16 Berusaha

4.5K 333 27
                                    


Happy Reading
Warning Typo!

"Ehem!"

Nindia segera menolak dada Erland yang begitu dekat dengannya. Wajah wanita itu memerah malu, lantaran dipergoki berciuman dengan Erland. Sebenarnya, bukan ciuman hanya sebuah kecupan yang pria itu berikan, sebelum Erland berpamitan pulang.

"Ini bukan drama film, 'kan?" tanya Naima datar, diikuti Reza yang berjalan di belakangnya.

Erland memalingkan wajah, dia seperti maling karena ketahuan mencuri barang orang. Pria itu menyingkir, memberi ruang untuk adik iparnya bertemu Nindia.

"Kamu udah pulang?" Nindia mengalihkan pembicaraan, tidak mau memperpanjang pertanyaan Naima.

"Pertanyaanku belum dijawab, Mbak. Jadi, apa ada hal yang kulewatkan?" Naima melirik Nindia dan Erland bergantian.

"Sayang," lirih Reza agar Naima berhenti.

"Aku pulang dulu, ya!" Erland memutuskan untuk pulang, dia belum siap bertemu dan menghadapi keluarga Nindia lainnya terlebih Agung yang bisa saja datang.

Nindia mengangguk kaku, pria itu berpamitan pada Naima dan Reza sebelum keluar. Dia harus bertemu ketiga saudaranya untuk membahas usahanya agar berjuang mempertahankan Nindia.

Di ruang rawat, Naima bersedekap. "Jadi, apa kalian balikan?"

Nindia menggeleng, bingung ingin menjawab apa. "Mbak bingung mau berbicara mulai darimana. Ini lebih sulit dan rumit untuk dijelaskan."

"Mbak cerita aja," tuntut Naima.

"Sayang," tegur Reza tak enak. Dia merasa kakak iparnya masih butuh waktu untuk bercerita.

"Mas kamu bisa tolong keluar dulu, ya! Aku mau ngomong empat mata sama Mbak Nindia," pinta Naima mendekati Reza.

Suaminya itu hanya mengangguk, tetapi sebelum keluar Naima mengecup bibir Reza membuat Nindia terbelalak kaget. Sementara Reza langsung keluar karena malu, istrinya itu sekarang lebih agresif dibandingkan masih pacaran yang sangat pasif.

"Kelihatan banget, ya, sekarang," cibir Nindia dibalas kekehan ringan Naima.

"Jadi, gimana?"

"Ternyata Mas Erland tidak pernah menceraikan mbak."

"Heh? Kok bisa?" tanya Naima kaget sekaligus bingung.

Melihat wajah Naima sekarang, membuat Nindia yakin jika dia bercerita pada siapa saja yang tahu masalah pernikahannya, pasti mereka akan kaget dan tak percaya. Sama seperti dirinya sekarang. Wanita itu mulai bercerita dari pertemuannya dengan Nia yang datang berkunjung, lalu kedatangan Erland dengan penjelasannya yang menurut Nindia masih abu-abu.

"Ribet, Mbak." Hanya itu yang Naima katakan. Otaknya bahkan bingung ingin memberikan tanggapan seperti apa lagi.

Nindia mengangguk lesu. "Mbak merasa dipermainkan."

"Mbak masih cinta sama kakak ipar?"

Diam, itu yang dilakukan Nindia. Cinta? Perasaannya tak sekuat dulu, tetapi masih ada. Getaran saat bersentuhan langsung dengan Erland, masih membekas hingga sekarang. Lalu dia harus bagaimana sekarang?

"Mbak?"

"Entahlah."

"Kalau perasaan itu sudah lenyap, kenapa tidak pisah? Kalian udah dua tahun terikat dalam hubungan pernikahan yang rumit, apa itu sebaiknya harus segera diselesaikan?"

*****

Erland tidak menyangka jika Agung yang berada di balik gugatan palsu perceraian itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Arkana, saat tiba di rumah lama mereka.

"Aku masih enggak nyangka, Kak. Hanya saja di sini kenapa Papa Agung masih merahasiakan kebenaran jika aku telah memiliki anak," ungkap Erland resah.

"Itu mungkin alasannya tak mau Nindia tersakiti." Arkana menatap Erland serius. "Sebaiknya kamu segera menjelaskan pada Nindia, sehingga masalahnya segera selesai. Entah dia bisa menerima atau menolaknya, semua keputusan ada di tangan Nindia sekarang. Kamu hanya bisa menjelaskan dan menerima semua yang Nindia putuskan."

Itu yang tengah ditakuti Erland sekarang, jujur sama dengan membiarkan Nindia memberikan keputusan mengenai pernikahan mereka. Entah akan berakhir atau tidak, yang jelas Erland tak rela jika pada akhirnya mereka harus berpisah. Namun, Erland tetap akan jujur.

"Jadi, kapan kamu mengatakannya?"

"Mungkin akan secepatnya, Kak."

"Bagus. Lakukan yang terbaik!"

*****
Di lain tempat Anas mengusap rambut Gianni yang tengah tertidur di sampingnya. Putrinya itu mengeluh ingin bertemu Erland, tetapi Anas sadar jika waktu sang ayah pasti sedang dihabiskan bersama Nindia.

Anas memaksakan senyum, di sini salahnya juga yang tak mau dari awal datang menemui Erland untuk bertanggung jawab. Dirinya datang di saat Erland sudah menikah, dan pastinya semuanya lebih rumit dari yang dibayangkan.

Dia tahu jika Nindia itu wanita yang baik, betapa besarnya cinta Erland pada Nindia. Itu yang kadang membuat rasa insecure muncul dalam dirinya, menyesali bukan dia saja yang dicintai oleh Erland.

"Apa aku harus menerima lamaran Adit?" gumamnya.

"Anas!" Nama yang baru saja disebut, muncul di balik pintu. Pria yang memakai kemeja biru itu tersenyum ke arahnya. Adit memang selalu bersikap lembut dan perhatian padanya dan juga Gianni selama ini, tetapi berat sekali menjatuhkan hati untuk pria itu.

"Kita bicara di luar." Anas menarik selimut menutupi tubuh mungil putrinya, lalu mengecup kening Gianni sebelum keluar.

Keduanya duduk pantry sambil Anas membuatkan kopi untuk tamunya itu.

"Erland tak datang?" tanya Adit.

"Dia punya rumah lain seperti katamu."

Adit tertawa pelan, tidak merasa tersindir dengan ucapan wanita itu. "Thanks." Suguhan kopi diletakkan Anas di depannya.

"Aku ke sini untuk menanti kepastian dari kamu." Menunggu jawaban Anas entah sampai kapan lagi dari pernyataan cintanya setahun lalu.

Anas yang duduk di depannya, melipat bibir bingung. Dia harus bagaimana sekarang?

"Usiaku sudah mau mencapai kepala tiga, Nas. Tuntutan untuk menikah dari keluarga sudah membuatku tersiksa dan tak nyaman. Mereka tahu jika aku mencintaimu dan dengan ikhlas menerima kehadiran Gianni, lalu apalagi yang harus kutunggu?" Adit frustrasi sendiri, mencintai Anas kenapa sesakit ini?

"Jika kamu menolak, katakan saja sekarang. Biarkan aku pergi dan melupakan semua tentangmu dan Gianni."

"Kamu mau pergi?" sela Anas cepat, ada perasaan tak rela jika Adit akan memilih wanita lain. Anas memang egois, sangat egois. Mencintai Erland, tetapi tak mau kehilangan Adit.

Adit mengangguk lesu. "Aku tidak mungkin menunggu kamu lebih lama, Nas."

Kemudian, keheningan meliputi. Adit menyesap kopi buatan Anas yang sekarang rasanya sudah hambar, tak seperti biasa. Mungkin inilah jawaban dari penantiannya, mencintai tanpa balasan. Sakit yang sesungguhnya dirasakan olehnya.

"Aku pergi." Adit beranjak, tanpa melihat ke arah Anas lagi. Namun, baru empat langkah sebuah lengan terasa membelit perutnya. Dia merasakan ada yang bersandar pada punggung belakangnya.

"Jangan pergi, Adit." Suara Anas teredam pelukan eratnya pada punggung Adit. Wanita itu menangis, telah menyakiti Adit dan membuatnya menunggu selama ini. Keputusan besar telah diambil Anas, menerima Adit menjadi bagian hidupnya dan melupakan Erland.

Tanpa berbalik, Adit menggenggam tangan Anas di perutnya. "Kamu tidak mencintaiku, Anas."

Anas membalik kasar tubuh Adit sehingga keduanya saling berhadapan. "Untuk itu bantu aku menerima kamu, Adit. Bantu aku belajar mencintai kamu."

"Kamu yakin?" tanya Adit ragu.

"Kamu meragukanku?" Anas meraih kerah kemeja Adit sehingga wajah keduanya hampir tak berjarak sedikit pun. Wanita itu melabuhkan bibir tebalnya ke atas bibir Adit yang langsung menerimanya dengan senang hati.

📍 Komen yang banyak, siapa tahu aku bisa double up

Setuju enggak Anas sama Adit????

Muara RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang