Happy Reading,
.
.
.
.
Warning TypoSeminggu selepas Agung meninggal, semua memutuskan untuk menetap sementara di kediaman utama agar menemani Nando. Masih diliputi kedukaan, Erland selaku kepala keluarga berusaha sekuat tenaga agar istri dan adik iparnya harus terus bersemangat untuk menjalani hidup selanjutnya.
Seperti saat ini, Erland menemani Nindia yang terbaring lemah di ranjang. Di atas nakas ada sepiring gado-gado hasil buruan untuk memenuhi ngidamnya sang istri. Namun, baru beberapa kali masuk wanitanya kembali mual tak berselera makan.
Tubuh Nindia pun tampak kurus, membuat Erland semakin prihatin dengan kondisi sang istri dan calon buah hati. "Kalau memang enggak bisa makan, jangan dipaksa, ya."
Nindia mengangguk lesu, matanya ingin sekali terpejam hanya saja susah dan berat. Sudah seminggu ini juga dirinya mengalami imsonia hebat, di mana setiap malamnya selalu dirundung kegelisahan, bolak-balik mencari kenyamanan tidur pun rasanya sangat susah. Namun, Nindia sangat bersyukur lantaran Erland begitu setia menemani.
"Aku merepotkan sekali, ya, Mas?" tanya Nindia pelan.
"Enggak, Sayang, enggak. Kamu jangan berpikiran aneh-aneh, kalau kamu butuh sesuatu, aku akan selalu siap bersamamu." Erland mengusap rambut sang istri, melabuhkan ciuman ke kening.
"Mas ... Naima gimana?" Nindia sudah tahu tentang keguguran yang dialami sang adik. Ikut merasa sedih dan terluka, tetapi dirinya tak bisa melakukan apa-apa kecuali berusaha ikut menerima dengan lapang dada.
"Naima sudah baikkan, Sayang. Dia butuh istirahat sekarang, dan pemulihan pasca keguguran. Reza bilang istrinya sudah tidak menangis lagi, Naima butuh waktu untuk menerima."
"Apa semuanya sudah selesai? Kita tak akan ada masalah lagi, Mas?" tanya Nindia sedu, remasan erat pada tangan sang suami seolah memaksa Erland untuk memberikan jawaban.
Erland tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. "Tentu saja, Tuhan tidak mungkin memberikan masalah tak habisnya."
Anggukan Nindia berikan. "Aku ingin sekali agar semuanya benar-benar selesai. Sebagai manusia, kita juga punya hak untuk bahagia, Mas, tidak hanya menderita saja. Aku lelah sekali, Mas, sangat lelah. Rasanya kadang aku ingin marah sama Tuhan, tetapi kembali lagi aku hanya manusia biasa. Tugasku hanya menjalankan apa saja yang telah Tuhan atur, menerima dengan lapang dada walaupun hati ingin sekali menjerit."
Erland dengan cepat memeluk sang istri, menenangkan berusaha agar Nindia bisa lepas dari emosi yang tengah menderanya. "Jangan bersedih lagi, sepertinya sekarang kita harus keluar dan temui Nando. Kasihan dia juga belum sepenuhnya bisa menerima semua."
Keduanya turun bersama, di ruang tengah Nando terlihat sedang menonton, tetapi tatapan pria itu tak fokus pada siaran TV, melainkan pandangannya kosong dan datar. Nindia mendesah pelan, mendekati dan duduk di samping adiknya itu baru membuat Nando tersentak. "Mbak, ngagetin aku."
Memaksakan tawa, Nindia memeluk erat Nando dari samping. Tawa wanita itu masih bertahan, tetapi terdengar hambar. Erland yang duduk di sofa lainnya memejamkan mata sesaat, beban sang istri dan dua saudaranya memang begitu berat.
"Mbak kenapa? Enggak ada yang lucu, loh." Nando berujar bingung, sikap sang kakak aneh menurutnya.
"Enggak, Mbak hanya kangen kamu dan segala kehidupan kita sebelumnya."
Membungkam mulut, Nando paham kakaknya itu berusaha menghibur dirinya. Pria itu menarik senyum selebar mungkin. "Apa kita harus melakukan liburan? Sudah lama juga kita tak menghabiskan waktu bersama."
"Tentu saja, kita bisa pergi bersama. Kamu juga bisa mengajak pacar kamu, dan mbak akan membawa serta Gianni," sahut Nindia bersemangat.
"Baiklah, jadi kita akan ke mana?" tanya Nando, pria itu tengah menata kembali pecahan rasa hancur untuk memulai semua kembali. Kehilangan orang secara berturut-turut, sudah cukup membuatnya terpuruk dan dikuasai kedukaan. Dia ingin bangkit, melanjutkan hidupnya, mewujudkan impian bersama kedua saudara dan sang kekasih.
"Bagimana kalau kita Sumba," usul Erland.
"Em ... boleh, Mas."
"Nanti biar aku yang mengurus semuanya. Kalian tinggal bersiap saja."
Kedua saudara itu mengangguk setuju, bersamaan dengan langkah kaki yang terdengar dari depan. Naima datang bersama Reza sembari membawa banyak makanan. Terlihat wajah wanita itu yang mulai bersinar, setelah juga merasa terpuruk akan kehilangan Agung dan sang calon anak. "Lagi ngomongin apa-apaan?" Naima ikut bergabung, duduk di samping Nando sehingga pria itu diapit oleh dua wanita kesayangannya. Sementara Reza bergabung bersama Erland.
"Kita akan berlibur bersama ke Sumba, sepertinya kita butuh waktu untuk menenangkan diri," jelas Nindia.
"Oh ya? Boleh dong ikut," seru Naima, dia melirik Reza yang mengangguk, rupanya pria itu ikut menyimak.
"Kapan berangkatnya?" tanya Reza.
"Hari Jumad dalam minggu ini aja, pas libur weekend, mungkin bisa tambah dua hari kalau belum puas," ungkap Erland.
"Setuju, sih. Kak enggak sekalian ngajak Alicia?" tanya Naima menggoda.
Nando mendengkus, tak urung mengangguk. "Bakalan aku ajak, enggak enak juga jadi obat nyamuk bakar kalian."
Nindia tertawa. "Kan ada Gianni juga, kamu temani aja anaknya mbak."
"Aku bakalan temani dia juga, tetapi, ya, sekaligus kencan sama Alicia juga." Nando menyeringai, membuat dua saudaranya memutar bola mata kesal.
"Ada telepon dari pihak kepolisian." Erland menunjukkan layar ponsel ke arah tatapan mata semua penghuni ruangan itu. Untuk sesaat semua diam, hanya saja mereka meyakini jika yang menelepon pasti membahas soal Meta. Benar saja terlihat dari gestur wajah Erland, tampak seperti terkejut sebelum mematikan sambungan.
"Ada apa?" tanya Nindia.
"Reza, kita ke rumah sakit sekarang!" Erland tak menjawab, menatap Reza yang rupanya sudah mulai paham.
"Ada apa, sih? Kenapa kalian buru-buru?" tegur Nindia cemas.
Erland mengusap wajah, tidak baik berita yang baru didapatnya untuk sang istri dan yang lainnya. "Ada urusan, Dia, kalian tinggal di rumah saja."
Nindia menggeleng. "Enggak! Cepat bilang ada apa? Kalau kalian enggak bilang, jangan ada yang boleh keluar selangkah dari rumah ini!"
"Mbak!" seru Nando.
"Sebenarnya ada apa, sih? Apa yang kalian sembunyikan?" tanya Naima yang juga penasaran. "Mas, apa salahnya ngomong aja." Dia menatap Reza yang menggeleng.
"Aku dapat telepon dari pihak kepolisian." Menjeda ucapannya, Erland memerhatikan wajah sang istri. Kalau sudah seperti ini dia harus tetap menyampaikan informasi yang diperolehnya.
"Aku harap respons kalian harus tenang, karena ini menyangkut Meta," lanjutnya sedikit gugup.
"Kenapa dengan iblis itu?" sela Naima yang rupanya masih menyimpan dendam.
"Sayang," tegur Reza mendapat dengkusan sang istri.
"Mas! Jangan bertele-tele, cepat katakan!" Nindia mendesak, jantungnya berdebar kencang entah karena apa.
"Baiklah." Menarik napas, Erland sudah siap. "Meta ditemukan bunuh diri di tahanan dan yang lebih mengejutkan lagi dia tewas dalam kondisi sedang mengandung anak Papa Agung."

KAMU SEDANG MEMBACA
Muara Rindu
ChickLitStory 8 Jatuh cinta, menjalin kasih hingga menikah sebuah perjalanan panjang yang berakhir indah. Terlebih menikah dengan sosok pria yang merupakan cinta pertama dan sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Lalu bagaimana jadinya jika hubungan pen...