35 Tamparan

5.3K 360 15
                                    


Dua hari semenjak keputusan Agung dan terbongkarnya isu perselingkuhan, rumah mewah kediaman pria itu tampaklah sepi. Tinggallah Agung seorang diri bersama supir dan beberapa pembantu, sementara anak dan menantunya memilih pergi karena tak ada sedikitpun restu untuknya dan Meta.

Seperti biasa Agung keluar dari kamar untuk makan malam. Di kursi utama, yang berhadapan dengan meja panjang serta berbagai hidangan, Agung sendiri menikmatinya. Dia melirik ke deretan bagian kanan yang biasanya diduduki Santi dan Nindia, sementara bagian kiri harusnya Naima dan Nando. Namun, kini hanya kekosongan yang dijumpai. Tidak ada pembicaraan hangat setelah makan seperti biasa, semua perlahan pergi karena keputusannya.

Pria itu meletakkan alat makan di piringnya. Sama sekali tak ada napsu makan jika pikirannya tak tenang seperti ini. Lebih tepatnya, Agung dikuasai kesepian.

"Bibi!" Salah seorang dari tiga pembantu di rumah itu segera menghampiri.

"Mulai besok dan seterusnya, jangan pernah masak makanan banyak lagi! Saya tidak mau terbuang-terbuang! Dan satu lagi, saya minta ubah tatanan meja makan ini menjadi meja yang hanya muat untuk dua orang!" perintah Agung telak, sebelum berjalan ke kamarnya.

Bukan hal baru lagi bagi para pekerja di rumah itu. Semenjak pertengkaran sengit antara Agung dan tiga anaknya, mereka juga akhirnya tahu jika pria itu berselingkuh dan akan menikah lagi. Para pembantu dan supir masih tetap setia bekerja, karena mereka membutuhkan uang dan berusaha melayani Agung dengan baik serta tak ikut campur.

Di kamar, ponselnya berdering. Sudah ada puluhan panggilan dari Meta yang diabaikan. Agung sementara tidak baik-baik saja. Kepalanya terus pusing dan mungkin besok dia harus menemui dokter untuk check up kesehatannya.

Duduk di ranjang, pandangannya mengarah pada pigura fotonya dan Santi. Background sebuah pantai di daerah Sumba, saat Nando selesai wisuda dan memutuskan mereka sekeluarga berlibur di pulau itu. Tanpa sadar, sudut matanya berair. Rasa rindu menyeruak, mengingatkannya pada kesetiaan Santi hingga wanita itu berpulang ke Rahmatullah.

"Aku sudah membuat anak-anak kita pergi dari sini." Dia berbicara sendiri, keheningan hanya sebagai temannya saat ini. Rumah mewah nan megah itu seperti tidak ada kehidupan sekarang. Agung tidak tahu apakah keputusan untuk menikah lagi akan menjadi pilihan terbaik untuknya atau tidak? Yang jelas kenapa susah sekali melepas Meta?

*****

Wanita dengan terusan bertali spaghetti itu meremas rambutnya kasar. Dia sudah pulang dari Bali dan beberapa kali menghubungi Agung, tetapi tak ada jawaban.  Pria itu mengabaikan puluhan panggilan serta pesan yang dikirimkannya, membuat Meta kesal setengah mati.

"Sialan!" Lagi dan lagi Meta mengumpat. Dia hanya takut Agung berubah pikiran setelah bertemu anak-anaknya. Hal yang membuat Meta harus bertindak cepat untuk membuat rencananya tidak gagal.

Keluar dari rumahnya, Meta tak bisa bergerak lagi saat keberadaan Nindia di depannya. Wanita itu tidak sendiri, melainkan ada Erland dan Nando yang menatapnya tajam.

"Ha-hai, Nindia," sapa Meta sesaat setelah menetralkan raut terkejutnya.

Nindia mengikis jarak di antara keduanya. Wajah wanita itu dipenuhi amarah, tetapi dia masih berusaha kuat untuk tidak menjambak rambut Meta.

"Bagaimana liburannya?" Suara yang biasanya lembut terdengar, berubah datar dan dingin.

"Ah ya, tentu saja menyenangkan." Meta menjawab santai. Dia berusaha tenang, meyakini bahwa dirinya harus memang bukan Nindia. "Aku akan keluar sekarang, kita enggak punya waktu untuk ngobrol."

"Aku tidak peduli, Meta. Aku mau melihat bagaimana sosok sahabatku sebenarnya yang ternyata jelmaan iblis busuk dns menjijikkan."

Wajah Meta berubah merah. Dia memang sudah yakin kedatangan Nindia pasti mau mempertanyakan hubungannya dengan Agung. Namun, bukan berarti harus saat ini, di saat Meta belum dapat bantuan dari Agung yang otomatis pasti membelanya.

"Wanita yang kuanggap adalah sahabat bahkan saudara, nyatanya hanya selingkuhan Papa. Di mana hari nurani kamu sebagai seorang perempuan, hah?"

Biasanya kedua wanita itu punya relasi yang baik sebagai sepasang sahabat. Suka dan duka dilewati bersama, sudah saling mengenal keluarga satu sama lain. Tidak ada pertengkaran biasa di antara keduanya selama menjalin tali persahabatan. Hanya perbedaan pendapat, setelah itu mereka kembali bersahabat seperti biasa. Namun, untuk kali ini menganggap Meta sebagai sahabatnya saja Nindia sudah tak sudi. Dia malah semakin jijik dan menyesal pernah menghabiskan waktu bersama wanita itu.

"Papa kamu yang godain aku!"

Nindia menggeleng. "Papa enggak seperti itu! Jangan ngasal ngomong kamu, ya!"

"Salahkan saja Mama kamu yang udah enggak bisa memberikan kepuasan pada Om Agung!"

Bertepatan dengan ucapan itu, Meta harus merasakan pipinya kebas akibat tamparan Nindia. Dia nenggeram, ingin membalas, tetapi Nindia menamparnya lagi hingga sudut bibirnya luka.

"Itu untuk kamu yang sudah merendahkan Mama!" Napas Nindia turun naik, dua pria di belakangnya tidak berani mencegah lantaran wanita itu sudah mewanti-wanti agar Erland dan Nando hanya boleh diam.

"Ini untuk kamu yang telah mengkhianati persahabatan kita, Jalang!" Sekali lagi tamparan Nindia berlabuh. Dia bahkan menolak tubuh Meta hingga terjatuh dan menabrak pintu. 

Meta meringis, dalam hatinya mencaci maki perbuatan Nindia padanya saat ini.

"Kamu tidak lebih dari perempuan murahan, Meta! Kamu menggadaikan persahabatan yang sudah terjalin bertahun-tahun hanya untuk kepuasan hasrat menjijikkan kamu itu, hah? Sebenarnya, apa tujuan kamu sebenarnya?!" Nindia jika sudah kecewa dan terluka maka beginilah reaksinya. Jika diizinkan untuk membunuh, mungkin Meta sudah mati dengan tangannya sekarang.

Meta berusaha bangkit, tidak peduli rasa sakitnya. "Kamu mau tahu, hah?"

"Apa alasan kamu?"

Nindia tidak tahu kenapa Meta melangkah mendekati suaminya dan dengan sengaja menyenggol pundaknya. Dia berbalik melihat bagaimana Meta berdiri di depan Erland yang tampak bingung.

"Aku mencintai Erland! Iya, aku mencintai suami kamu, tetapi sialnya dia malah mencintai kamu!" teriak Meta memburu.

Semuanya terkejut. Fakta baru lagi, seolah-olah tak ada yang selesai. Dengan lancangnya Meta mengalungkan tangannya ke leher Erland, dan berusaha mencium, tetapi Erland dengan kasar mendorong tubuh Meta hingga wanita iblis itu tersungkur.

"Jangan jadi perempuan menjijikkan, Meta!" tegur Erland.

"Aku mencintaimu, Erland! Aku benci dengan kehidupan Nindia yang semua dimiliki olehnya, untuk itu pilihan terakhir adalah menghancurkan dirinya melalui papanya sendiri!"

"Dasar Jalang!" Kali ini Nando yang berteriak. Jika Meta bukan wanita, sudah habis di tangan Nando. Dia ingin sekali membungkam mulut jahat Meta hingga tersumpal dan tak bisa berbicara.

"Dengan ini, aku rasa julukan untuk wanita murahan itu memang tepat di kamu." Nindia menunduk, mencengkram erat kedua pipi Meta untuk menyalurkan kemarahannya. "Menjijikkan! Kamu bahkan mau mencium suamiku, Meta. Astaga kenapa aku bisa bersahabat dengan wanita gila hasrat sepertimu, hah?"

Nindia mundur, masih menatap remeh Meta di bawahnya. "Kamu menodai persahabatan kita, jadi mari kita lihat apa yang akan terjadi nantinya? Kamu tahu kalau karma itu ada? Aku dan keluargaku akan berusaha agar Papa kembali kepada kami. Sementara kamu ... silahkan menikmati kehancuran kamu mantan sahabat," kata Nindia penuh penekanan sebelum pergi diikuti dua pria terbaiknya.

Mau dong satu kata buat Nindia??

Muara RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang