kamu untuk berkata pasar? Apa itu didikan suami kamu?" Dia melirik Erland sekilas. "Laki-laki tidak punya malu!"

"Apa bedanya dengan Papa?" Erland tak menjawab, melainkan Nindia yang membela suaminya itu.

"Jika tak ada restu dari kalian, silahkan angkat kaki dari rumah ini!"

Agung berlalu menuju kamarnya, meninggalkan wajah-wajah yang sangat terkejut dengan ucapannya barusan. Nindia terduduk lemas di lantai, dan Erland langsung berusaha menenangkan sang istri. Dia memang tak menangis, hanya tatapan Nindia kosong. Pria itu sadar jika kehancuran Nindia lainnya adalah saat ini dengan permasalahan baru yang dihadapi wanitanya.

"Sampai kapan cobaan ini tak ada habisnya, Mas?" tanya Nindia.

Erland tidak tahu harus memberikan jawaban seperti apa. Dia hanya memeluk sang istri, berharap Nindia baik-baik saja dengan semua ini.

"Aku akan pergi dari rumah ini!"  Nando melangkah ke kamarnya untuk berkemas. Tidak ada pilihan lain selain meninggalkan rumah yang dulu memberikan kehangatan, sekarang akan menjadi neraka. Tidak sudi dirinya seatap dengan Meta, wanita ular itu. Setelah berkemas, dengan hanya membawa satu ransel besar, dia segera keluar.

"Kamu akan tinggal di mana?" tanya Nindia.

"Studioku, Mbak."

Nindia menggeleng. "Tinggal dengan mbak saja, ya. Kamu masih butuh perhatian mbak, Nando."

"Benar kata mbakmu, kamu tinggal bersama kami saja," sahut Erland.

Nando mengangguk setuju. "Baiklah."

"Naima, kamu masih mau di rumah ini?" Nando menatap adiknya itu. Kasihan sekali dengan keadaan Naima yang tengah hamil muda, tetapi sudah dirundung permasalahan besar seperti ini.

"Bawa aku pergi, Mas," cicit wanita itu.

Kelimanya memutuskan meninggalkan rumah mewah itu. Kepergian mereka sebagai tanda jika tidak ada dukungan lagi untuk pernikahan Agung, apalagi dengan Meta. Di balik jendela, Agung melihat anak serta menantunya pergi. Dia hanya berdiam diri, melihat bagaimana kedua putrinya ditenangkan oleh suami masing-masing.


Satu kata untuk Agung?

Muara RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang