Selamat Membaca
Lagi dan lagi diteror oleh nyonya rumah untuk nginap di rumah utama, membuat Nindia hanya bisa menghela napas pasrah. Selepas rapat dengan tim, wanita itu langsung pulang ke rumah orangtuanya. Namun, dia harus singgah sebentar di toko kue untuk membeli pesanan sang nyonya rumah agar tidak terjadi keributan kecil nantinya.
Istri dari Agung itu meminta dirinya nginap lantaran Naima sedang di Paris menikmati bulan madunya. Santi mengatakan jika rumah mewah mereka sangatlah sepi, tidak ada keributan yang biasa disebabkan oleh Naima karena adiknya itu telah menikah dan bulan madu. Keputusan Reza yang akan memboyong Naima tinggal di tempat berbeda pun sempat menjadi perdebatan antara Santi dan Nindia yang memaksa putri sulungnya untuk kembali tinggal bersama. Tentu saja Nindia menolaknya. Dia sudah nyaman dengan rumah miliknya sendiri. Mungkin Nindia akan meluangkan waktu setiap dua minggu sekali agar bisa menetap di rumah utama. Lagi pula dia tak bisa melepas tangan dari sang nyonya rumah, mengingat kondisi Santi yang sering keluar masuk rumah sakit karena drop.
Mengendarai sendiri mobilnya, Nindia memutar musik klasik untuk sekadar hiburan. Dari semua jenis musik di dunia, hanya musik klasik yang disukai alumni lulusan hukum UI itu. Tidak ada alasan lain, hanya rasa suka biasa yang membuatnya betah dengan musik klasik.
Jalanan siang ini sangat macet menurutnya, ditambah terik matahari yang membakar membuat dia ingin segera sampai rumah dan mandi. Badan yang kelewat lelah, lalu keringat di tubuh sudah membuatnya tak nyaman. Namun, Nindia tidak tahu apa yang terjadi dengan mobilnya. Tiba-tiba saja rem mobil miliknya tidak bisa dikendalikan.
Nindia ketakutan lebih tepatnya panik dan bingung harus melakukan apa. Sebagai seorang wanita yang sudah bertahun-tahun mengendarai mobil, dia tahu cara pemakaian benda beroda empat itu. Hampir setiap minggu, dia melakukan pengecekan pada mobil putih itu sebelum menggunakannya. Dia hanya tidak ingin mengendarai mobil dalam keadaan mesin tak baik sehingga menimbulkan hal yang tidak diinginkan.
Berusaha tenang, Nindia sudah tak bisa melakukan apa-apa lagi. Dia berusaha membanting setir kiri-kanan dan mencari jalanan kosong. Namun, semua percuma kala di depannya sebuah gerobak bakso yang tiba-tiba lewat, membuat Nindia membanting setir ke kanan sehingga mobil hasil kerja kerasnya itu berhasil menabrak pohon di bahu jalanan.
Wanita cantik itu meringis, merasakan sakit di bagian kepala ditambah teriakan orang-orang sebelum kegelapan merenggut kesadarannya.
*****
Kepulan asap rokok berasal dari sosok pria yang sedang termenung di balkon kamar. Pandangannya kosong ke bawah, mengamati jalanan Jakarta yang selalu padat setiap saatnya. Ibukota memang terkenal dengan kota yang tak pernah tidur dengan kesibukannya. Sudah dua hari dia berada di tempat ini, membawanya menyelam pada kisah masa lalu yang baru berlalu selama dua tahun ini.
Jika membayangkan, sudut kota ini penuh cerita indah yang terangkai. Bergandengan tangan, berboncengan naik motor mengelilingi Jakarta, menikmati bakso Pak Diun hingga menggelar resepsi sesuai impian seseorang telah dilewati Erland.
"Apa kabar?" Mengeluarkan sesuatu dari lehernya, sebuah kalung berbando cincin emas. Ada ukiran nama di sana, dengan inisial N yang tertera.
"Sepertinya kamu baik-baik saja tanpaku, ya. Kamu menjadi lebih hebat sekarang dan pastinya mandiri." Berbicara dalam kesendirian, sudah terbiasa dilakukan Erland selama dua tahun ini. Di tengah kerinduan yang menyiksa, dia tak bisa menyalurkan pada sang pemilik hati. Erland dah hatinya telah hancur sejak perintah dari orang yang sangat dihormati selain papanya, tanpa dirinya diberikan kesempatan untuk menjelaskan.
Dering ponsel mengejutkan pria itu, id caller dari orang yang sejujurnya sangat dia hindari. Tanpa mau mengangkat, dibiarkan saja benda pipih itu menyala lalu mati begitu saja. Dia lagi lelah menghadapi perdebatan tanpa tahu habisnya. Namun, sepertinya pihak dari seberang tidak ingin mengalah sehingga ponsel itu lagi dan lagi berdering. Dengan pasrah, Erland mengangkat. Suara wanita mengalun dari seberang.
"Gianni mau ketemu. Dari semalam dia merengek minta ketemu kamu."
"Aku baru kemarin dulu ke sana!"
"Aku tahu, tapi ...."
"Kamu bisa hubungi Adit, kenap harus aku?"
Dari seberang terdiam, lalu berujar lirih.
"Cuma kamu yang Gianni mau, Erland."
Tak menanggapi, panggilan itu dimatikan. Pria itu segera keluar dari apartemen baru yang dibelinya beberapa hari lalu setelah memutuskan untuk tinggal kembali di Jakarta. Mengendarai SUV hitam, Erland membelah jalanan kota yang padat untuk menuju tujuan. Jika memutuskan untuk tidak pergi, akan panjang ceritanya. Terlebih ada anak kecil di antara kisah hidupnya yang membuat semakin rumit.
Perjalanan pria itu harus terhenti lantaran jalanan di depannya sekarang dipenuhi kerumunan orang. Bunyi klakson kendaraan berbaur, memecah keramaian siang itu. Sebagai orang yang peduli, tidak ada alasan bagi Erland untuk meneruskan perjalanan. Dia keluar dari mobil, ikut mengecek apa yang sebenarnya terjadi di depan sana. Namun, dia bisa melihat ada gerobak bakso yang rusak dan hancur. Juga beberapa pria berbadan besar yang tengah membantu mengeluarkan seseorang dari mobil putih yang telah rusak bagian depannya karena menabrak pohon.
Erland semakin mendekat, suara-suara dari warga sekitar tampak ribut mengganggu pendengaran.
"Ini ada apa, Bu?" tanya Erlan pada seorang wanita yang memakai hijab.
"Ada kecelakaan, Pak. Mobil putih itu hampir menabrak sang pedagang bakso, sebelum menabrakkan diri ke pohon."
Erland mengangguk, dia masih melihat usaha para pria telah berhasil mengeluarkan sang pengemudi yang nyatanya seorang wanita. Namun, Erland merasakan dunianya berhenti tiba-tiba saat sosok yang dibopong itu lewat di depannya.
"Ni-nindia," gumamnya lalu menyusul gerombolan orang yang membawa tubuh wanita itu ke pinggir jalan.
Menerobos kerumunan, pria itu cemas seperti kesetanan melihat kondisi Nindia jauh dari kata baik. Darah dari jidat serta beberapa luka di bagian wajah, membuat dia hampir saja tak mengenal sosok yang dibicarakan Intan beberapa hari lalu di Jogja. Mata pria itu memerah, beberapa kali menyerukan nama Nindia, berusaha memanggil agar wanita itu sadar. Namun, sia-sia. Kelopak mata indah itu memilih terus memejam, tanpa peduli jika Erland sudah ketakutan saat ini.
"Bangun! Nindia! Hey!" Menepuk pelan pipi wanita itu, tubuhnya panas dingin kala sama sekali tak mendapat jawaban. Bau darah menyeruak masuk ke indera penciumannya. Sunggu, dirinya tak tega dengan kondisi wanita yang mengisi hatinya itu.
"Bawa ke mobil saya!" perintah Erland panik.
"Memangnya bapak kenal wanita ini?" Sebuah suara membuat Erland yang hendak menggendong tubuh Nindia terhenti. Pria itu menatap tajam ke arah sosok yang baru bertanya barusan.
"Dia istri saya! Cepat bantu saya bawa ke mobil!"
📍Gimana, guys? Ada titik terang enggak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Muara Rindu
ChickLitStory 8 Jatuh cinta, menjalin kasih hingga menikah sebuah perjalanan panjang yang berakhir indah. Terlebih menikah dengan sosok pria yang merupakan cinta pertama dan sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Lalu bagaimana jadinya jika hubungan pen...