42 Menggila

5.8K 314 6
                                    


Kali ini Naima punya giliran bersama Nando untuk menemani Agung. Menurut info dari dokter yang mengatasi pria itu, kondisi Agung perlahan membaik bahkan pagi tadi setelah Nindia dan Erland pulang, dia sudah sadar.

Naima dan Nando berdiri di samping brankar kiri dan kanan. Keduanya tidak lepas memerhatikan Agung yang tampak pucat, dan lebih kurus. Pria itu tidak bicara sejak bangun, hanya wajah penuh sesal yang bisa ditangkap sepasang kakak beradik itu.

"Apa kabar, Pa?" Naima berusaha bersikap biasa-biasa saja, dia ingin sejenak melupakan permasalahan rumit yang sudah berakhir. Mau dibenci bagaimana pun, tidak ada yang bisa mengubah takdir jika Agung adalah papanya.

Agung menoleh, mata pria itu berkaca-kaca. Dalam hati ingin sekali memeluk Naima, tetapi dia kembali sadar jika punya malu untuk berhadapan dengan anak-anaknya apalagi memeluk mereka.

"Jangan pikirkan apa pun, semua sudah baik-baik saja." Naima menuduk, mengecup kening Agung lembut. Dia juga menahan untuk tidak menangis, takut membuat kondisi Agung memburuk lagi.

"Ma-maafkan papa." Suaranya bahkan tercekat, kata maaf pun rasanya kurang untuk menembus semua pengkhianatan serta kesalahan yang dibuatnya. Luka hati mendiang istrinya dan ketiga anaknya pasti sangat sakit.

"Semua sudah memaafkan papa, yang terpenting sekarang papa harus sembuh. Kita punya kesempatan untuk berkumpul bersama dengan calon cucu-cucu, Papa."

Agung hanya mengangguk, dia menoleh ke samping ada Nando di sana memandangnya tanpa ekspresi. Melihat wajah putra satu-satunya itu, terbukti jika Nando membenci dirinya.

"Nan-nando."

"Cepat sembuh. Aku benci melihat Papa tak berdaya seperti ini." Nando tersenyum, dia memegang tangan Agung. "Kita menunggu Papa di rumah, sekarang tidak perlu mengingat apa pun lagi."

Nando akhirnya menitikkan air mata, luar biasa hati anak-anak yang begitu mudahnya memaafkan dirinya. Padahal jika diingat kesalahannya lebih besar dan memalukan, tetapi Nando dan Naima memaafkannya. Namun, pikiran Agung mengarah pada putri sulungnya. Dosanya lebih besar pada Nindia, dia harus bertemu untuk meminta maaf pada wanita itu.

"Di-dimana Nindia?"

Naima dan Nando saling berpandangan, keduanya tidak mungkin bilang jika Nindia ada ke kantor polisi untuk menemui Meta. Nama wanita itu harus disingkirkan dari kehidupan Agung selama-lamanya.

"Mbak Nindia pulang untuk beristirahat, semalam dia dan Kak Erland yang menemani Papa." Nando menyahut, mendapat anggukan dari Agung.

"Pa-papa banyak salah sama dia," lirih Agung.

Naima tersenyum, mengusap tangan Agung yang dibalut infus. "Mbak Nindia tidak membenci Papa, kita semua tahu bagaimana sikapnya."

"Papa takut di akhir kehidupan papa, tidak mendapat maaf darinya.

"Pa!" protes Nando tak suka dengan kalimat Agung. "Jangan bicara seperti itu!"

Naima terdiam, dia juga tak suka dengan kalimat yang meluncur dari mulut papanya itu. "Lain kali jangan seperti itu. Papa masih punya banyak waktu untuk berkumpul bersama kami."

Tidak lagi ada bantahan dari Agung, dia hanya diam memandang langit-langit ruang rawatnya. Ingatannya kembali pada dosa besar yang dilakukannya, perselingkuhan dan pengkhianatan memang telah membuatnya menjadi pria jahat. Namun, Agung menyesal dengan semua yang telah terjadi. Jika diizinkan kembali pada masa lalu, dia tidak mau terbujuk rayuan Meta, berusaha setia pada Santi dan juga ketiga anaknya. Namun, apa mau dikata, semua telah terjadi bahkan kini karma telah menyambutnya. Terbaring tak berdaya dengan kondisi yang menurutnya mungkin tidak akan lama lagi di dunia.

*****

Meta keluar dengan wajah yang terlihat kusam dan tak terawat, berbalut baju dengan tulisan tahanan di bagian belakang dia melangkah datar menuju sebuah meja di mana sudah ada dua orang yang menantinya di sana. Sepasang suami istri yang paling dibencinya, sosok mantan sahabatnya. Dia ingin sekali menolak pertemuannya dengan Nindia, kunjungan wanita itu membuatnya ingin sekali melenyapkan sosok wanita yang selalu lebih unggul darinya itu.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Nindia basa-basi. Sejujurnya dia iba dengan keadaan Meta kini, tetapi kembali lagi perbuatan mantan sahabatnya itu tidak bisa dilupakan begitu saja.

Meta tersenyum sinis. "Apa kamu buta?"

Harusnya Nindia paham jika sikap Meta memang tidak bisa untuk diajak bicara baik-baik. Dalam keadaan seperti ini saja, dia masih menunjukkan keangkuhan yang membuat Nindia tak habis pikir.

"Kami ke sini bermaksud baik untuk mengunjungimu!" sambung Erland geram.

"Aku tidak pernah meminta untuk dikunjungi kalian. Jadi, kalian buang-buang waktu saja!" balasnya datar.

"Apa kamu tahu jika hukuman yang akan kamu dapat cukup berat?" tanya Nindia pelan.

"Aku tidak peduli, lagi pula semua yang terjadi gara-gara kamu!" Wajah Meta yang semula datar, berubah geram. Jika tidak mengingat dia berada di penjara, bisa saja Nindia habis di tangannya. Entahlah, dia sangat tak menyukai wanita itu.

"Jaga bicara kamu!" Erland menunjuk Meta. Wanita itu memang tidak pantas dikasihani, dan layak untuk dihukum seberat-beratnya. "Apa kamu butuh cermin untuk menyadari siapa yang menjadi penyebab semua ini? Siapa di sini yang berkhianat? Siapa juga yang telah menghancurkan kehidupan Nindia, kalau bukan kamu!"

"Mas," ucap Nindia sedikit takut jika emosi Erland akan terpancing oleh Meta.

"Kamu pikir aku peduli? Tentu saja tidak!" Meta tertawa kecil. "Mau aku berada di sini selama apa pun, aku bersumpah hidupmu tidak akan pernah aman! Karena aku membencimu!" teriak Meta, membuat pihak keamanan segera datang dan membawa kembali ke tahanan.

Erland membuang napas, ini yang akan terjadi jika Nindia memaksa untuk menemui Meta. Namun, wanita itu terus memaksa, membuatnya kalah sehingga berakhirlah mereka di sini. "Kita pulang!"

Nindia mengangguk pasrah, membiarkan tangannya digandeng Erland. Jujur, dia lelah sekali dengan masalah yang dihadapi, tetapi dirinya masih kuat melewatinya jika ada orang-orang hebat di sampingnya. "Ini kali terakhir kita temui wanita itu! Berhenti berurusan dengan Meta!"

Sudah di dalam mobil pun Erland masih meluapkan kemarahannya. Meta bisa saja habis di tangannya, tetapi dia masih sayang dirinya untuk tak berurusan dengan hukum jika ingin memberi pelajaran bagi mantan sahabat istrinya itu.

"Kita pulang! Kamu harus istirahat, aku enggak izinin ke rumah sakit!"

Nindia bungkam, dia juga belum makan siang untuk calon anaknya. Tangannya mengusap perutnya yang mulai membuncit, seulas senyum kembali hadir.

"Baik-baik di sana, Sayang."

Erland melirik melempar senyum. "Dia pasti baik-baik saja kalau kamu pun ikut baik-baik saja, Dia. Jangan kepikiran apa pun lagi, Papa juga sudah sadar."

"Aku enggak sabar dia lahir dan kita semua berkumpul bersama. Rasanya sangat menyenangkan, di tambah akan ada dua penghuni baru anaknya Naima dan anaknya kita."

Muara RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang