Selamat pagi~
Selamat membaca🍃🐨🐨🐨
“Ngga. Asli sini,” satu suara wanita paruh baya jadi suara pertama saat gua sadar dari tidur. “Cuma ada turunan Canada dari keluarga besar. Jadi agak kebawa aja aksennya,”
Gua gak yakin ini jam berapa. Selesai subuh tadi, kepala gua mendadak pusing dan akhirnya tidur setelah jam minum obat.
Gua gak liat siapa-siapa di ruangan ini. Gua tau abang udah balik ke rumah dan gantian sama ibu yang datang sebelum gua tidur tadi. Suara yang gua denger arahnya dari luar, tepat di depan pintu. Mungkin di kursi panjang di lorong.
Dengan pusing yang masih sedikit kerasa, gua bangun untuk duduk. Tangan gua terangkat untuk ambil air di atas nakas. Gak tau sejak kapan, tapi ada tumpukan buah yang gak ada sebelumnya.
Di tengah tegukan, pintu kebuka dari luar dan ibu jadi objek pertama yang gua liat sebelum… tante Amanda?
“Masih pusing, kak?” tanya ibu. Gua ngangguk kecil. “Ibu ada perlu. Tadi suster ngasih kertas administrasi. Ibu tinggal kakak sama Bu Manda, ya?”
Gua yang nyawanya belum benar-benar kumpul semua—sisa satu yang masih minggat—cuma ngangguk sebelum ibu keluar dan pamitan sama tante Amanda.
“Gak usah turun.” Ucapan tante Amanda potong aksi gua untuk turun dari ranjang. “Masih pusing kan tadi.” Sambungnya dan duduk di kursi deket ranjang gua.
“Maaf, tante.” I said. Gua gak enak sebenernya di posisi kaya gini.
“Gak perlu minta maaf, sayang.” Wanita dengan pakaian super sleek itu ketawa kecil.
“Tante udah lama sama ibu?” tanya gua dengan duduk lebih tegak. “Maaf saya tidur tadi,”
“Hobi kamu pasti minta maaf,” kata beliau. “Sekitar 15 atau 20 menit lalu, tante lupa. Ibu kamu asik gak berasa ngobrol lama tadi,”
Gua lirik jam di dinding kamar, udah cukup siang ternyata. Dan gua cukup lama tidur tadi.
Gak lama kasih jeda, beliau lanjut bicara. “Tante rasa kamu udah tau tante siapa,” tatapan gua sepenuhnya ke beliau. “Tante mamanya Bara atau Haris, tante gak tau kamu panggil anak itu dengan sebutan apa. Ibu kamu sih belum tahu,”
Freeze. Shocked.
“Tante bingung kenapa kamu kaget,” tante Amanda lagi-lagi ketawa. “Malah tante rasa harusnya tante yang kaget liat kamu,”
“Uh, maaf tante?”
Lagi, entah udah ke berapa kali, beliau ketawa. Yang ini cukup makan waktu lama. “I hope you wouldn’t cut my words,” tante Amanda berdeham seolah nyiapin tenggorokannya untuk cerita tidur satu buku.
“Entah kamu tahu dari awal atau enggak, Bara itu orangnya keras kepala, banget. Mungkin kamu udah tau dari Dewa atau Alfin, and the facts is more than they said,”
Sebagai mana dia harapkan, gua dengerin tanpa potong ucapannya.
“Dari mulai pilih sekolah SMA sampai akhirnya dia kerja sebagai dosen, itu semua hasil keras kepalanya dia—yang untungnya berhasil.
“Papanya minta bahkan mohon sama Bara untuk kuliah jurusan manajemen bisnis atau yang berkaitan dengan itu karena Bara anak laki-laki satu-satunya di keluarga. Tapi Bara tolak dan pilih psikologi dengan alasan mau therapy papanya karena terlalu banyak minta.”
Untuk yang satu itu, gua ketawa.
“Dia malah bilang untuk kasih kakak iparnya hak buat urus perusahaan secara penuh. Padahal dia tahu kalau papanya cuma mau anak kandungnya yang urus.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kampus [END]
Teen Fiction"Kalo saya bilang, saya lamar kamu, kamu kaget ga?" Ya kaget lah anjir! batin Kinan. "Ngga, ga mungkin juga," Kinan menjawab. "Ada kemungkinan. Dan sekarang kejadiannya. Saya lamar kamu. Gimana? Jawaban kamu apa?"