41 Setelahnya

5.5K 297 5
                                    


Happy reading and be Happy
Maaf baru bisa update hari ini, soalnya lagi di kampung dan jaringan pun susah, ditambah beberapa draft yang tersimpan sempat terhapus. Jadi, mutar otak buat nulis lagi.

Tidak ada yang bersuara saat ini, keheningan cukup menyelimuti lorong koridor rumah sakit, lebih tepatnya ruang UGD. Di dalam sana hampir satu jam lebih dokter dan beberapa perawat sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda keluar, setelah brankar yang ditiduri Agung di bawa masuk menggunakan ambulans.

Nando duduk lemas bersandar pada tembok dengan pikiran kacau. Sementara Reza masih sibuk menenangkan Naima yang masih saja terisak. Kembali pada kejadian sebelumnya, semua terjadi begitu cepat, saat Agung menjadi pelindung Nindia kala Meta hampir saja membunuh Nindia menggunakan benda tajam. Tidak ada yang bakal tahu jika Agung merelakan dirinya menjadi tameng agar anak sulung dan calon cucunya selamat.

Suara langkah kaki yang beradu dari ujung, serempak memenuhi keempatnya menoleh. Nindia bersama Erland dan Intan serta Rafa baru saja kembali dari kantor polisi setelah berusaha menjebloskan Meta. Syukurlah kejadian tadi, cepat diatasi pihak keamanan sehingga wanita iblis itu dipenjara kini untuk menjalankan pemeriksa lanjutan.

"Bagaimana keadaan Papa?" Nindia langsung mengajukan tanya, tetapi jawabannya hanya sebuah gelengan yang diberikan Reza. Lantas hal itu membuat istri Erland menangis kembali dalam pelukan sang suami.

"Dokter belum keluar sejak tadi," balas Nando lesu. Biar bagaimanapun perbuatan Agung pada ketiganya, Nando masih punya hati dengan menganggap pria itu ayahnya.

Atensi semuanya teralih, saat pintu dibuka dan kehadiran dokter diikuti beberapa perawat sambil mendorong brankar Agung menarik perhatian.

"Bagaimana keadaan Papa?" Nindia lebih dulu menghadang sang dokter.

Pria tua dengan jas putih itu tampak menghela napas berat. "Pak Agung masih bisa diselamatkan, beruntungnya luka tusuk tidak terlalu dalam dan tidak mengenai organ vitalnya. Hanya saja penyakit yang diidap Beliau membuatnya kritis."

"Penyakit? Penyakit apa yang dimaksud?" Nando ikut bertanya, selama ini Agung tampak selalu sehat dalam aktivitasnya. Pria itu selalu menyempatkan diri untuk berolahraga secara teratur, makanan yang dimakannya pun diatur dengan baik oleh Santi sebelum wanita itu meninggal.

"Apa kalian tidak tahu Beliau punya penyakit gagal ginjal?"

Nindia menutup mulutnya kaget, hal yang sama dilakukan Naima. Bagaimana bisa setelah berhasil lepas dari jeratan iblis seorang Meta, kini Agung malah mengidap penyakit yang cukup berbahaya. Sungguh luar biasa cobaan yang harus diterima keluarganya kini.

"Beliau kini masih belum sadarkan diri, tetapi sudah bisa dijenguk. Beliau juga telah dipindahkan ke ruang rawat."

Setelah kepergian Dokter yang menjelaskan, suasana kembali hening untuk sesaat. Tidak ada yang tahu cobaan datang silih berganti tanpa kenal waktu dan situasi. Di tengah kehamilan yang di alami Nindia dan Naima, keduanya harus dilanda hal-hal yang selalu menguras emosi serta tenaga.

"Untuk saat ini biarlah urusan Meta menjadi utusanku, kalian sebaiknya fokus dengan kesembuhan Om Agung. " Rafa yang sejak tadi hanya diam akhirnya bersuara. Dia juga merasa iba dengan masalah yang tengah ditimpa keluarga calon kakak iparnya itu.

*****

Nindia sama sekali tidak melepaskan pandangan dari brankar, di mana Agung masih betah menutup mata. Wanita itu memutuskan menemani Agung ditemani Erland malam ini, agar Naima dan yang lainnya bisa beristirahat.

"Sayang, sebaiknya sekarang kamu makan." Suara lembut Erland mengejutkan Nindia. Tampak pria itu sedang menata makanan hasil go food berupa soto dan sate di meja. Pria itu juga tampak kelelahan, masih memakai kemeja pagi tadi yang mulai terlihat tak rapi.

"Kamu harus makan, ingat di perut kamu juga ada anak kita yang butuh asupan." Erland dengan telaten menyuapi Nindia makan. Dia harus tegas memerhatikan kondisi istrinya, mengingat ada calon anaknya yang hidup dalam perut sang istri.

"Besok kita pulang, biar Nando yang gantian jaga. "

"Enggak, Mas. Aku masih mau di sini," tolak Nindia.

"Enggak! Aku enggak bisa ngizinin kalau itu, ingat satu hal ada janin di rahim kamu yang juga perlu diperhatikan!" Pria itu berujar datar, tetapi tersirat akan sedikit amarah dengan keras kepala Nindia. Dia membersihkan sisa makanan, tanpa berniat untuk makan juga karena napsu makannya hilang.

Erland kembali duduk di samping Nindia, merangkul pundak sang istri dan mengusap rambut wanita itu lembut. "Tolong jangan keras kepala untuk kali ini aja, Dia. Ada nyawa lain dalam hidupmu sekarang."

Nindia mengangguk, dia harus ingat ada anaknya yang butuh asupan darinya. Namun, siapa yang bisa tahan dengan kondisi sulit seperti sekarang, ketika musibah datang tanpa henti.

"Kamu harus yakin Papa akan baik-baik aja. Kita hanya perlu berdoa, dan memberikan dukungan padanya agar Papa bisa sembuh dan berkumpul lagi bersama kita," ungkap Erland.

"Aku takut kehilangan Papa, aku enggak kuat jika hal itu terjadi." Nindia meredam tangisnya yang kembali pecah. "Aku tahu perbuatan Papa enggak bisa dimaafkan, tetapi kembali lagi pada kenyataan bahwa hanya tinggal Papa orangtua kami, kehadiran kami bertiga di dunia pun tak lepas dari campur tangan Papa. Aku enggak bisa, Mas."

Erland hanya bisa mengecup pelipis sang istri, mengelus punggungnya berusaha menenangkan. "Aku yakin Papa akan baik-baik saja."

*****

Intan melirik Rafa yang duduk di belakang kemudi, keduanya sedang melaksanakan perjalanan pulang dari kantor polisi ke rumah lama Intan. Sejak tadi pria itu tidak banyak bicara, lebih didominasi keterdiaman yang membuat kembaran Igrand itu tidaklah nyaman.

Dia berdeham, mencari cara agar Rafa mau bicara. "Em ... kamu kenapa?"

"Enggak kenapa-kenapa."

Bibir gadis itu langsung bungkam, tidak ada yang salah dari jawabannya hanya terdengar datar dan entah kenapa Intan tak suka. "Kamu enggak mau mampir?"

Pertanyaan Intan itu bertepatan dengan mobil Rafa yang memasuki halaman rumahnya. Dia juga tidak tahu kenapa memberikan pertanyaan seperti itu, padahal selama ini Intan selalu berusaha menghindar dari pria itu.

"Bukannya kamu enggak suka aku mampir?" Rafa menghentikan mobil, melirik Intan yang menatapnya bingung.

"Udah sampai," lanjutnya.

"Kamu kenapa, sih?" Menghilangkan rasa gengsi, Intan menyerukan pertanyaan yang memenuhi otaknya sejak tadi.

"Aku? Kenapa?"

Intan memberengut, keluar dari mobil dengan cepat. Hal itu membuat Rafa menghela napas gusar, lalu menyusul gadis itu. Tangannya dengan cepat menarik lengan Intan, membawa gadis itu ke pelukannya. Intan tidak menolak seperti biasa, membiarkan detak jantung Rafa didengar olehnya.

"Seperti kataku, aku sudah menyelesaikan permalasahan keluarganya istri kakak kamu. Lalu bagaimana dengan aku sekarang? Bagaimana dengan keinginanku untuk menjadikanmu sebagai kekasih?"

Intan hampir lupa akan hal itu, dia seharusnya memberikan jawaban akan usaha dan keinginan Rafa sekarang. Mungkin keterdiaman pria itu tadi pasti ada hubungannya dengan jawaban yang diinginkan Rafa. Ah ... kenapa dia baru ingat sekarang.

Rafa tersenyum miris, melepaskan pelukan Intan. "Aku tahu apa jawabannya." Pria itu mengecup kening Intan lama sebelum berjalan ke mobil. Sudah ditebak gadis yang disukainya itu pasti tak sudi menjalin kasih dengannya.

Intan bergeming, masih bingung dengan pikiran yang bergulat sekarang. Dia bisa melihat bagaimana wajah sendu Rafa yang melepas pelukan lalu pergi begitu saja.

"Rafa ...," gumam Intan saat mobil hitam itu melesat pergi jauh dari pandangan.

Muara RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang