12 Bertemu

6.3K 467 10
                                    

Nindia sendirian di ruang rawatnya, setelah Nia pamit untuk pulang. Nando, entah ke mana belum juga menunjukkan batang hidungnya sementara langit di luar telah dikuasai kegelapan.

Wanita itu berbaring, di samping nakasnya ada makanan dari rumah sakit yang belum tersentuh, lantaran dia tak suka. Rasa lapar sedikit mendera, tetapi Nindia tidak mau merepotkan orang lain sekarang.

Memutuskan memejamkan mata, percakapan dengan Nia tadi mengganggu pikiran. Semakin banyak teka-teki yang terjadi dan membuatnya merasa pusing seketika. Permainan Erland tak ada habisnya, entah apa yang direncanakan lagi pria itu hingga sekarang berada di Jakarta.

Suara handle pintu mengusik Nindia, seseorang yang berada dalam pikirannya tiba-tiba masuk lalu menutup pintu. Seolah ada gerakan slow motion pria dengan kaus hitam dipadukan jaket yang senada itu melangkah mendekati brankarnya. Entah kekuatan apa yang dimiliki Erland sehingga, Nindia sama sekali terpaku tak bergerak terus menatapnya.

Keduanya berpandangan lama, tidak ada yang ingin memutuskan tatapan. Nindia masih membeku, bingung dengan kedatangan Erland. Lalu pria itu tatapannya penuh kerinduan dan kesedihan yang mendalam.

Wajah putihnya semakin tampan, rambut hitam digunting dengan model rambut pria zaman sekarang. Rahang tegasnya serta hidung lancip yang dimiliki Erland, menambah ketampanan pria itu. Di antara Erland dan dia saudara prianya, dia yang lebih tampan. Lalu, dada bidang Erland selalu dijadikan tempat bersandar paling nyaman bagi wanita itu.

Dalam hitungan lima menit, Nindia langsung memalingkan wajah. Bodoh baginya jika masih meluangkan waktu untuk sekadar mengagumi sosok Erland dengan ketampanannya.

"Pergi dari sini!" Itu kalimat pertama yang Nindia ucapkan tanpa melihat Erland.

"Dia," lirih pria itu.

Panggilan khas itu membuat Nindia tertegun, matanya berkaca-kaca, tetapi dia berusaha untuk tidak menangis.

"Ngapain kamu di sini?" Kali ini wanita dengan pakaian rumah sakit itu memunggungi sosok suaminya.

"A-aku kembali untuk kamu, Nindia. Aku ingin menebus semua kesalahanku selama ini," ucap Erland terbata.

"Tidak ada yang perlu ditebus, semua sudah selesai bersamaan dengan teganya kamu menggugat cerai aku dua hari setelah pernikahan kita!"

Erland frustrasi sendiri, jika yang dibahas mengenai surat cerai. "Aku sama sekali tidak menceraikan kamu, Dia!"

Nindia berbalik menghadap Erland sepenuhnya. Tatapan marah menguat dari wajahnya, sekaligus kecewa karena merasa dipermainkan.

"Lalu surat apa yang datang ke rumah setelah dua hari pernikahan kita?"

Erland kembali bingung, lalu menggeleng. "Aku tidak tahu perihal surat itu, karena sama sekali tak pernah mengurus perceraian kita."

"Jangan berbohong! Aku yang menerima surat gugatan cerai atas nama kamu itu! Kita baru menikah, kamu pergi bagaikan hilang ditelan bumi tepat di malam pertama kita! Lalu apa ... dua hari setelahnya dengan kebrengsekan kamu, surat cerai dari pengadilan datang ke rumah dan membuatku semakin yakin jika kamu kayak dibenci!" Dadanya naik turun, napas wanita itu terengah. Sakit sekali jika menjadi Nindia kala itu. Menangis tanpa henti, mencari sosok Erland yang menghilang, ponsel pria itu tak aktif begitu juga dengan keluarga mertuanya.

Erland bungkam sesaat. Jika istrinya itu tahu kebenaran, apakah ada kesempatan baginya untuk meminta maaf.

"Aku ingin meminta maaf." Erland ingin mengalah untuk kebaikan Nindia yang tengah sakit saat ini. Biarkan istrinya sehat dulu lalu akan dijelaskannya.

"Tidak perlu, kita sudah bercerai."

"Maafkan aku, Dia. Asal kamu itu, jika aku memang sama sekali tak menceraikan kamu. Kepergianku itu juga bukan keinginanku, melainkan orang lain yang aku sendiri bingung harus mengatakan apa padamu jika kamu tak percaya. Sebuah kesalahpahaman terjadi, tanpa membiarkanku untuk sekadar menjelaskan. Aku disuruh pergi dan menjauh dari kamu, walaupun hal itu tidak bisa kulakukan. Namun, aku hanya bisa menurut lantaran ada ancaman lain yang terus menerus menerorku jika akan melukaimu." Erland akhirnya bersuara, membiarkan istrinya itu tahu agar berhenti mengatakan jika keduanya sudah bercerai.

Nindia terdiam, dia melihat Erland yang meneteskan air mata sebelum diusap pria itu. Tidak ada kebohongan yang terpancar dari mata hitam tajam sang pria, hanya sebuah keyakinan akan penjelasannya itu.

"Aku mencintaimu, Dia. Tidak mungkin aku menceraikan kamu tanpa alasan yang jelas seperti itu!"

Nindia membeku, kala pelukan erat didapatnya dari Erland. Baju pria itu bergetar, sementara isakan terdengar kian jelas olehnya. Erland Dwiputra menangis hebat dalam pelukan itu, kedua kali dirinya melihat pria tangguh itu meneteskan air mata selain saat akad.

"Aku tersiksa selama dua tahun ini, Dia. Memiliki istri, tetapi dipaksa menjauh tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun, kini aku datang untuk mengambil kamu kembali dalam hidupku. Aku tidak peduli dengan ancaman atau apa pun di luar sana, aku ingin kita meniti rumah tangga kita lagi. Berikan aku kesempatan itu, Nindia. Biarkan aku menjelaskan semuanya, tanpa tersisa," pinta Erland.

Nindia ikut menangis, tetapi tak membalas pelukan suaminya.

"Aku mencintaimu, Dia, dan sama sekali dalam hidupku tak sedikit pun ingin meninggalkan kamu."

Hening menyelimuti, dua insan itu masih sangat berpelukan dan menangis. Tanpa sadar, Nindia mengangkat tangan dan meletakkan di punggung Erland. Wanita itu memejamkan mata, membiarkan suasana dan kedamaian ini membuatnya terhanyut.

*****

Arkana mengamati surat lusuh yang baru diberikan Nando kepadanya dengan map batik sebagai surat gugatan cerai dari adiknya. Saat ini mereka berada di rumah lama keluarga Hadi, setelah menjemput Nando untuk mengambil surat itu.

Di depannya sudah ada Nando, Igrand dan juga Intan. Keempatnya berada di ruang tengah, sementara Nia sudah tertidur setelah pulang dari rumah sakit.

"Ini seperti tanda tangan Erland," kata Arkana saat menemukan tanda tangan di bagian pemohon.

Nando tersenyum miring. "Itu buktinya jika adik kalian sudah menceraikan Mbak Nindia!"

"Zaman sekarang semuanya serba bisa, untuk sekadar memalsukan tanda tangan pun sangat mudah," balas Igrand kesal.

"Aku setuju soal itu. Tanda tangan itu bisa saja dipalsukan, dan mengenai perceraian sudah pasti tidak pernah terjadi!" Intan menambahi. "Apalagi dari pihak kami tidak pernah ke persidangan seperti yang dimaksud."

"Apa Mbak Nindia ke persidangan?" tanya Igrand.

Nando terdiam, menggeleng. "Mbak Nindia sama sekali tak ke persidangan. Dari pihak kami, diwakili Papa."

"Apa Om Agung mengatakan jika persidangan itu ada?" Dengan menelisik wajah Nando, Arkana menemukan adik ipar kakaknya itu mengangguk.

"Papa hanya bilang jika mereka sudah bercerai dengan dua kali persidangan. Hanya itu saja," ungkap Nando.

"Mencurigakan," gumam Arkana.

"Untuk surat ini, biarkan aku yang menyimpannya sekarang untuk menyelidiki. Asal kamu tahu, Nando bahwa tidak ada perceraian di antara Erland dan Nindia. Kepergian Erland atas perintah seseorang, tanpa membiarkan adikku untuk menjelaskan permasalahan sesungguhnya. Ada permasalahan utama di balik kepergian Erland, tetapi semua bisa diatasi jika seandainya tak ada perintah mutlak dari orang itu untuk membuat Erland pergi meninggalkan Nindia!" terang Arkana.

"Siapa orang itu?" Nando tampak penasaran.

Ketiganya saling berpandangan sebelum mengangguk.

"Papa kamu sendiri."

📍Gimana, guys??

Muara RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang