43 Kabar Buruk

4.8K 303 9
                                    

Selamat membaca, sorry baru bisa update.
Warning Typo !!!!

Nindia ingin sekali hidupnya segera berakhir tenang, setidaknya permasalahan yang terjadi belakangan ini segera selesai. Biarkan dia dan keluarga besarnya hidup baik-baik saja tanpa perlu merasakan lagi masalah yang tak kunjung habisnya. Namun, kali ini dia tidak bisa untuk tak menangis lagi. Hari masih sangat pagi, tetapi telepon dari Nando membuatnya memaksa Erland untuk bangun dan bersiap ke rumah sakit. Padahal rencanya, Nindia akan mengunjungi Agung siang nanti sambil membawakan makanan kesukaan papanya itu.

Di tengah perjalanan, Nindia lebih gelisah. Dia berharap mobil yang dikemudikan Erland segera tiba di tempat tujuan. Hatinya mendadak tidak tenang, telapak tangannya basah tanpa disadari. Entah kenapa dia merasakan sesuatu yang buruk akan kembali terjadi.

"Mas, lebih cepat." Hanya itu yang Nindia katakan, dia sudah lelah sekali untuk bicara.

Erland tidak menjawab, lebih fokus mengendarai mobil membelah jalanan  yang sepi karena hari masih pagi. Dia butuh kehati-hatian karena ada wanita hamil yang tengah bersamanya sekarang. Pada akhirnya mobil mewah hitam itu tiba di parkiran, Erland segera turun menggandeng tangan sang istri beriringan masuk menuju ruangan di mana Agung berada.

Langkah Nindia yang mulanya cepat kini memelan saat melihat Nando terduduk lemas di lantai koridor. Ada seorang gadis yang bersama adiknya itu, lalu tampak Reza yang sedang berbicara dengan dokter yang menangani Agung dari awal papanya itu masuk.

"Mas ... apa yang terjadi?"

Jawaban yang didapat Nindia adalah saat beberapa perawat mendorong brankar yang telah tertutupi kain putih. Wanita itu melemas, tubuhnya hampir linglung beruntung Erland begitu sigap menahannya. "Sayang."

Nindia menggeleng, air matanya jatuh begitu saja. Dia tahu siapa yang berada di bawah naungan kain putih itu. Siapa yang tengah tertidur di brankar sambil didorong oleh perawat. Melepas pelukan, Nindia menghadang langkah para perawat. Dia membuka kain putih, melepaskan tangisan akan kehilangan yang lagi dan lagi melanda hidupnya.

"Papa! Jangan tinggalkan aku, Pa! Maaf, Pa!" Nindia meraung tak jelas, memeluk tubuh dingin Agung yang pucat pasi. Tidak ada balasan pelukan pria itu, hanya raga tanpa nyawa itu menjadi balasan bahwa sosok cinta pertamanya telah pergi menyusul Santi.

Erland menarik Nindia menjauh, membiarkan pihak perawat melanjutkan pekerjaan untuk memandikan jenazah. Masih tak menyangka jika Agung pergi begitu cepat, padahal dirinya baru mendapat kabar kalau papa mertuanya itu sudah sadar.

"Aku belum minta maaf sama Papa, tetapi Papa udah duluan pergi, Mas. Kenapa Papa setega itu." Nindia masih terisak dalam dekapan Erland yang hanya diam. Pria itu menatap ke depan di mana Nando juga menangis dalam pelukan gadis asing. Sementara Reza mengangguk kecil, mengikuti ke mana langkah dokter menjauh dari pandangan. Dia baru sadar jika tak melihat keberadaan Naima kini.

"Kamu harus kuat, Dia. Ingat satu hal, kamu mesti ikhlas agar Papa bisa bahagia di sana."

*****

Siapa yang lebih terpuruk di antara Nindia dan Naima, jawabannya adalah keduanya. Di saat hamil muda, kematian serta kehilangan Santi lalu disusul Agung menjadi luka berat bagi dua wanita itu. Masalah yang menerpa tak urung juga menjadi penyebab emosi dan tenaga ikut terkuras. Namun, di sini sepertinya Naima lebih merasakan kesakitan luar biasa tentang kehilangan. Dia tidak hanya bisa rela melepas kepergian Agung, tetapi dengan calon buah hatinya.

Naima keguguran, setelah mengalami depresi berat saat tahu Agung meninggal. Pria itu bahkan meninggal dalam pelukannya, saat Naima yang mungkin tengah mengidam ingin memeluk Agung dan menginginkan sang Papa mengelus perutnya yang mulai buncit. Itu yang membuat Naima rela bangun lebih subuh untuk mengunjungi Agung, walaupun Reza sudah melarang agar menyuruhnya agak siang untuk ke rumah sakit.

Nyatanya semua adalah tanda kepergian Agung dan sang buah hati. Mungkin, anaknya lebih senang menyusul sang kakek daripada bersama dengan dirinya di dunia.

Naima menatap kosong langit kamar ruangan dirinya dirawat. Dia tidak diizinkan melihat Agung dan buah hatinya yang mulai terbentuk untuk terakhir kali. Ingin menangis pun rasanya sudah tak sanggup, air matanya pun mungkin telah mengering.

Suara pintu dibuka menarik atensi Naima. Ada Reza di sana berusaha melempar senyum, walau dirinya tahu sang suami pasti juga sedih kehilangan buah hati yang selama ini diidamkannya.

Keduanya saling berpandangan, tidak bicara. Naima membuang muka tak kuasa melihat buliran bening itu jatuh dari dua mata Reza. Dia merasa bersalah, karena merasa dirinya ikut andil membuat anak mereka pergi sebelum menyapa dunia.

"Aku minta maaf, Mas." Naima berujar lirih, masih tak kuat menatap Reza.

Reza menggeleng, memeluk Naima lalu tangisannya mulai terdengar perih di telinga wanita itu. Ruangan itu dipenuhi tangisan Reza, sementara Naima hanya menangis dalam diam. Sakit sekali rasanya, tetapi semua telah terjadi tanpa ada yang bisa mencegahnya.

*****

Hanya Nindia, Erland serta Nando yang mengantar pergi Agung untuk selamanya ke pemakaman yang berdampingan dengan Santi. Banyak pelawat yang datang memberikan doa dan dukungan serta keluarga besar Reza dan Erland pun turut hadir, mengantar sosok besan mereka ke tempat peristirahatan terakhir.

Nindia tidak banyak bicara, hanya menangis sebagai tanda jika dirinya lagi dan lagi tidak baik-baik saja hingga pemakaman selesai. Mereka semua berkumpul di rumah utama yang kini hanya ditinggal Nando seorang diri.

"Makan dulu." Erland membawa sepiring lauk, duduk di samping Nindia yang sedang ditemani Intan.

"Ingat ada janin di dalam perut kamu," lanjut Erland karena melihat keengganan istrinya.

Intan mengambil alih piring menyuapi kakak iparnya makan. Walaupun sedikit dipaksa, Nindia terus memaksanya masuk hingga tandas. Dia tidak mau egois untuk kali ini saja, terlebih harapan Erland akan kehadiran sang anak begitu pun dirinya dan juga yang lainnya.

Sementara Erland menghampiri Nando. Pria itu tersenyum tipis melihat gadis cantik yang kini tengah memakasa adik iparnya untuk makan.

"Biar saya saja."

Alicia mengangguk kaku, memilih menyingkir setelah memberikan piring ke tangan Erland. Gadis itu duduk di sofa terasa canggung, tetapi dirinya berusaha berbaur.

"Kamu itu seorang pria, jangan menunjukkan kelemahan di hadapan dua saudara perempuan kamu!" sahut Erland tegas. Dia melirik Alicia yang juga menatapnya kini. "Kamu juga punya kekasih, apa tidak kasihan dirinya harus membujuk kamu makan seperti seorang bocah?"

Nando mendongak, dia terlalu lelah menangis dan terluka sehingga lupa akan hal itu. Matanya menangkap keberadaan Nindia yang masih sibuk disuapi Intan, lalu ke arah Alicia yang mengangguk sambil tersenyum. Namun, tidak ada asik bungsunya di sana termasuk Reza.

"Di mana Naima?" tanya Nando.

Erland menutup bibir, memandang Nando yang menunggunya menjawab. "Naima di rumah sakit. Dia butuh istirahat."

Nando menggeleng. "Kandungannya baik-baik saja bukan?" Ingatannya pagi tadi, saat Agung meninggal, Naima lah orang yang paling histeris mendengar kenyataan itu. Dia sempat melihat Reza menenangkan Naima, terlebih ada darah yang mengalir dari paha adiknya itu.

Gelengan lemah Erland berikan, wajah Nando semakin pucat setelah tahu maksudnya. Adik kecilnya yang akan menjadi ibu, kini harus menelan kekecewaan karena merasa kehilangan di saat yang bersamaan. Pria itu menangis, dia bisa membayangkan bagaimana sakit dan terlukanya Naima sekarang.

Erland menepuk pundak Nando. "Aku izinkan hari ini kamu puas menangis, tetapi tolong untuk berusaha ikhlas dengan semuanya. Kalau kamu seperti ini, aku yakin Nindia dan Naima pun ikut hancurnya. Tolong kamu harus menjadi penghibur atau pelindung keduanya, selain aku dan Reza."

Pria itu beranjak, kembali memanggil Alicia untuk menyuapi Nando makan. Dia menuju ke dapur menghubungi Reza untuk mengetahui kondisi adik iparnya, Naima.

Muara RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang