🪶🪶

931 37 1
                                    

10 menit. Bara sudah menunggu istrinya keluar dari kamar mandi sejak 10 menit. Kinanti tak mungkin menghabiskan banyak waktu di sana kecuali sedang terkena sakit perut atau semacamnya. Barang masuk tadi, istrinya tidak mengeluh apapun yang berkaitan dengan itu namun sudah 40 menit di dalam sana.

"Sayang?" panggilnya dengan mengetuk pintu kamar mandi. "Mas kebelet," ia beralasan. Ia bisa saja menggunakan kamar mandi lain jika memang sudah tak tahan.

Bara kembali mengetuk pintu. Ia dan Kinanti tak membuat janji untuk mandi bersama atau menggunakan kamar mandi berdua hari ini, ia harus menghormati istrinya dengan tidak masuk sebelum mendapat izin.

"Sebentar,"

Sayup jawaban terdengar ke telinga Bara, terdengar aneh. Ia menunggu dengan tak sabar hingga akhirnya Kinanti membuka pintu menampilkan dirinya dengan keadaan yang sama sekali tidak baik. Bara bisa memastikan istrinya baru saja menangis.

"Kenapa?" dengan cepat Bara menarik istrinya ke pelukan. Ia bisa merasakan Kinanti yang membalas pelukannya begitu erat disusul dengan isakkan yang terdengar memilukan untuknya. "Kenapa, Sayang? Mas bikin kamu kesal?"

Kinanti jelas menggeleng mendengar pertanyaan terakhir. Ia tak bisa membuka mulutnya selain untuk terisak saat ini. Dadanya begitu berat dan terisi penuh kekecewaan. Ia hanya bisa menenggelamkan wajahnya dalam-dalam di dada bidang suaminya.

Bara dilanda kebingungan yang teramat. Ia tak mendapat klu tentang apa yang mungkin membuat istrinya menangis begitu menyakitkan. Satu tangannya bergerak lembut di punggung Kinanti dan yang lain membelai rambut lembut istrinya. Tak ada yang bisa ia lakukan selain membiarkan Kinanti menangis selama apapun dan membuatnya nyaman.

Hampir 5 menit isakan itu terdengar, Kinanti akhirnya bisa menguasai dirinya sendiri. Tangannya di ujung kaos sang suami mengepal hingga terlihat memutih. Ia masih tak bisa mengangkat kepalanya untuk menatap Bara, itu akan terlalu menyakitkan untuknya.

"Kita gak jadi pergi," bisik Bara di antara rambut lembut Kinanti setelah mendengar wanitanya menangis cukup lama.

Sisa isakan memang tak bisa terelakkan. Kinanti semakin membenamkan wajahnya di dada Bara sebelum akhirnya berani untuk menatap suaminya yang tengah kebingungan. "Kenapa?" tanyanya hampir berbisik.

Bara tersenyum kecil. Ia menggunakan satu tangannya untuk mengusir rambut-rambut nakal yang berada di wajah istrinya, mengelus lembut pipi sang istri yang begitu basah. "Mas gak mau pergi," jawabnya dengan menatap mata Kinanti.

Kinanti yang menerima tatapan itu menangatupkan bibirnya rapat-rapat. Suaminya kini jelas tahu alasannya menangis. Ia membuat suaminya kecewa. "Maaf, Mas," lirihnya dan kembali menangis di pelukan Bara.

Bara memeluk Kinanti lebih erat dari sebelumnya. "Mas gak minta, Sayang. Mas gak minta apapun sama kamu," bisiknya dengan suara begitu menenangkan.

Kepala Kinanti menggeleng lemah. "3 tahun, Mas," ujarnya dengan kepala menoleh ke sebelah kiri. "Sudah hampir 3 tahun, tapi aku gak bisa kasih Mas apa-apa,"

Bara tak suka pembahasan ini. Sangat tak suka. "Mas bilang, Mas gak minta apapun dari kamu, Kinan," ujar Bara dengan tegas, masih berbisik. "Mas gak minta kamu kasih anak buat Mas. Tolong jangan bikin Mas terlihat sayang sama kamu karena hal itu,"

Kinanti kembali terisak, menenggelamkan wajahnya pada dada Bara seolah itu memang tempat terbaik.

3 tahun memang terdengar baru untuk sebuah pernikahan. Namun, 3 tahun pernikahan tanpa ada buah hati, menjadi beban tersendiri yang Kinanti pikul.

Bara benar. Pria itu tak pernah sekalipun membahas masalah anak atau keturunan dengan Kinanti, apalagi meminta. Namun, sebagai istri, Kinanti merasa gagal karena tak memberikan apa yang harus ia berikan.

Kampus [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang